Mengakhiri Politik Patronase Tradisional dengan Politik Kerakyatan 8.12.08
Oleh: RUDI HARTONO Politik need voters, politik need mind, politik need human beings! -----Manu Chao, Politik Kills Menjelang Pilpres 2009, kemunculan figur-figur baru belum sanggup menyingkirkan dominasi figure-figur lama, yang selama puluhan tahun menguasai struktur perpolitikan di Indonesia. di kalangan figur baru ini pun masih butuh pengelompokan, misalnya figure baru tapi sebenarnya sudah lama berkecimpung dalam panggung politik (lokal/nasional) seperti Sri Sultan Hamengkubuwono X, Sutiyoso, Risal Ramli, dan figur baru yang benar-benar baru diangkat dari bawah—oleh massa atau gerakan---atau dimunculkan media, seperti Fajroel rahman, Yuddy Chrisnandi, dll. Beberapa pemilu terakhir, dan juga beberapa ajang pilkada di daerah memperlihatkan, bahwa ikatan politik tradisional dalam bentuk patronase masih merupakan salah satu senjata elit tradisional memenangkan dukungan massa. Dalam Pemilu 1999 ada belasan partai yang berasas Islam. Total perolehan suara mereka sekitar 17 persen. Dalam pemilu legislatif 2004, total perolehan suara mereka sedikit naik menjadi sekitar 21 persen. Namun, dibandingkan dengan perolehan suara partai-partai berasas Islam tahun 1950-an, kekuatan mereka turun separuhnya (dari sekitar 44 persen). Patronase dan Ikatan Tradisionil dalam Kehidupan Politik Semasa orde baru, struktur politik nasional ditandai dengan dominasi 3 partai yang membentuk kekuasaan bersama tentara. Paska reformasi, meskipun menghidupkan multi-partai, akan tetapi kehidupan politik ditandai dengan perseteruan tak berujung antar partai-partai, untuk rebutan dan bagi-bagi kekuasaan. Bersamaan dengan itu, ikatan politik tradisional dilembagakan secara formal dalam metode dan kerangka kerja sejumlah partai, terutama untuk mengikat massa tradisional dibelakang mereka. Politik patronase telah menjadi senjata politik para elit tradisional, karena mereka mendasarkan kesempatan berkuasa dari penguasaan terhadap sumber daya ekonomi dan symbol-simbol tradisional yang terwariskan dari leluhurnya. Ada beberapa latar-belakang social politik, yang menyebabkan ikatan patronase dan primordialisme masih kuat bertahan; Pertama, ruang kontestasi politik antar partai tidak dibangun atas pertarungan ideology partai, yang meliputi program, prinsip, dan visi perjuangan, tapi dibangun diatas dominasi elit yang menguasai sumber daya dan menciptakan oligharki. Kedua, partai yang menjadi alat politik massa untuk mengekspresikan cita-cita masa depan, ternyata tidak punya infrastruktur ideology yang jelas. Beberapa partai islam pun misalnya, sekedar mencantumkan ideology islam sebagai alat untuk meraih dukungan pemilih islam tradisionil, bukan ideology sebagai cita-cita dan prinsip perjuangan. Ketiga, praktek "massa mengambang" yang dipraktekkan oleh orde baru selama 30-an tahun lebih, telah membenamkan rakyat keterpisahan dengan kehidupan politik. Keempat, organisasi-organisasi gerakan social atau organisasi pergerakan rakyat yang selama ini menampung dan mengarahkan keresahan, ketidakpuasan, dan protes rakyat terhadap pemerintah, masih belum menganggap arena politik legal, seperti parlemen, sebagai arena perjuangan yang cukup strategis selain ekstra-parlementer, dalam memperluas politik alternatif. Studi soal ikatan politik patronase tradisional bukan hal baru di Indonesia. Salah satunya adalah temuan Clifford Geertz tentang politik aliran dan perilaku pemilih Indonesia. Menurut Geertz, aliran abangan cenderung memilih PNI dan PKI, santri memilih partai-partai Islam seperti Masjumi, Partai NU, Perti, dan PSII. Di dalam aliran santri ini ada semacam sub-aliran, yakni santri modernis dan santri tradisionalis. Yang pertama menjadi dasar kultural bagi dukungan terhadap Masjumi, sedangkan yang kedua terhadap Partai NU. Tantangan Bagi Kaum Pergerakan Ditengah tingkat kesejahteraan rakyat yang sudah berada pada taraf terendah, kesanggupan kaum pergerakan dalam memberikan solusi masih berbentuk penyelesaian jangka pendek, berupa advokasi-advokasi, belum manpu memberikan solusi yang berdampak politik secara luas. Disisi lain, kemunculan sejumlah figure-figur baru dalam kancah politik nasional, terutama yang memberi arah pada kepemimpinan nasional baru, seperti Risal Ramli, Sri Sultan Hamengkubuwono, atapun dari golongan muda seperti Fajroel Rahman, Ratna Sarumpaet, Yuddy Chrisnandi, belum memiliki dukungan luas dari massa rakyat dan juga organisasi-organisasi pergerakan. Demikian pula dengan kemunculan caleg-caleg aktifis di sejumlah partai, masih merupakan agenda-agenda politik yang berjalan sendiri-sendiri, dan belum menjadi agenda politik bersama yang bersinergi dengan gerakan. Keruwetan dalam menggalan politik alternatif, setidaknya memberikan tempat yang aman bagi politik patronase dan ikatan-ikatan primordialism untuk mencengkeram wilayah politik. Bagi kaum pergerakan, setidaknya ada dua hal yang perlu dijawab untuk situasi sekarang ini; pertama, sudah lama suara-suara politik dan aspirasi kalangan bawah seperti pekerja, petani, kaum miskin kota, dan sector social termarginalkan lainnya tidak terdengar dalam kancah politik formal, terutama di Parlemen dan jabatan-jabatan politis. Suara sector social tertindas begitu nyaring terdengar di jalanan, tapi tidak terserap dan menjadi agenda perdebatan di pusat-pusat pengambilan kekuasaan (parlemen dan eksekutif). Kedua, kita perlu mempolitisasi seluruh sector-sektor rakyat, terutama dalam agenda menempatkan rakyat dalam kekuasaan politik, dengan memberikan mereka pengalaman politik lansung dan pemahaman real pada keterbatasan-keterbatasan instituasi demokrasi keterwakilan saat ini. Dengan fragmentasi politik yang sudah sudah sedemikian parah, dan berpotensi menjalar kepada rakyat, maka perlunya perumusan agenda politik bersama dari seluruh organisasi pergerakan, caleg aktifis, dan tokoh-tokoh politik pro-kemandirian bangsa menjadi sangat penting. Mematahkan Politik Patronase Menjelang pemilu 2009, setidaknya beberapa perkembangan situasi dan dinamika politik akan sedikit menggoyangkan dukungan elit tradisional, terutama yang berbasiskan agama, suku, dan kedaerahan. Ada beberapa hal yang patut diperhitungkan disini; pertama, pertikaian politik di internal sejumlah partai bukan saja menciptakan krisis dan perpecahan, tapi juga membuat sejumlah partai yang memiliki basis pemilih tradisional yang fanatik, seperti NU, Muhammadiyah, dll, mulai kehilangan basis dukungan. Sebagai missal, NU tak lagi dapat diklaim oleh PKB, karena ada PKNU, belum lagi PKB yang mengalami konflik internal. Ataupun Muhammadiyah, yang selama ini diklaim sebagai basis dukungan tradisionil PAN, sekarang ini sebagian berpindah pada Partai Matahari Bangsa (PMB). Kedua, sepak terjang elit partai tradisionil, baik di parlemen maupun eksekutif, kurang menguntungkan citra politiknya. Banyak diantara mereka terseret dalam kasus korupsi, menerima suap, skandal seksual, dll. Ketiga, derajat (tingkat) kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyat, sepertinya sudah pada tingkat yang tak lagi mentoleransi model-model kebijakan lama atau tokoh-tokoh lama, sehingga mulai mencari-cari alternatif. Jelas, bahwa politik patronase dan ikatan tradisionil menjadi selubung penghalang bagi rakyat menemukan politik alternatif, sebuah politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat. Jelas pula bahwa potensi politik hari ini membuka kesempatan kepada kekuatan baru untuk mengambil tempat di arena politik. Proses ini tentu tidak mudah, tidak sekedar seperti proses membalikkan tangan, tapi memerlukan kerja panjang dan berkesinambungan. Sinisme terhadap aktivitas berpolitik, proses mendirikan partai, dan menjadi calon legislatif dalam pemilu, dimata sejumlah aktifis dan massa rakyat perlu diubah. Karena bagaimapun lapangan politiklah tempat setiap kelompok social memperjuangkan kepentingannya. Seni berpolitik adalah seni untuk merubah apa yang tidak mungkin hari ini menjadi mungkin dihari esok, artinya membongkar tradisi politik yang sudah dibangun elit politik selama puluhan tahun, dengan bentuk politik baru yang mendorong partisipasi rakyat lebih luas. Untuk mematahkan politik patronase dan primordialisme tersebut, disini saya mengajukan beberapa tawaran, diantaranya; (1) mulai mewarnai politik electoral dengan mengarahkan pada perdebatan program dan konsep praksis. Isu-isu anti neoliberalisme perlu dipadukan dengan program-program praksis seperti jaminan modal, teknologi, dan akses pasar bagi petani, politik anggaran yang melibatkan partisipasi rakyat, jaminan terhadap akses pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas, perbaikan infrastruktur public (transfortasi, listrik, dll). (2) sebagai jaminan terhadap program ini, selain dengan komitmen pada kontrak politik, juga dengan politik mobilisasi; yakni mengajak rakyat/konstituen menuntut bersama-sama. (3) mendorong partisipasi rakyat dalam memantau proses legislasi, budgeting, dan pengawasan, dengan melakukan konsultasi terjadwal dihadapan konstituen. Disini perlu dibentuk dewan-dewan konsulatasi dengan konstituen—berbasiskan teritori, untuk membicarakan kendala-kendala dan kemajuan-kemajuan dari aktifitas politik di parlemen. Perlu disadari, bahwa kerja politik semacam ini butuh kesabaran dan waktu panjang, tapi itulah terminal-terminal yang harus dilewati menuju tempat tujuan. penulis adalah anggota redaksi BERDIKARI Online dan Pengelolah Jurnal Arah KIRI Baca Selengkapnya! ------------------------------------ Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme! Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/