Pengantar dari Panitia
 
Jika saudara-saudara adalah orang-orang yang mencintai atau bahkan mungkin membenci Indonesia, maka saat inilah kesempatan yang baik untuk mengungkapkannya. Pada saat usia Indonesia yang ke-60 tahun, sebuah usia yang bagi ukuran hidup manusia sebagai usia yang hampir senja, maka ungkapan cinta atau kebencian itu akan sangat berguna untuk refleksi diri. Kami pendukung acara sarasehan ini, sebagai anak-anak bangsa, bagian dari Indonesia, ingin mengetahui lebih dalam mengapa saudara-saudara mencintai atau membenci Indonesia. Mari kita saling bicara dan saling mendengarkan untuk Indonesia.
Saya sebagai ketua panitia sarasehan ini ingin memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada teman-teman yang telah memberikan ide-ide, saran-saran dan juga kerja keras selama mempersiapkan acara sarasehan ini. Demikian pula kepada seluruh organisasi yang telah memberikan dukungan yang besar kepada acara ini seperti: Stichting Indonesia Media, Sastra Pembebasan, Stichting Asia Studies (SAS), Stichting Indonesia Sejahtera (SIS), Stichting Sapu Lidi, Perhimpunan Dokumentasi Indonesia, PPI Belanda, PPI Den Haag, PPI Leiden, dan PPI Mastricht. Ucapan terima kasih secara khusus juga kami berikan kepada Bapak Muhammad Jusuf, Duta Besar Republic Indonesia untuk Kerajaan Belanda baik secara pribadi maupun kelembagaan atas dukungannya yang besar bagi kegiatan ini.
Pengantar dari Editor
 
Mengadakan sarasehan untuk memikirkan kembali dan merayakan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan sebuah kegiatan penting yang digagas sejumlah orang di Belanda. Mungkin terkesan nyleneh jika dalam memperingatinya kali ini diadakan sebuah sarasehan. Namun dari sejumlah pertemuan panitia yang diadakan, kekerasan niat dan arti penting acara ini semakin menemukan bentuknya.
Dari ide mempertanyakan kembali keindonesiaan kita, wacana sertaan lainpun kemudian muncul. Berbagai jejak sejarah perjalanan bangsa Indonesia banyak yang masih kabur. Sementara kehidupan hari inipun tak kalah menariknya untuk dibicarakan.
Format acara yang diinginkan oleh panitia adalah membuka kran pembicaraan dari para peserta seluas mungkin. Panitia menghadirkan dan menyediakan sejumlah orang yang berfungsi sebagai fasilitator dalam sarasehan ini. Maka dipilihlah nama-nama Martin van Bruinessen, Agung Tri, dan Irwansyah. Mereka diharapkan akan dapat menggelitik dan menggoda peserta untuk berbicara dalam acara ini. Tak ada pemakalah atau panelis. Pesertalah pembicara dalam forum ini. Dengan demikian, dari sarasehan ini diharapkan akan muncul beragam pembicaraan yang pada intinya berbicara tentang keindonesiaan. Memperkaya diri kita sebagai bangsa dari sebuah entitas bernama Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dari dan pada sarasehan ini diharapkan akan terjadi peristiwa budaya. Setidaknya mereka yang hadir akan dapat mengambil gambaran dan citra berkaitan dengan persoalan kebangsaan yang beragam. Dengan saling mendengarkan dan menceritakan apa yang ada dalam kepala tentang gambaran mengenai kebangsaan, semoga akan terjadi dialog dan pertanyaan-pertanyaan yang akan terus menggoda untuk dipikirkan. Mungkin bukan hanya saat ini saja persoalan-persoalan ini dapat dipertimbangkan, namun di hari-hari yang akan datang semoga masih menyisakan gema.
Bookleat ini berisi sekumpulan tulisan yang dipersiapkan untuk menjadi bahan pembicaraan. Meski demikian, tulisan-tulisan yang terhimpun dalam booklet ini tidak berarti menjadi penanda akan tema sarasehan yang akan berlangsung pada tanggal 6 Agustus 2005. Mereka yang menyumbangkan tulisan ini hanya diberitahu agar menuliskan permasalahan berkait dengan kebangsaan, dan juga berlatar bidang keilmuan dan ketertarikan mereka saja. Hasilnya, tulisan-tulisan ini mencerminkan bahwa persoalan kebangsaan kita ternyata sangat beragam.
Muridan menyoroti persoalan bangsa secara global dengan mengambil perspektif peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar dikemukakan dengan nada kekhawatirannya. Arah perjalanan bangsa patut dibaca kembali dengan melihat identitas budaya kita.
Tulisan saya berangkat dari telaah cerpen-cerpen Raudal Tanjung Banua yang secara intens mempertanyakan identitas budaya. Sastra merupakan cermin dari realitas sosial, meski pada batas-batas tertentu tidak memantulkan keseluruhan gejala. Namun karya sastra dapat berbicara tanpa batasan ruang dan waktu. Dari telaah yang dilakukan, ternyata gejala budaya berupa pencarian identitas budaya telah menyebar secara merata. Manusia hari ini tidak lagi dibatasi oleh hambatan akses informasi dan psikologi untuk memahami budaya lain. Kita telah dengan serta merta dapat berbicara tentang tetangga kita, yang berlainan latar budaya, dan kemudian melakukan dialog yang saling mengisi dan memahami, trans-individual.
Pada sisi yang lain, Ahmad Daryanto berbicara tentang proses psikologis yang menjangkiti alam bawah sadar kita. Ingatan kita terus digedor dan diteror dengan berbagai kekerasan dan sadisme yang kemudian diterima sebagai sebuah kewajaran. Mungkin untuk satu dua masa, semua itu tak menampakkan gejala. Namun pada titik-titik tertentu, ingatan itu akan kembali dan mempengaruhi kehidupan kita. Apa jadinya bila kekerasan dan sadisme menjadi sebuah identitas baru bagi masyarakt kita?
Permasalahan lingkungan juga menjadi masalah serius yang tak henti-hentinya terjadi dan mengancam bangsa kita. Namun sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini belum menampakkan tanda-tanda keberhasilan. Alih-alih memberantas penyalahgunaan pengelolaan hutan, pemerintah sepertinya tak sepenuh hati untuk mengusahakannya, karena juga memiliki andil di sana. Hal inilah yang dicoba-lihat kembali oleh Andri Gunawan Wibisana dalam tulisannya yang disertakan dalam bookleat ini. 
Tulisan-tulisan ini, sekali lagi, adalah hantaran singkat untuk acara sarasehan. Mungkin pembaca tidak menemukan kaitan langsung antara persoalan yang diangkat dalam tulisan-tulisan ini dengan pembicaraan yang akan berlangsung dalam acara nanti. Namun setidaknya panitia berusaha untuk memberikan keleluasaan seluas mungkin bagi wacana yang akan hadir. Setidaknya tulisan-tulisan ini berusaha untuk mencatat yang mungkin terlewat.
Apa lagi, panitia berencana untuk mendokumentasikan acara ini dalam berbagai bentuk; rekaman suara, video, dan tulisan. Menuliskan dan menerbitkan hasil sarasehan dalam bentuk buku juga masih menjadi harapan.
Kepada para penulis yang telah memberikan sumbangan tulisan ini diucapkan terima kasih. Saya melakukan beberapa editing bahasa pada beberapa bagian yang menurut saya perlu untuk diubah. Kepada para peserta sarasehan kami ucapkan selamat bersarasehan dan semoga dari kegiatan ini akan memberikan sesuatu yang berarti bagi kita semua.
 
Leiden, Agustus 2005.
 
Sudarmoko     
 
Daftar Isi
Membangun Keindonesiaan Kita
Kerangka Pemikiran Sarasehan 60 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 2005 di Belanda
Disusun oleh: Muridan  S. Widjojo .  .  .  .   .  .  .  .  .  .  .  .  1
Identitas Kultural dan Sastra yang Tersebar
Sudarmoko  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  4
Priming dan Masyarakat Kekerasan (Violence Society)
Oleh Ahmad Daryanto .  .  .  .  .   .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  10
Menambang di Kawasan Hutan:
Fenomena Rabun Jauh dalam Pengambilan Keputusan
Oleh: Andri Gunawan Wibisana  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  14
Jiwa Proklamasi Republik Indonesia telah ….(Belum selesai)
Oleh S. Mintardjo  .  .  .  .  .  .  .  .  .  . .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  16
Menyerahlah, Elit Indonesia!
Oleh AD Daery . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . .. .  . . . . . . . .. .. . 21
Susunan Panitia
Jadwal Acara

Membangun Keindonesiaan Kita
Muridan  S. Widjojo

Dasar Pemikiran
 
Keindonesiaan seperti apa yang tumbuh di dalam jiwa dan hati kita sekarang ini? Sudahkah sesuai dengan kebutuhan kita bersamakah keindonesiaan yang selama ini kita bangun? Apa artinya Indonesia dan keindonesiaan bagi kita semua dalam konteks krisis politik dan ekonomi serta agresi ekonomi global sekarang ini? Citra dan kenyataan apa dan bagaimana yang mewataki Indonesia seperti apa yang kita sedang bangun? Bangga atau tidak, kita sudah dikenal sebagai bangsa korup, sarang teroris, tak menghargai HAM dan gemar ‘amuk’. Juga di dalam ‘rumah’ kita. Dalam hal agama dan etnisitas, yang mayoritas masih menindas minoritas. Atas nama ilahi atau kepribumian, kita menindas yang lemah. Atas nama kebencian pada komunisme, jutaan saudara kita dipariakan. Atas nama nasionalisme, kita menginjak-injak hasrat damai dan keadilan di Aceh dan Papua. Ini membuat kita menjadi bangsa yang dilecehkan. “Indonesia is a country in despair”, kata seorang Indonesianis asal Belanda.
 
Keindonesiaan itu adalah identitas dan citra apa, mengapa, dari mana dan bagaimana hati dan jiwa kita mengenali dan merangkai kumpulan anasir besar-kecil yang berserak: watak-watak bertentangan, kekuatan-kekuatan tercecer dan cita-cita jamak nan gamang dari Indonesia. Diinginkan atau tidak, ia terus beringsut dan berubah. Sosok dan isinya, bergantung pada struktur dan alur kuasa ruang dan waktu, tetapi utamanya pada persetubuhan wacana pemikiran dan tindakan kolektif kita di dalam meng-Indonesia. Oleh karenanya keindonesiaan itu tak bisa dan tak pernah selesai. Ia perlu terus diperkuat dan diperbaharui. Jika kita menganggapnya selesai, dia membeku dan memberhala. Kita membutuhkan keindonesiaan itu untuk pengakuan dan pijakan. Juga cermin dan jati diri. Dengan itu pula kita semua merasa memiliki ‘rumah’ dan ‘halaman’ dan membagian dari keindonesiaan yang kita bisa bangun bersama. Ini soal pathos (jiwa dan hati), kata Otto Bauer. Ernst Renan mengatakannya dengan cara lain, c’est le désir d’être ensemble.
 
Siapa yang bertanggung jawab membangun keindonesiaan itu dan bagaimana kita mewujudkannya dalam keseharian kita?
 
Keindonesiaan tidak hanya bergantung pada tafsir sejarawan tentang kapan dan bagaimana Indonesia merdeka dan mengada. Tidak juga hanya pada pemimpin besarnya tentang utopia adil dan makmur. Tidak juga hanya pada pemimpin agama-agama yang mendiktekan kebenaran ‘mutlak’ Indonesiawi. Apalagi hanya pada sekumpulan serdadu yang melihat keindonesiaan dari kekuasaan dan senjata. Lebih jauh dari itu, keindonesiaan bergantung pada setiap pihak dari kita. Ia semestinya menjadi proyek terbuka untuk ditawar dan dipintal bersama agar kian merangkul dan setiap kita merasa memiliki sumbangan di dalamnya. Baik oleh yang di pusat kuasa maupun yang di pinggiran. Baik oleh minoritas maupun mayoritas. Baik oleh yang berkata-kata besar maupun yang bungkam. Dengan demikian mimpi dan kerja-kerja kita semua menjadi kekuatan sinergis, berbeda-sekaligus-sejalan, dalam keindonesiaan yang lebih terhormat dan mendengarkan.
 
Disadari atau tidak, dalam konteks membangun keindonesiaan inilah upaya pemberantasan korupsi yang sedang berlangsung dan pidato Presiden Yudhoyono pada Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Waisak baru lalu ditempatkan. Citra dan kenyataan sebagai bangsa yang korup sedang dilawan. Juga “Jangan menjadi bangsa yang pemalas,” katanya. Beliau pasti tidak menginginkan hari kebangkitan itu menjadi hari kebangkrutan. Begitu pula dengan pernyataan retorisnya, pada hari besar keagamaan itu, mengapa bangsa yang rajin sembahyang ritual ini juga rajin melakukan korupsi. Beliau, juga sebagian besar dari kita, pasti tidak menginginkan hari keagamaan akhirnya menjadi hari kemunafikan. Beliau juga mengatakan “jangan menjadi bangsa pemarah dan suka kekerasan.” Ini karena beliau sadar bahwa kita sudah lama tidak menjadi bangsa yang pendamai dan toleran. Pemerintah sebenarnya juga sedang mengoreksi keindonesiaannya sendiri. Begitu pula, kita.
 
Tapi semua ini tak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah dan harus menjadi agenda dan gerak maju bagi seluruh anasir dan kekuatan berserak Indonesia. Pertanyaan dan renungan baru menyangkut keindonesiaan kita perlu diajukan terus menerus. Dan soal itulah yang akan menjadi fokus sarasehan dalam rangka peringatan 60 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini.
 
Disusun oleh:
Muridan  S. Widjojo
Peneliti LIPI dan Mahasiswa S3 Universitas Leiden
[EMAIL PROTECTED]


Start your day with Yahoo! - make it your home page

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke