teman-teman,
Disini kami kirimkan pengalaman dan penderitaan seorang korban 65 di Sumut. Mudah-mudahan bisa memberi manfaat buat yang lain dan membangkitkan semangat untuk melakukan perlawanan.
 
Salam,
Sarma

 

Ngebon Kambing Di Ladang Tebu

( Kisah Edi Sartimin, Korban stigma PKI)

 

“Ibu saya, Siti Hamidah, dari keturunan Tiawchu bermarga Lie. Itu petani. Orang tua laki laki bapak dari keturunan Konghu, Tan Tiang Seng. Itu tukang. Dulu kalau teman tanya margamu apa. Saya bilang setan. Se itu artinya marga dan Tan itu marga saya. Jadi saya bilang setan,”Kata pak Edi, sapaan akrab Edi Sartimin, nama yang dipakainya selain nama asli, Tan Hoek Tjum. 

 

Hampir tidak ada aktivis mahasiswa era 98 yang tidak kenal Edi Sartimin, atau setidaknya jika tak kenal namanya, familiar dengan seorang kakek yang setiap hari naik sepeda dengan sebuah kamera dibahu, dan hampir selalu memakai topi ala Che Guevara.  Jika rindu pak Edi, datang saja ke kantor DPRDSU. Jika melihat sebuah sepeda tua berwarna biru, diparkir lengkap dengan kunci roda, carilah, Edi pasti ada di sekitar gedung besar itu. Disana Edi bisa melakukan beberapa hal. Ada kalanya melakukan orasi, ikut hanyut masyuk dalam aksi unjuk rasa, namun terkadang keluar dari barisan dan menjepretkan kamera Ricoh 500GX-nya. Hasil jepretan  yang biasanya  dibeli oleh teman teman seperjuangan itu menjadi cara unik pak Edi untuk bertahan hidup hingga saat ini.

 

Pertamakali menghirup udara bebas- dari penjara- tahun 1972,  Edi mengawali hidupnya sebagai buruh bangunan, namun beberapa bulan kemudian berhenti. Atas inspirasi dari seorang kawan bernama Rahmat, seorang juru photo dan juga eks Tapol, Edi membeli sebuah kamera merk Seagul. Sembari belajar dari Rahmat, Edi berharap dapat bertahan hidup dengan menjadi tukang photo jalanan.  Edi biasa mangkal di sekolah MAN I dan II Medan. Edi memperoleh pencarian yang cukup untuk menghidupi dirinya selama bertahun-tahun.

 

Namun jalan hidup yang normal(atau diatas normal?) ini rupanya tidak lama menjadi milik Edi. Tahun 1988, salah seorang tukang photo saingan Edi, melaporkan kepada kepala sekolah bahwa Edi adalah eks Tapol. Hal itu membuat kepala sekolah melaporkan Edi kepada aparat dan  melarang Edi untuk masuk ke lingkungan sekolah. Berita itu cepat menyebar dan membuat Edi dibenci banyak orang termasuk dilingkungan tempat tinggalnya. Tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya oleh karena tidak diterima oleh lingkungannya, dengan berat hati Edi menjual kameranya, mengganti identitas dan pergi merantau ke Pekan Baru.

 

Ditempat baru mengawali hidupnya sebagai centeng rumah remang-remang milik seorang mantan Tentara yang masih kenal dengan Edi. Sang teman berjanji tidak akan mengungkapkan identitasnya kepada orang lain. Untuk pertama kalinya sejak keluar penjara, Edi dapat mengurus KTP tanpa tanda ET ditempat sang mantan tentara penolong itu. Karena sudah merasa ‘bersih’, dan dengan harapan dapat mengadu nasib dengan mencari pekerjaan yang lebih baik, secara halus Edi meminta keluar dari kafe maksiat itu.

 

Setelah mendapat ijin keluar dari sahabatnya itu, Edi memulai pekerjaan barunya, bergabung dengan  penggarap hutan. Berteman dengan binatang-binatang hutan, sinso, dan tiga hingga lima orang teman setiap hari berada ditengah hutan melakukan penebangan-penebangan liar. Sesekali ketemu dengan orang sakai atau orang kubu yang masih telanjang. “Pak Edi pernah dikeroyok orang sakai, terus melarikan diri menembus hutan sendirian, Pak Edi juga pernah tertimpa pohon lapuk karena getaran sinso hingga pingsan ditengah hutan itu.

 

Tidak betah dengan kehidupan liar itu, tahun 1994, Edi memilih kembali ke Medan. Maksud hati ingin bertemu keluarga, anak dan cucu di tanjung Morawa, lagi-lagi Edi tidak diterima. “Dasar tidak tau berterimakasih, syukur syukur kau tidak digorok dulu,”demikian kata kata keluarga kepada Edi. Dengan berbagai pertimbangan, Edi kembali melakoni hidup sebagai penebang kayu di Pekan Baru. “Pekerjaan saya layaknya kerbau beban, menggerek gelondongan itu dengan memakai tali yang dililitkan didada, makanya fisik saya sehat”kata Edi.

