Tulisan Hasyiem Shaleh (penerjemah buku-buku Mohammed Arkoun)
Sumber Opini Koran Al-Sharq Al-Awsat, 30 April 2010

Al-Qur'an dalam Pandangan (Sarjana) Barat

Suatu hari saya bersiap terbang ke Kairo dari bandara Sar Diegol. Ketika saya 
menunggu lama biasanya saya pergi ke toko buku bandara biar tidak membuang 
waktu, tak sengaja di hadapan saya buku Paul Sarkozy, ayah dari presiden 
Prancis. Setelah saya buka-buka halaman buku saya temukan bahwa Paul datang ke 
Prancis melarikan diri dari Hungaria, Paul yang komunis ini tidak memiliki 
sepersen uang di sakunya, ia tidur di dalam Metro (kereta listrik) untuk 
melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Siapa mengira bahwa orang asing tersesat 
ini akan menurunkan anak pada tahun 1955 akhirnya menjadi kepala negara 
Prancis? Sungguh takdir tak disangka.

Saya terus melesak masuk ke dalam tokoh buku itu lalu mata saya tertuju pada 
sebuah majalah Filsafat. Majalah bulanan ini terkenal mulai muncul sejak 
beberapa tahun terakhir dan saya tergugah oleh judul tertulis berwarna merah. 
Saya tidak berniat membelinya kalau bukan karena saya temukan edisi khusus kali 
ini membahas al-Qur’an Karim. Kenyataanya bahwa khazanah keislaman klasik kita 
masih manjadi obyek kajian sarjana Barat sejak 10 tahun atau lebih, khususnya 
sejak peristiwa 11 September 2001 lalu. Berapa banyak buku bercetakan murah 
yang tidak memberi manfaat pembaca, justru malah membahayakan (Islam)? Semua 
buku itu hanya menyelewengkan image (Islam), bukan sebaliknya membenarkan 
persepsi Islam. Sungguh ini menyedihkan. Untung saja edisi majalah ini berbeda. 
Pertama, kerena majalah ini diterbitkan majalah Filsafat. Kedua, majalah ini 
berisi sumbangan dan artikel pilihan dari pemikir-pemikir besar baik yang masih 
hidup maupun yang sudah meninggal
 dunia. Pandangan saya lalu terfokus pada halam depan majalah di mana tertulis 
huruf mencolok yang berbunyi: “Apa kata al-Qur’an tentang kebebasan, syariah, 
wanita, jihad dan akal?” Suatu tema sering salah dipahami, sensitif dan saya 
sendiri tidak mampu menjawab maka saya putuskan untuk membelinya seketika itu. 
Majalah itu memberi penjelasan lanjutan: berbagai jawaban (tentang pertanyaan 
seputar al-Qur’an itu) akan anda temui melalui penjelasan Ibn Rushd, Nietzhe, 
Muhammad Iqbal, Fazlurrahman, Lievi Stauruss dan lainnya…

Siapa yang mampu menahan diri untuk tidak mengikuti penjelasan ini? Apakah kita 
tidak senang mengetahui apa kata Nietzhe tentang Islam dan al-Qur’an? Maka saya 
beli majalah itu kemudian pergi dan menunggu di antrian untuk terbang. 
Tiba-tiba seorang Nyonya di depan saya menoleh dan ketika melihat majalah itu, 
ia berkata: Di mana anda dapatkan majalah ini? Ini sungguh majalah penting. 
Saya bilang belinya di tokoh buku di lantai bawah. Ia melihat majalah saya dan 
bergumam: Majalah itu berbahasa Prancis, sepertinya. Dari gayanya saya lihat 
Nyonya itu berasal dari golongan borjuis Mesir. Ia wanita terhormat dan 
terpelajar. Saya terus membuka lembaran demi lembaran majalah di dalam pesawat 
untuk menikmati ide-ide pemikir besar tentang Islam selama perjalanan menuju 
Kairo untuk menghadiri “Muktamar Terjemah”. Saya merasakan apa yang ada di 
kedua tangan saya adalah harta istimewa yang tak harus disia-siakan. Kita 
percaya akibat kukuhnya fundamentalisme
 Islam ataupun pendidikan al-Qur’an yang kita terima membuat kita mengerti 
al-Qur’an Karim. Mungkinkah bagi orang Arab Muslim tidak mengenal al-Qur’an? 
Kita tidak pernah terbersit bahwa pengetahuan kita tentang al-Qur’an paling 
otentik (dzatiyah) paling dekat melebihi pemahaman yang obyektifis, 
historisitas dan akademis. Sekarang kenikmatan anda adalah mengenal kitab suci 
al-Qur’an dalam bentuk matang dari pendapat dan analisa ulama besar klasik yang 
membentuk pengetahuan anda ketika anda kecil seumur bunga atau ketika anda 
membacanya berbarengan dengan kokokan ayam jago di pagi dini hari. Ini 
merupakan perbandingan antara pengetahuan klasik konvensional dan pengetahuan 
falsafi yang baru, pengetahuan baru ini akan mencerahkann khazanah klasik anda 
yang sebelumnya tidak pernah anda rasakan dan belum ada padanannya.

Sebagian orang bodoh di Barat menyangkah al-Qur’an adalah kitab (yang 
mengajarkan) kekerasan dari awal sampai akhir! Apa pendapat para pemikir besar 
tentang bahasan al-Qur’an ini? Jack Berrik yang menghabiskan umurnya menkaji 
al-Qur’an dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis mengatakan: Sesungguhnya 
teks al-Qur’an semuanya membahas tentang satu pokok pikiran penting: keesaan 
Allah, kemudian ia juga menambahi, al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami 
sebagian umat Islam, al-Qur’an sesungguhnya menentang kemapaman (jumud), 
al-Qur’an mengajak umat Islam mengunakan akal, berkreasi dan reformasi. Maka 
bacalah kembali wahai umat Islam kitab al-Qur’an itu akan tetapi di bawah 
metodelogi ilmu sejarah baru sebagaimana Profesor Jack Berrik lakukan. Adapun 
Profesor Fazlurrahman mengatakan bahwa kebanyakan kaum Muslim modern sekarang 
tidak banyak memahami hakekat (ajaran) al-Qur’an karena kekurangan nalar 
historisitas dan rasionalitas.
 Rahman kemudian memunculkan statemen dalam bukunya “Islam dan Modernity”: 
Kenapa pada abad pertama Islam banyak diisi dengan kreatifitas pengetahuan 
sedang masa-masa terakhir pemikiran umut Islam sampai batas-batas tertentu 
justru terkesan jumud? Kenapa umat Islam perdana lebih mencerahkan, sedang 
sekarang, pada masa kita terutama, malah jauh dari nalar pencerahan? Dengan 
kata lain: Apa yang perlu diperbuat agar gerakan pembaharuan pemikiran dan 
mencipta terus berlangsung dalam Islam? Kenapa puncak peradaban justru pindah 
ke Barat? Apa permasalahan besar umat Islam sehingga menjadikan kondisi kita 
terbelakang setelah dulu kita maju?

Kadang beberapa pemikir Barat menyatakan: Pertanyaan- pertanyaan akademis yang 
kritis itu jauh dari realitas praksis umat Islam. Saya menduga pernyataan yang 
terlontar itu di zaman sekarang bersifat politis. Sebagaimana dikatakan tegas 
dan lantang oleh Dr. Ridwan Sayyid dalam Muktamar Gender: “Tidak mungkin ketika 
sarjana Barat sibuk menkaji khazanah Islam, problematika keislamhan dan 
diskursus salafisme kita kemudian membangun sikap diam, berletekan tangan, 
tidak beregerak dan tidak mengevaluasi apapun, tidak mungkin pula kita tidak 
memperbaiki (yang salah) ataupun tidak menkritik (diri)!... 





      

Kirim email ke