----- Pesan Diteruskan ----
Dari: idham cholid <yai_ab...@yahoo.com>
Kepada: pstti_pps...@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 22 Juni, 2010 10:54:57
Judul: [pstti_pps_ui] Antara Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Hilmi Aminuddin

  
Antara Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Hilmi Aminuddin
www.eramuslim. com, Selasa, 22/06/2010 13:06 WIB | email | print | share
Ketika Abdurrahman Wahid meninggal banyak orang Cina dan Kristen yang menangis. 
Mereka benar-benar merasa kehilangan. Tokoh Nahdiyyin dan PKB, yang pernah 
menjadi presiden itu, dikenang sebagai ‘bapak pluralisme’ di Indonesia, dan 
mengubah nasib golongan minoritas yang merasa lebih ‘equal’ diantara 
golongan-golongan yang ada. Maka, ketika Abdurrahman Wahid meninggal banyak 
yang takut tidak ada lagi yang melanjutkan warisannya, berupa paham pluralisme.
Karena perhatiannya kepada golongan dan agama minoritas yang begitu lekat, 
Abdurrahman Wahid, bukan hanya mendapatkan pengakuan di dalam negeri, tetapi 
tokoh ini, sampai mendapatkan medali penghargaan dari kalangan tokoh-tokoh 
Yahudi terkemuka di Amerika Serikat.
Kira-kira bulan Mei 2008, Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah (isterinya), 
diundang ke Amerika Serikat oleh lembaga Shimon Wiesental Center (SWC), untuk 
menerima Medali of Velor (medali keberanian), atas jasa-jasa Abdurrahman Wahid, 
yang telah gigih mengembangkan paham pluralisme di Indonesia. Ketika 
berlangsung di acara penyerahan Medal of Velor itu, Abdurrahman Wahid dan Sinta 
Nuriah didampingi oleh sebagian besar tokoh-tokoh Yahudi di Amerika Serikat, 
seperti Holland Taylor (CEO Lib For All), dan Rabbi Marvin Hier (pendiri SWC), 
dan menurut Majalah News Week, ia merupakan Rabbi paling berpengaruh di Amerika 
Serikat.
Tentu, ba’da reformasi dan berakhirnya rejim Soeahrto, dan datangnya kebebasan, 
lahirlah partai-partai politik. Di zaman Soeharto partai politik dibatasi, dan 
hanya ada tiga partai politik, Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi, partai-partai 
politik di era Soeharto itu, hanyalah sebagai etalase sebuah ‘bunga’ demokrasi, 
yang bernama partai politik. Tetapi, peran mereka dibatasi, dan hanya Golkar 
yang boleh eksis, serta secara efektif menjadi alat legitimasi politik penguasa.
Di era reformasi, Abdurrahman yang juga tokoh Nadhiyyin itu, mendirikan partai, 
yang dikenal sebagai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan menolak partai yang 
bercorak dan berideologi Islam. "Partai Islam itu eksklusif, dan tidak dapat 
menjadi wadah semua golongan", ucapnya. Asas dan tujuannya bercorak nasionalis, 
dan tidak bercirikan partai Islam. Cita-cita Abdurrahman Wahid, menginginkan 
agar PKB menjadi wadah semua golongan, bukan hanya golongan Islam, tetapi lebih 
bersifat pluralis dan inklusif.
Memang sebuah ideologi baru, yang sekarang terus mereduksi pikiran-pikiran 
kalangan yang masih berorientasi kepada pandangan pemikiran Islam, yang 
berkaitan dengan politik, terus menyerang kalangan-kalangan yang masih 
menginginkan Islam sebagai landasan dalam berpolitik. Golongan yang masih 
menggunakan jargon dan idiom Islam, khususnya dalam berpolitik, dihadapkan pada 
stigmatisasi dengan garis keras, fundamentalis, dan eksklusif. Sehingga, para 
pemimpin dan tokoh Islam, mereka kedodoran dan menyerah, mengganti jalan dan 
garis perjuangan mereka menjadi sekuler.
Abdurrahman Wahid, yang kemudian memimpin gerakan politik bernama PKB itu, maju 
dalam pemilu, tahun 1999, dan hanya mendapatkan suara 11,3 persen. Tidak sampai 
mencapai 15 persen. Ini hanyalah menggambarkan betatapun, ibaratnya sudah 
mengubah ‘fashion’ (dandanan) tetap saja tidak dapat menarik golongan 
non-muslim untuk memilih PKB.
Tetapi, memang Abdurrahman Wahid, bernasib mujur dengan dukungan Amin Rais, 
yang menggalang ‘Poros Tengah’ berhasil mengangkat tokoh Nahdhiyyin itu menjadi 
Presiden, mengalahkan tokoh PDIP, Megawati Soekarno Putri.
Tetapi, jabatan yang dipegang Abdurrahman Wahid, hanya seumur jagung, tak lama 
berkuasa, dan ditumbangkan dari kekuasaannya oleh gabungan partai-partai yang 
tidak nyaman dengan segala ulah Presiden Abdurrahman dengan ‘Brunei Gate’ dan 
‘Bulog Gate’. Dan, kini suara PKB di pemilu 2009, lebih kecil lagi, hanyalah 5 
persen.
Lain halnya dengan tokoh reformasi Amien Rais, di awal reformasi mendirikan 
partai, yang tidak memakai ‘embel-embel’ Islam. Partai yang didirikannya lebih 
terbuka. Pengurusnya beraneka ragam golongan. Ada orang Kristen, Katholik, dan 
Budha. Semua menjadi skondan Amien, dan ikut menakhodai kapal yang baru di 
bentuk, yang diberi nama, ‘Partai Amanat Nasional’ (PAN).
Amien Rais, yang kala awal reformasi memenuhi undangan Dr. Anwar Haryono, untuk 
memimpin Partai Bulan Bintang, tetapi Amin menolak memimpin partai baru, yang 
lebih bercorak Islam itu. Sebelumnya, Amien juga diajak oleh para aktivis 
dakwah, yang dipimpin Hilmi Aminuddin, untuk mendirikan partai baru, tetapi 
waktu itu Amien menolak. Bahkan, waktu itu kalangan aktivis dakwah , mengirim 
Abu Ridho dan Dr. Salim Segaf al-Jufri ke Yogya dan Solo, mengajaknya 
mendirikan partai politik Islam, tetapi ia tetap menolak.
Kalangan aktivis dakwah, melihat Amien Rais lebih cocok bagi mereka, karena 
desertasinya diambil di Mesir, tentang Ikhwan, tetapi sekali lagi Amien tetap 
menolak. Sebuah pandangan yang sangat khas dilontarkan oleh Amien, yang lulusan 
Chicago itu,  ketika menanggapi kalangan mantan eks Partai Masyumi, untuk 
mendirikan Partai Islam, mengatakan, “Partai Islam itu seperti baju, dan 
terlalu sempit buat diri saya,” ucap Amien.
Sekalipun PAN sudah bercorak inklusif dan pluralis, tetapi suaranya di pemilu 
1999, hanya lah 7,4 persen. Dan di pemilu 2009, juga tak lebih besar, hanya 
sekitar 7.8 persen.  Tidak sampai 10 persen. Inilah sebuah ironi. Orientasi 
suara (kuantitas) yang dikejar dalam rangka mendapatkan kekuasaan, dan melalui 
cara membuang jati dirinya, dan menolak menggunakan simbol dan prinsip Islam, 
kenyataannya tidak juga dapat menambah suara.
Sekarang Amien menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN, dan menjadi lebih 
dekat dengan SBY, dan tidak kedengarannya lagi sikap kritisnya. Ketika 
berlangsung Pansus Bank Century, PAN di paripurna DPR memilih opsi A. Ternyata 
Amin sudah tidak lagi bergigi, dan yang menentukan adalah Hatta Rajasa, yang 
lebih dekat dengan SBY.
Lain halnya, Hilmi Aminuddin, yang sebagai ‘the new comers’ dalam kehidupan 
politik nasional ini, dan mulai menggeliat sejak usai pemilu 2004. Sebelumnya 
tidak pernah kedengaran secara terbuka dalam kehidupan politik nasional. Karena 
di tahun 1999, gerakan dakwah, yang dibangun para aktivis dakwah itu, masih 
belum nampak pengaruhnya secara politik, karena baru didirikan dan hanya 
menadpatkan 7 kursi di parlemen, atau 1.5 persen. Peranannya belum begitu 
nampak.
Tetapi, ketika partai yang awalnya menyatakan diri sebagai partai dakwah, sejak 
usai pemilu tahun 2004, mulai nampak peranannya. Terutama, sejak pemilihan 
presiden 2004, Hilmi sudah terlibat dalam ‘power games’ (permainan kekuasaan), 
dan dengan suara partai yang dulunya bernama PK dan menjadi PKS itu, 
mendapatkan suara 45 kursi atau setara dengan 7,5 persen suara, Hilmi merasa 
memiliki leverage (daya tawar) dengan kekuatan politik lainnya. Maka, disinilah 
Hilmi Aminuddin mulai, melakukan banyak lobi politik, dan bertemu dengan tokoh 
politik nasional. Termasuk dengan Presiden SBY.
Pemilu presiden 2004, Majelis Syuro PKS, memutuskan mencalonkan Amin Rais 
sebagai calon presiden.  Karena visinya yang diterjemahkan dalam politik, yaitu 
mendukung siapa yang diprediksikan menang (al muhtamal rojih fauzuhu). Inilah 
logika politik Hilmi Aminuddin, yang sampai sekrang ini masih dipendomani. 
Sekalipun, keputusan ini tidak disetujui oleh Hilmi, dan ia memilih Jendral 
Wiranto.
Tetapi, Amin gagal dan Wiranto pun gagal. Dan, tinggal Mega dan SBY. 
Selanjutnya, Majelis Syuro PKS mengambil posisi mendukung SBY, hingga kini. 
Semuanya tujuannya untuk memperbesar 'spear' (otot) politiknya di masa yang 
akan datang, menjelang pemilu 2014. Perlu tetap mendukung SBY sebagai payung 
politik, yang dapat mengayominya.
Kemudian, pemilihan presiden 2004, SBY memenangkannya. Tentu, PKS masuk 
kabinet, dan ikut terlibat dalam pengelola kekuasaan, di mana dalam kabinet 
periode tahun 2004-2009, setidaknya ada tiga orang menteri dari PKS, yaitu 
Yusuf Ashari sebagai Menteri Perumahan, Adyaksa Dault sebagai Menteri Olahraga, 
dan Anton Aprianto sebagai Menteri Pertanian. Inilah hasil musyarakah (koalisi) 
atau dukungan politik kepada Presiden SBY.
Sekarang periode kedua jabatan Presiden SBY, di mana PKS tetap konsisten 
mendukung SBY, dan dalam kabinet periode 2009-2014 ini, kader PKS yang masuk 
kabinet, seperti Suharna menjadi Menristek, Salim Segaf al-Jufir Menteri 
Sosial, Tifatul Sembiring Menkominfo, dan Suswono menjadi Menteri Pertanian.
Tetapi, dibandingkan dari pemilu 1999 ke pemilu 2004, perolehan suara PKS 
mengalami peningkatan 600 persen, sedangkan pemilu 2009 ini, suara PKS 
mengalami stagnan, tidak berubah secara signifikan, yaitu hanya 7,8 persen.
Padahal, PKS sudah melakukan berbagai langkah akrobatik politik untuk 
memperbesar perolehan suaranya, dan isu menjadi partai terbuka, sudah 
dilontarkan saat Mukernas pertama di Bali tahun 2008. Pilihan Mukernas di Pulau 
Dewata, dan kunjungan elite PKS ke sejumlah tokoh Hindu Bali itu, tujuannya 
untuk menggambarkan kepada publik, bahwa PKS tidak eksklusif.
Waktu itu, sebagai ketua pemenangan pemilu 2009, adalah Anis Matta, gagal 
mendongkrak suara PKS secara signifikan. Di Jakarta suara PKS turun 31 persen 
dibandingkan dengan pemilu 2004. Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, 
membuat langkah seperti mengangkat dan memberi gelar pahlawan dan guru bangsa 
Soeharto, dan memberikan berbagai hadiah kepada anak para pahlawan, tetapi 
tetap saja suara PKS di pemilu 2009, tidak banyak berubah. Karena, asumsinya 
Soeharto memiliki pengikut jutaan orang. Maka dengan memberikan gelar dan 
pengangangkatannya sebagai pahlawan dan guru bangsa Soeharto, para pengikutnya 
akan memilih PKS.
Sekarang, PKS menyelenggarakan Munas kedua di Hotel The Ritz Carlton, dan Hilmi 
Aminuddin, selaku ketua Majelis Syuro, telah menegaskkan PKS sebagai partai 
terbuka, bagi semua golongan. Meninggalkan sikap eksklusif, dan menjadi 
inklusif. Tidak lagi menjadi partai dakwah,yang dengan jargon, bersih, peduli, 
dan profesional. Tetapi, PKS menjadi partai terbuka yang diorientasikan bagi 
semua golongan, khususnya golongan non-muslim dapat menjadi anggota dan 
pengurus Partai PKS.
Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Hilmi Aminuddin, dan dengan versinya 
masing-masing tidak lagi mengangkat prinsip-prinsip Islam menjadi tujuan dan 
cita-citanya dalam membangun negara ini. Karena, takut dituduh sebagai kelompok 
yang eksklusif atau fundamentalis dan kawatir tidak mendapatkan dukungann 
politik dari kaum minoritas di Indonesia.
Bahkan PKS harus perlu mengundang Dubes AS Cameron Hume, di acara Munasnya. 
Langkah ini dianggap penting sebagai komunikasi politik dengan negara adi 
kuasa, yang mempunyai pengaruh politik secara global.
Di Indonesia, ternyata, baru Partai Masyumi, yang secara gigih berani 
memperjuangkan prinsip-prinsip Islam, bahkan mereka di Konstituante, 
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Bukan Pancasila. Para pemimpin 
Masyumi itu, umumnya berpendidikan sekolah Belanda, dan mereka tidak berlatar 
belakang syariah, tetapi mereka ‘ all out’ berani memperjuangkan nilai-nilai 
Islam menjadi dasar negara.
Mereka para pemimpin Masyumi hidup dengan sangat puritan, bersih, sangat 
bersahaja, tidak tergoda dengan kehidupan dunia. Ketika mereka meninggal tidak 
meninggalkan harta dan kekayaan yang melimpah.Natsir, Roem, Prawoto, Syafruddin 
Prawiranegara, Kasman, Sukiman, serta Isa Anshori, sangat bersaja.
Dan, Masyumi tetap menjadi Partai Islam terbesar sepanjang sejarah politik 
Indonesia, sejak merdeka. Di pemilu 1955 mendapatkan suara 20 persen.
Mereka bukan hanya menjadi pemimpin politik, tetapi mereka menjadi negarawan, 
yang sangat dihormati. Natsir, Roem, Syafrudin, Kasman, Prawoto, Sukiman, dan 
Isa Anshori, memberikan sumbangan bagi masa depan Indoensia sesudah kemerdekaan.
Para pemimpin politik sekarang ini ibaratnya, seperti sudah kalah sebelum 
berperang. Mereka menyangka dengan mengubah subsantasi partainya menjadi partai 
terbuka, dengan meninggalkan dan menggibiri Islam, serta menjadi partai yang 
inklusif dan pluralis dapat menjadi partai besar?
Faktanya secara empirik, teori itu sudah batal. PKB dan PAN menjadi partai 
kerdil, meskipun sudah dengan cara meninggalkan Islam. Mungkin nasib PKS tak 
akan jauh dari kedua partai itu. Mereka hanyalah berilusi. Menggapai kekuasaan 
dengan langkah-langkah yang penuh artifisial.
Mestinya, langkah yang diambil tetap menyakini Islam, dan mengamalkan dengan 
penuh kesungguhan. Rakyat atau umat tidak hanya melihat 'jargon-jargon' , atau 
permainan kata-kata yang mereka sampaikan lewat media-media, tetapi apakah para 
pemimpin partai itu sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat atau umat?
Apakah mereka tipe pemimpin yang memiliki akhlak mulia, seperti jujur, amanah, 
dan tidak mementingkan diri mereka sendiri? Sehingga dapat menjadi suri 
tauladan. Atau hanya sekumpulan orang-orang yang ambisius dengan kekuasaan. 
Wallahu'alam. hmn._,_._,___

 

Kirim email ke