 

Tidak diakui oleh istri, anak dan seluruh keluarganya tidak menyurutkan semangat hidup Edi. Saya tidak hidup sebatang kara.Walau keluarga mencampakkan pak Edi, pak Edi punya banyak anak yang mengakui saya sebagai bapaknya. Mereka pintar-pintar, banyak juga mahasiswa. Mereka semua keluarga saya.  Walau demikian, Edi tetap memantau dari jauh keluarga biologis-nya. Mantan istrinya , almarhum Misnem, kawin dengan seorang Tionghoa. Pak Edi sudah punya cucu  bernama Rrn yang sudah duduk di kelas tiga SLTA di Tanjung Morawa, dari putri kandungnya Ssn.

 

Dengan mencoba bertempur dengan ingatan, Edi menuturkan awal penderitaan yang kelak mengubah totalitas hidupnya ini. Edi Sartimin adalah anggota TNI Angkatan Darat dari pasukan khusus atau Batalyon Raiders dengan pangkat terakhir Kopral Satu. Sebelum masuk tentara, Edi akrab dengan kehidupan jalanan di Medan, sembari bersekolah di Herstel RK, Jl Sindoro Medan, sebuah sekolah milik Belanda. Orang tua Edi sesuai dengan marganya adalah seorang mekanik. Kerap Edi membantu perbengkelan  orang tuanya itu. Suatu kali, tahun 1957, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Edi melamar sebagai anggota tentara. Walaupun mendapat tentangan utamanya dari ayahnya setelah mengetahui Edi lulus masuk tentara, Edi tetap mengikuti masa latihan yang dipusatkan di SKI Siantar ( sekarang Rindam), hingga akhirnya sepuluh tahun kemudian, Edi diperhadapkan dengan tuduhan yang sama sekali diluar bayangannya.

 

Tiga hari sebelum ditangkap, pistol Edi telah lebih dulu diambil dengan alasan akan ditukar yang baru. Pukul 19.30, tanggal 19 September 1967, Pulang nonton dari Deli bioskop, Edi ditangkap oleh tiga orang tentara dari Asrama Yon Para, jauh hari setelah peristiwa G 30 S PKI. Tentara yang masih teman dekat Edi itu mengaku disuruh oleh komandan batalyon Para, Mayor Besar Rino K, dengan alasan terlibat G 30 S PKI.

 

“Tiga hari pertama adalah neraka penyiksaan bagi saya. Sejak sampai di kamp, saya sudah melihat teman teman saya juga ditangkap, disiksa dan ditelanjangi. Kami semua dibuat telanjang bulat, ditunjang, dan tidak dikasih makan. Pada hari ketiga kami semua disuruh buat surat wasiat kepada keluarga, karena akan dibunuh. Semua. Banyak orang menangis sambil menulis surat surat itu. Ternyata itu mop saja, supaya mereka tahu apa yang kami tulis disitu, namun demikian, satu persatu kami juga diambil dan tidak pernah kembali. Hari hari di tahanan adalah masa yang mendebarkan, karena ada saja yang diambil pada malam hari untuk dibunuh. Orang orang yang tergabung didalam Komando Aksi, yakni preman-preman yang diorganisir oleh tentara selalu datang pada malam hari. Dengan persetujuan tentara yang menjaga tahanan, tahanan bisa diambil dan dibunuh oleh Komando Aksi itu. “ Pak, ngebon kambing pak,”Begitu orang orang komando aksi meminta kepada tentara penjaga, supaya orang orang yang dituduh PKI itu bisa mereka ambil untuk dibunuh,”Tutur Edi. Mereka dibawa ke berbagai tempat untuk dibunuh dan dipersaksikan kepada khalayak ramai sebagai bentuk agitasi. Mayat mayat itu sengaja diletakkan di jalanan kota, di sungai seperti sungai wampu, sungai Deli dan Sungai Ular, serta diperkebunan terdekat seperti kebun tebu dan tembakau di pinggiran kota.  Mayat mayat itu tidak dikuburkan, dibiakan dimakan oleh binatang seperti anjing di pinggir jalan.

 

Edi menjalani hukuman tanpa proses hukum formal yang jelas, pun mengakhirinya dengan tidak jelas pula tahun 1972, setelah menjalani hukuman di berbagi lokasi tahanan di Sumatera Utara seperti Rutan Suka Mulia, Tanjung Kasau dan Jalan Gandhi. Keluar dari tahanan, Edi masih harus menjalani wajib lapor dengan KTP bercap OT/ET. Pilihan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan jalan selanjutnya yang ditempuh Edi setelah berkali-kali ditolak oleh keluarganya.

 

Tahun 97, untuk kedua kalinya Edi memulai pekerjaan sebagai tukang photo, dengan memilih lokasi mangkal di Taman Muara Indah Varia Tanjung Morawa,Tamora, tempat wisata kecil bagi warga Medan. Seiring dengan perkembangan kamera kini, Edi mengaku sudah kesulitan mendapatkan order. “Karena kamera pocket dan kamera digital itu, saya sulit mencari pelanggan. Sejak awal tahun 2000 lalu, aku sudah jarang ke Tamora, saya lebih sering meliput dan mengikuti aksi-aksi sekarang”,Kata Edi. Belakangan, Edi banyak membangun komunikasi dengan orang orang muda dan aktivis mahasiswa. Tercatat Edi pernah menjadi anggota PRD, kemudian mengundurkan diri dan bergabung dengan PDS, dan sejak tahun 2004 bergabung dengan Komite Aksi Korban Pelanggaran HAM 65 Sumut ( KKP HAM Sumut).

 

“Sekarang saya punya harta yang sangat mahal, satu sepeda, dan sebuah kamera. Inilah harta sekaligus alat saya untuk bertahan hidup. Yang masih pak edi bingung, kedua benda mahal ini mau diwariskan sama siap kelak kalau aku  mati”. Kamera dan sepeda Edi, terlihat setua umurnya yang sudah 68 tahun. Jaman bisa sudah abad millennium,  namun kesederhanaan Edi dengan kedua benda keramatnya, mengingatkan setiap orang atas aroma jaman 60-an. “Setiap hari, saya naik sepeda sejauh tiga puluh kilometer”.

 

Last of July 05

 



Umar Said <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
(Berita berikut di bawah ini juga disajikan dalam website
 http://perso.club-internet.fr/kontak
 
 

                            40 TAHUN PERISTIWA 65

 

Dari berbagai fihak didapat informasi bahwa menjelang datangnya bulan September 2005  banyak kalangan di Indonesia dan juga di luarnegeri sedang merencanakan untuk mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka memperingati 40 tahun peristiwa 65.  Kegiatan untuk mengangkat tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam tahun 1965 ini akan mengambil berbagai bentuk, isi  dan cara, sesuai dengan kondisi setempat masing-masing.

 

Didapat informasi bahwa untuk memperingati 40 peristiwa 65 ini di Surabaya telah terbentuk panitianya yang diketuai oleh LBH Surabaya dan wakil ketuanya dari LPR-KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru). Panitia yang serupa juga telah terbentuk di Jogya, yang diketuai oleh LSM  “Sarikat” dan wakilnya juga dari LPR-KROB. Selain itu, juga panitia-panitia lainnya telah terbentuk di kota-kota di berbagai daerah, antara lain Makassar, Banten, dan Solo.

 

Dapat diperkirakan bahwa  banyak panitia-panitia  “peringatan 40 tahun peristiwa 65 “ yang  akan dan sedang terus dibentuk di banyak tempat lainnya. Di banyak tempat, anggota-anggota dan simpatisan berbagai organisasi para korban peristiwa 65 seperti LPR-KROB, Pakorba, LPKP, YPKP, dan berbagai tim advokasi mengadakan kerjasama dengan unsur-unsur lainnya dalam masyarakat luas untuk kegiatan peringatan ini, umpamanya kalangan intelektual, budayawan, LSM, organisasi pemuda, wanita, buruh, tani dll. Beberapa waktu yang lalu LPR-KROB sudah menginstruksikan 185 cabangnya di seluruh Indonesia untuk mengambil bagian dalam kegiatan peringatan ini.

 

Mengingat pentingnya “peringatan 40 tahun peristiwa 65” ditinjau dari berbagai segi, maka website http://perso.club-internet.fr/kontak/   akan membuka rubrik khusus yang diberi nama “40 tahun peristiwa 65”. Dibukanya rubrik khusus ini dimaksudkan untuk bisa ikut partisipasi dalam mengangkat masalah besar dan mengandung penuh riwayat ini, yang telah terjadi dalam  sejarah bangsa sejak 1965.

 

Dalam rubrik ini akan diusahakan disajikan berita, tulisan, wawancara dan lain-lain bahan dari berbagai kalangan, dengan tujuan untuk mengajak sebanyak mungkin orang merenungkan bersama secara serius  apa artinya 40 tahun peristiwa 65 bagi kehidupan bangsa dan negara kita, dan pelajaran apa saja yang bisa dan perlu kita tarik dari padanya.  Juga diusahakan penyajian tulisan-tulisan atau bahan-bahan  yang bisa membantu perluasan dan pendalaman pandangan kita mengenai soal-soal penting bangsa, umpamanya: soal peristiwa G30S itu sendiri, soal “terlibat tidaknya  PKI” dalam G30S, soal digulingkannya Bung Karno oleh TNI-AD, soal pengkhianatan Suharto, soal  pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang tidak bersalah, soal pemenjaraan sewenang-wenang para tapol, soal penderitaan keluarga korban peristiwa 65, soal  peran asing dalam peristiwa 65, soal rehabilitasi para korban, soal berbagai kejahatan dan kesalahan Orde Baru, dan 1001 soal-soal penting lainnya.

 

Disajikannya berbagai tulisan dan bahan dalam rubrik “40 tahun peristiwa 65”, diharapkan merupakan sumbangan dalam usaha kita bersama untuk memupuk kesedaran banyak orang atas sangat pentingnya rasa perikemanusiaan , rasa persaudaraan, dan solidaritas sosial, di kalangan bangsa kita, yang dewasa ini sedang mengalami berbagai persoalan besar dan rumit, sebagai warisan Orde Baru.

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke