Catatan laluta
Tragedi 6 September 2004 y.l., ketika Almarhum Munir yang sebagai salah satu penumpang pesawat terbang GARUDA menuju ke Negara kincir. Di angkasa raya, nyawanya yang amat terbilang itu melayang — direnggut sang maut... ". Nama Munir, yang disejajarkan dengan dua nama Aktivis HAM untuk Demokrasi yang lain, yakni Min Ko Naing (Burma) dan Anna Politkovskaya (Rusia), juga dinobatkan meraih 2005 "Civil Courage Prize Honorees".
Untuk itu saya kirimkan Impresi diri A. Kohar Ibrahim, berjudul "Munir Pemerhati Orang Hilang, Nyawa Terbilang"
 
La Luta Continua!
 
http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8292
 
IMPRESI DARI EROPA
 
Munir Pemerhati Orang Hilang, Nyawa Terbilang
 
Oleh redaksi
Sabtu, 09-April-2005, 22:43:02 150 Klik  
 
 
Oleh : A. Kohar Ibrahim 
 
 
Indonesia : dari jumlah penduduk terbanyak ke-5 di dunia, kiranya cukup banyaklah kaum terpelajar yang memiliki diploma sekolah tinggi. Tamatan akademi, institut atau universitas. Entah berapa juta orang jumlahnya. Meskipun demikian, kiranya tidak semua dari mereka itu bisa masuk kategori kaum intelektual.  
 
Di Indonesia, kaum intelektual yang sejati, seperti yang dicontohkan oleh Emile Zola dan para pendukung perjuangannya membela kebenaran dan keadilan dengan gagah berani dalam Skandal Dreyfus itu, tidaklah banyak. Dan di antara mereka yang jumlahnya tidak seberapa itu, dalam situasi mutakhir ini yang paling menonjol dan paling hangat diperbincangkan orang, tak syak lagi adalah yang bernama Munir. 
 
Kehadiran sosok Munir sejak awal mulanya memang dalam situasi dan kondisi bangsa dan negara Republik Indonesia mengalami masa kegelap-pengapan yang paling dahsyat. Dengan demikian kehadirannya itu mengandung makna yang teramat signifikan : bagaikan monumen obor yang menjulang tinggi. 
 
Pasalnya sang pendekar hak-hak azasi manusia yang tumpuan perhatiannya terhadap kasus orang-orang hilang itu, harus kehilangan nyawanya yang amat terbilang. Dalam suatu Skandal Pembunuhan, ketika dia sedang terbang menunggang pesawat Garuda menuju Amsterdam tanggal 7 September 2004. Salah seorang putera terbaik rakyat Indonesia itu wafat akibat keracunan. Racun yang kedapatan dalam makanan yang disajikan untuknya. 
Sungguh ! Pembunuhan di angkasa tinggi seorang Sarjana Hukum Munir tamatan Universitas Brawijaya Malang itu merupakan simbol signifikan dari keintelektualannya yang sejati. Dan, pengabdiannya pada hidup dan kehidupan manusiawi yang luhur. Sebagai pertanda kontrasnya dengan sang pembunuh yang layaknya keluar dari dalam comberan yang paling mendasar.  
 
Kontrasnya nilai Sang Pahlawan Hak-hak Azasi Manusia yang memuliakan manusia dan kemanusiaan dengan Sang Pembunuh yang menghinakan manusia dan kemanusiaan. 
Meskipun wafat dalam usia relatif masih muda, jejak langkah kehidupannya nampak sudah kaya dan amat bermakna serta jauh ke depan. Mungkin sudah keterlaluan jauhnya bagi sang pembunuh, hingga begitu ketakutan atas keberadaan sosok tokoh yang begitu kuat-teguh lagi berani itu. Berani karena Benar. Berani demi Keadilan. 
 
Maka tidaklah mengherankan jika kematiannya seperti itu menjadi kehebohan. Nyaris tak ada yang terang-terangan berpihak pada sang pembunuh. Sedangkan terhadap sang Pahlawan Hak-hak Azasi Manusia aneka ragam simpati teriring kegusaran ke alamat sang pembunuh. Kesemuanya terutarakan lewat berbagai ragam media massa maupun pertemuan-pertemuan tingkat akar rumput sampai tingkat tinggi Istana Negara Republik Indonesia. Kasus Orang Hilang menjadi topik dan cukup luas diperbincangkan orang. Sekali pun kasus tersebut bukan kasus baru – baik yang terjadi di bumi Nusantara maupun di bagian bola bumi lainnya. Namun salah satu maknanya justeru dengan adanya Skandal Pembunuhan di Angkasa itu maka semakin banyak orang tahu dan membicarakan kasus Orang Hilang. 
 
Dalam kaitan ini, saya jadi teringat pada peristiwa budaya dua dasa warsa lebih yang lalu. Kongkritnya peristiwa pemenang Piala Palm d’Or Festival Film Internasional di Cannes Perancis tahun 1982. Yakni film yang justeru berjudul « Missing » (Yang Hilang) hasil karya sutradara tenar Costa-Gavras.  
 
Film tersebut baik disebabkan oleh kualitasnya maupun bentuk hadiah internasional yang diraihnya itu, telah membangkitkan polemik. Terutama sekali mengenai isi kisah yang dihidangkannya. Yang meskipun sebagai karya seni namun yang diungkapkannya itu berdasarkan kisah faktual lagi aktual pula. Kisah berkenaan dengan sistem kediktatoran yang diberlakukan di Amerika Latin, yang secara sewenang-wenang menginjak-injak hak-hak azasi manusia. 
 
“Anda memang takkan bisa mengubah pandangan politik orang dengan sebuah film”, ujar sang sutradara besar Perancis asal Yunani, Costa-Gavras itu,”tetapi paling tidak Anda bisa menimbulkan diskusi politik.” 
 
Ringkasnya : betapa pentingnya bicara. Berdiskusi membicarakan persoalan politik berupa kejahatan kemanusiaan yang teramat keji, seperti perihal manusia menculik dan menghilangkan manusia. Perlunya bicara justeru ketika panguasa yang melakukan kejahatan sedang terus melakukan pembungkaman atau pemberangusan dengan segala cara.
Terutama sekali dengan cara-cara pemberangusan kemerdekaan pers, pelarangan orang untuk mencari, mendapatkan infromasi dan mengutarakan pendapat akan kebenaran dan keadilan. Pemberangusan dan pelarangan itu diberlakukan dengan cara-cara penyebaran ketakutan berupa aksi-aksi teror baik oleh pasukan sipil milisia maupun pasukan bersenjata resmi dari rezim fasistis setempat. Seperti di Bolivia, Paraguay, Argentina, Nikaragua, Chili dan semacamnya lagi. 
 
Maka dengan karya seni film berjudul Missing (Yang Hilang) itu sineas Costa-Gavras telah turut mengungkap-angkat penggelapan tindakan kejahatan atas manusia dan kemanusiaan yang terjadi di kawasan benua Amerika Selatan di mata dunia. Semata-mata untuk melengkapi hasil kreasi seni film engagé-nya yang terdahulu, seperti : l’Aveu (Pengakuan), Etats de Siège (Keadaan Darurat) dan Section Spécial (Seksi Spesial). 
 
Untuk itu kritikus film Eropa Steve Rioux, menandaskan bahwa dengan karya Missing-nya yang dianugerahi Palme d’0r 1982 itu, kiranya sang sineas Costa-Gavras telah mencapai puncak karirnya. Bersamaan dengan itu dia pun telah mencapai tujuan dari film-politik-nya itu. Yakni untuk mengutuk kekuasaan reaksioner dan menggugah perasaan dan pikiran orang untuk melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang buruk. 
 
Dengan kata lain, sang sineas sebagai intelektual yang militan itu menghimbau umum untuk membuka mata dan hati demi melihat kenyataan, berbicara, berdebat dan bertindak. Dengan demikian bisalah mengubah keadaan yang buruk terkutuk berupa kejahatan kemanusiaan, khususnya kejahatan penculikan dan penghilangan orang-orang yang dianggap musuh oleh kekuasaan itu. Supaya kebenaran dan keadilan ditegakkan.  
 
Ringkas kata, tujuan yang hendak dicapai oleh sineas itu dengan hasil kreasi seninya adalah untuk turut aktif melakukan pencerahan demi timbulnya kesadaran massa atas situasi dan kondisi masyarakat. Dalam mana telah terjadi aksi kesaksian berupa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh kekuasaan dan atau kekuatan reaksioner. 
 
Demikianlah, antara lain, dalam makna memaknai kasus Munir atau Skandal Pembunuhan di Angkasa, saya menyimak pertanda signifikan bagi peningkatan pengetahuan dan kesadaran umum yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan terhadap para korban sebelumnya sekaligus terhadap sosok tokoh pendekar Hak-hak Azasi Manusia seperti Munir. Seorang tokoh yang telah teruji dalam kata maupun perbuatannya yang menggores lembaran sejarah. 
Umum jadi lebih tahu akan peranan Munir yang kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 itu. Jejak langkahnya mempertandakan bahwa dialah salah seorang yang bisa dikatgorikan sebagai kaum intelektual humanis Indonesia yang besar. 
 
Biodatanya seperti tercantum dalam Enesiklopedi Tokoh Indonesia menunjukkan, bahwa jabatan terakhirnya sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Azasi Manusia Indonesia Imparsial. Dengan pengalaman yang kaya mulai dari awal mula sebagai karyawan perusahaan persewaan sound system dan penjualan alat elektronik. Menjadi sukarelawan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya 1989. Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991).
Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993). Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995). Direktur LBH Semarang (1996). Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996). Wakil Ketua Dewan Bidang Operasional YLBHI (1997). Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998). Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) 16 April 1998-2001. Ketua Dewan Pengurus Kontras (2001). Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Azasi Manusia Indonesia Imparsial (2004). 
 
Selain itu, Munir pernah aktif di berbagai organisasi seperti berikut : Sekretaris Al-Irsyad Kebupaten Malam (1998). Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (1989). Anggota HMI. Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah. Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai. 
 
Oleh karenanya Munir SH memang layak meraih berapa penghargaan nasional maupun internasional. Seperti meraih penghargaan dari Majalah Ummat sebagai Man of The Year 1998. Salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru oleh Majalah Asiaweek, Oktober 1999. Sedangkan pada tanggal 8 Desember 2000 di Swedia menerima Right Livelihood Award 2000 – berkat pengabdian di bidang HAM dan kontrol terhadap militer di Indonesia.  
 
Pada tanggal 6 September 2004, Munir terbang menumpang Garuda menuju Negeri Kincir Angin. Di angkasa raya, nyawanya yang amat terbilang itu melayang — direnggut sang maut.
 
*** 
Sumber: http://www.civilcourageprize.org/honoree-2005.htm
 
2005 Civil Courage Prize Honorees
 
Min Ko Naing
An indomitable campaigner for democracy in Burma, he endured 15 years of imprisonment, suffering torture and solitary confinement
Anna Politkovskaya
A Russian journalist, she reports on the atrocities of war in Chechnya in the face of death threats, intimidation, and poisoning.
Munir Said Thalib (posthumous)
Indonesia's leading human rights activist, he exposed "disappearances," corruption, and other abuses until his murder by arsenic poisoning.
 
The 2005 Award Ceremony will be held at The Harold Pratt House in New York City on October 11th 2005.
Media contact:  Barbara Becker
EqualShot
Phone: 212-375-0661
[EMAIL PROTECTED]
 

Munir Said Thalib (posthumous) was Indonesia's best-known human rights campaigner. Remembered for the unassuming manner that cloaked his fearless determination, he emerged as a prominent human rights activist in the months before the 1998 ouster of Suharto, Indonesia's longtime dictator. He formed a group to investigate the disappearance of activists at the hands of security forces and went on to become a searing critic of the Indonesian military, in particular of abuses in the regions of East Timor, Aceh and Papua. At 38, he was murdered by arsenic poisoning in September 2004, en route to Amsterdam to take up a scholarship to study international law at Utrecht University. His killers have yet to be found or brought to justice.



Start your day with Yahoo! - make it your home page

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke