Bagaimana asal-muasal kontroversi bahwa Gus Dur yang dituduh ingin mengganti 
"Assalamu'alakum" dengan selamat pagi? berikut kesakian Ahmad Tohari.

Kula Ndherek, Gus

Oleh Ahmad Tohari

ADALAH Edy Yurnaedi almarhum. Suatu siang, pada 1987, wartawan Majalah Amanah 
itu bergegas masuk ke ruang redaksi di Jalan Kramat VI Jakarta. Dengan wajah 
gembira dia meminta beberapa redaktur, di antaranya saya, mendengarkan 
laporannya. Dia baru selesai mewancarai KH Abdurrahman Wahid di Kantor PBNU. 
Topik wawancaranya adalah pluralitas internal umat Islam Indonesia.

Maka rekaman wawancara pun diputar. Intinya, Gus Dur mengatakan, kemajemukan di 
dalam masyarakat muslim di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejak berabad 
lalu. Meskipun sebagian besar umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i 
namun ada juga yang mengambil mazhab lain. Bahkan penganut Islam Syi’ah, 
Ahmadiyah, abangan pun ada. Menurut Gus Dur tingkat penghayatan umat pun amat 
bervariasi dari yang hanya berkhitan dan bersyahadat waktu menikah sampai yang 
bertingkat kiai. Namun, ujar Gus Dur kemajemukan itu harus tetap terikat dalam 
ukhuwah islamiyah atau ikatan persaudaraan Islam. Artinya, sesama umat Islam 
yang berbeda aliran maupun tingkatan pemahaman seharusnya saling menyambung 
rasa saling hormat.

Gus Dur sangat tidak suka terhadap istilah Islam KTP atau Islam abangan. 
Baginya, semua orang yang sudah bersyahadat dan berkelakuan baik ya muslim. 
Mereka yang ketika bertamu masih memberi salam dengan ucapan kula nuwun (Jawa), 
punten (Sunda) atau selamat pagi, ya muslim karena syahadatnya.

” Kalau begitu Gus, ucapan assalamu alaikum bisa diganti dengan selamat pagi?”  
tanya Edy Yurnaedi.
” Ya bagaimana kalau petani atau orang-orang lugu itu bisanya bilang kula 
nuwun, punten atau selamat pagi? Mereka kan belum terbiasa mengucapkan kalimat 
dalam bahasa Arab kayak kamu?” 

Itulah inti pendapat Gus Dur dalam wawancara dengan Edy Yurnaedi. Edy 
mengusulkan wawancara itu dimuat dalam Majalah Amanah edisi depan dengan 
penekanan bahwa Gus Dur menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat 
pagi. Alasannya cukup konyol. Menurut Edy, Majalah Amanah yang kala itu baru 
berumur satu tahun harus membuat gebrakan dalam rangka menarik perhatian pasar. 
” Kan nanti Gus Dur akan membantah. Dan bantahan itu kita muat pada edisi 
berikut. Nah, jadi malah ramai kan? Ini cuma taktik pasar kok,”  Edy ngotot.

Drs H Kafrawi Ridwan MA yang waktu itu jadi pemimpin redaksi lebih suka 
mengambil sikap momong kepada yang muda. Maka usul Edy ditawarkan kepada rapat. 
Tentu ada yang pro dan kontra. Celakanya lebih banyak yang pro. Mereka 
beralasan seperti Edy, cuma taktik pemasaran, dan Gus Dur mereka yakini akan 
membantah.

Dan terbitlah edisi assalamu alaikum itu. Benar saja, masyarakat riuh. Gus Dur 
menuai kecaman. Oplah majalah terdongkrak. Dan Edy melanjutkan aksinya dengan 
mewawancarai kembali Gus Dur. Diharapkan Gus Dur akan membantah bahwa dia telah 
menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Tapi Edy amat 
terkejut ketika Gus Dur dengan enteng menjawab, buat apa membantah. ” Biarin, 
gitu aja kok repot.” 

Edy pulang ke kantor dengan wajah lesu. Oleh pemimpin redaksi dia dianggap 
telah gagal menyukseskan strategi pemasaran. Memang, oplah naik tetapi makan 
korban berupa terjadinya fitnah di tengah masyarakat. Secara pribadi saya 
pernah minta Gus Dur berbuat sesuatu untuk menghentikan fitnah yang sebenarnya 
tidak perlu terjadi. Tapi dasar Gus Dur. Dia tetap pada pendirian akan 
membiarkan fitnah itu berhenti sendiri.

Sayang fitnah itu ternyata berumur panjang. Setelah Gus Dur wafat kemarin masih 
terdengar suara penyiar yang mengatakan Gus Dur pernah ingin mengganti assalamu 
alaikum dengan selamat pagi. Maafkan kami para wartawan dan redaksi Majalah 
Amanah yang telah bermain api yang ternyata membakar kami sendiri. Gus Dur 
sendiri tetap berjiwa besar, tetap bersahabat, meskipun banyak yang terpaksa 
salah faham. Gus Dur tidak pernah mengusulkan mengganti assalamu alaikum dengan 
selamat pagi. Untuk hal ini saya akan menjadi saksi bagi Gus Dur.

Dia, dengan kebesaran jiwa hanya ingin mengajak siapa pun untuk menghargai 
sesama muslim yang bisanya mengucap salam dengan kula nuwun, punten, atau 
selamat pagi. Ini adalah sikap dasar Gus Dur yang menyintai semua muslim dari 
yang hanya bermodal khitan sampai yang bergelar kyai. Bahkan ukhuwwah 
basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) yang berkembang dari iman membuat Gus Dur 
memiliki rasa cinta kepada siapa saja, tak pandang ras, agama, maupun status 
sosial. Sugeng tindak, Gus, insya Allah kula ndherek.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/01/02/93511/Kula.Ndherek..Gus

Ila hadlrati sayyidina al-musthafa Muhammad saw, wa ila ruhi kh. Abdurrahman 
Wahid, alfatiha....




Kirim email ke