--- On Sat, 1/17/09, Rudi Hartono <arahkiri2...@yahoo.com> wrote: From: Rudi Hartono <arahkiri2...@yahoo.com> Subject: Re: Fw: [SANTRI KIRI] Golput ? To: santrik...@yahoogroups.com Date: Saturday, January 17, 2009, 11:42 PM
Politik bukan soal seni kemungkinan, tapi seni membuat apa yang tidak mungkin (mustahil) pada hari ini menjadi mungkin di hari esok. Seperti diajarkan teori dasar, bahwa politik adalah arena pertentangan semua kepentingan klas-klas dalam masyarakat. Pemilu dalam konteks sekarang, merupakan arena politik paling demokratis dalam ukuran borjuis, dan masih dipercaya (ilusi) oleh sebagian besar rakyat dapat menghasilkan perubahan. Sehingga, menurut saya, melepaskan diri sama sekali ataupun mengambil peran yang minimal sama saja dengan membiarkan pertarungan kelas dimenangkan oleh borjuis tanpa perlawanan, dan sama saja menyerahkan kesadaran massa terus menerus dikuasai oleh fikiran-fikiran borjuis. Kampanye elektoral, contohnya, dapat menjadi ruang yang sangat baik untuk pendidikan kerakyatan, asalkan kampanyenya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran rakyat terhadap persoalan-persoalan politik yang paling penting. Walau demikian, sebuah kampanye juga dapat tereduksi menjadi semata-mata kerja pemasaran yang, bukannya meningkatkan kesadaran, justru menyesatkan rakyat atau semata-mata tidak berperan apa pun dalam peningkatan kedewasaan politik mereka. Saya berfikir, bahwa perubahan politik global dalam beberapa puluh tahun terakhir, termasuk ofensif neoliberal yang begitu agressif di masa lalu, masih menempatkan kaum kiri di pinggiran kekuasaan. Blok sosialis (uni soviet, eropa timur,dll) mengalami keruntuhan, seperti dikatakan Harnecker, dimana gerakan revolusioner seolah kehilangan daerah belakangnya. Melalui jalur electoral, beberapa pemimpin kiri memenangkan kampanye pemilihan di amerika latin, bahkan memberi kesempatan pada pelaksanaan projek perubahan yang cukup mendasar (Venezuela, Bolivia, Ekuador, dll). Carlos Vilas mengatakan, tantangan yang dihadapi oleh organisasi-organisasi yang di masa lalu menempuh perjuangan bersenjata atau konfrontasi politik yang intens, adalah berkaitan dengan kemampuan dan kerelaan mereka untuk tetap setia pada proposal perubahan mendasar dalam skenario institusional yang baru. Skenario yang menuntut agar dilakukan penyesuaian dalam hal gaya, ritme dan strategi, tapi dalam prinsipnya seharusnya tidak melibatkan perubahan dalam konsep-konsep yang substansial atau dalam lingkup proposal alternatif.' Di Indonesia, proses pemilu 2009 sangat menentukan bagi perjuangan anti-imperialisme, setidaknya untuk melangkah kedepan. Pertama, ada situasi dimana kapitalisme neoliberal baru saja mengalamai kekacauan dan kegagalan besar (krisis financial) yang secara politik mempengaruhi pertarungan antara kekuatan anti neoliberal versus neoliberal di Indonesia. Kedua, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan terhadap neoliberal di Indonesia telah menyeret hampir seluruh sektor sosial, termasuk kalangan pengusaha nasional. Ketiga, akan tetapi, belum ada kekuatan politik yang benar-benar anti-neoliberal yang muncul secara siginifikan baik memimpin perlawaan tersebut, apalagi di arena politik. Sehingga isu anti neoliberal seringkali dimanfaatkan secara sembrono oleh elit politik oportunis seperti amien rais, sutiyoso, bahkan Prabowo subianto. Sekarang ini, melalui kerjasama politik berbasis program, yaitu kemandirian nasional, ada 500-an lebih aktifis kerakyatan yang ikut berkontestasi dalam pemilu 2009 dari berbagai partai. Sebagaian besar diantara mereka telah dikoordinasikan dan membawa proposal anti-neoliberal dalam kampanye pemilu, bahkan akan mempergunakan metode gerakan dalam arena politik ini, seperti aksi massa, rapat akbar (vergadering), menyebarkan Koran dan selebaran seruan perlawanan, dan lain-lain. Bahkan, ketika partai-partai itu sibuk beriklan, kami memproduksi VCD berisikan program-program anti-neoliberal, film perjuangan, film anti globalisasi, dan semacamya, kemudian diproduksi massal dan disebar ke seluruh daerah pemilihan. Melakukan golput dalam konteks sekarang malah mengajarkan tindakan pasif kepada rakyat (karena motif golput juga beragam). Padahal, karena opensif neoliberal dan imperialism yang makin agresif, seharunya kita mengajarkan mereka untuk bersikap aktif dalam perjuangan. Selain itu, golput akan mengurangi dukungan potensial bagi caleg kerakyatan dan memberi peluang kemenangan bagi kekuatan reaksioner; partai demokrat, golkar dan PKS. Jadi golput bukan sikap netral, tapi keberpihakan kepada kekuatan reaksioner. Beda halnya kalau bung menyerukan BOIKOT pemilu dengan tekanan membatalkan pemilu dengan membakar TPS,dll. mungkin boikot pertimbanagn lain, tetapi tetap harus diletakkan kepada situasi politik real. kita belum kalah, masa depan masih terbuka, yang penting mau berjuang .! Salam Rudi Hartono, Pengelola Jurnal arah Kiri dan redaktur BERDIKARI online. --- On Sat, 1/17/09, BISAI <a.al...@kpnplanet.nl> wrote: From: BISAI <a.al...@kpnplanet.nl> Subject: Fw: [SANTRI KIRI] Golput ? To: "SANTRI KIRI" <santrik...@yahoogroups.com> Date: Saturday, January 17, 2009, 9:56 AM ----- Original Message ----- From: BISAI To: AKSARA SASTRA ; artculture-indonesi a...@yahoogroups. com ; hk...@yahoogroups. com ; mimbar-bebas@ yahoogroups. com ; Pembebasan_Papua@ yahoogroups. com ; SANTRI KIRI ; SASTRA PEMBEBASAN ; Trikoyo ; wahana-news@ yahoogroups. com Sent: Saturday, January 17, 2009 6:52 PM Subject: Re: [SANTRI KIRI] Golput ? Kalaupun ber-Golput akan mendatangkan keuntungan bagi pemenang partai reaksioner itupun tidak apa-apa, kan Indonesia sudah biasa diperintah dan dikangkangi penguasa reaksioner seperti suharto dan penerusnya, sudah hampir setengah abad dalam genggaman penguasa anti rakyat. Kalau rakyat masih belum bisa memilih yang lebih baik, lebih baik jangan turut milih karena yang kurang baik itu toh, akan menjadi lebih buruk sesudah mereka menerima kekuasaan di tangan mereka dan mereka segera akan melupakan kepentingan rakyat yang ahir-ahirnya sama saja buruknya dengan penguasa-penguasa lain yang pernah berkuasa. Memang ada pepatah kita yang berbunyi"Tidak ada rotan, akarpun berguna". Tapi jangan diterapkan dalam politik karena politik dikemudikan akal bukan dikemudikan asal-asalan atau minimalisme yang ahirnya nihilisme. Kalau memang tidak ada rotan, persetan dengan akar, campakkan di tengah hutan dan pulang kerumah tanpa beban. Dalam syarat-syarat demokrasi terbatas atau demokrasi minimum yang peguasanya anti rakyat, Pemilu cuma sejenis candu yang ditawarkan kepada rakyat yang bahkan rakyat tidak menerima kenikmatan satu detikpun dan cumalah kepahitan yang membikin rakyat terbius dan kecanduan. Lemparkan tanpa ragu ganja Pemilu ke tong sampah dan teruskan berjuang dengan otak waras melawan penindasan dan penghisapan kaum pemeras dengan segala cara yang mungkin dan e-efektif mungkin. GOLPUT IS GOOD!!! BISAI. ----- Original Message ----- From: rumpun bambu To: santrik...@yahoogro ups.com Sent: Saturday, January 17, 2009 5:16 PM Subject: RE: [SANTRI KIRI] Golput ? KAYAKNYA GW GOLPUT BRO. To: santrik...@yahoogro ups.com From: aktivisklaten@ gmail.com Date: Mon, 5 Jan 2009 03:34:28 +0700 Subject: Re: [SANTRI KIRI] Golput ? SEKALI GOLPUT YA TETAP GOLPUT. HALLO GOLPUT..GOLPUT ! Pada 5 Januari 2009 01:52, Abdul Rohim <peduli_klaten@ yahoo.com> menulis: Oleh: Alfanny Gus Dur pun akhirnya menyerukan Golput setelah posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro PKB sama sekali diabaikan oleh KPU dan PKB Cak Imin. Tepatkah seruan Golput -khususnya bagi warga NU- dalam konteks kekinian dan kedisinian? Saat ini, Indonesia tengah menghadapi dua ancaman sekaligus, liberalisme ekonomi dan sekaligus konservatisme dan fasisme agama. Liberalisme ekonomi terlihat jelas dari maraknya hypermarket yang membunuh usaha kelontongan dan warung kecil. Sementara konservatisme dan fasisme agama terlihat dari aksi-aksi intoleran seperti pembakaran masjid Ahmadiyah dan menguatnya wacana khilafah islamiyah yang jelas-jelas menolak eksistensi nation-state seperti NKRI. Liberalisme ekonomi diperparah oleh para birokrat kita yang notabene warisan Orde Baru- yang hampir-hampir tidak punya semangat nasionalisme, dalam artian ekonomi yaitu mencintai produk dalam negeri. Harian Kompas secara satir pernah mengilustrasikan bahwa para pejabat tinggi kita lebih bangga memakai sepatu Bally daripada sepatu merk nasional. Rakyat, terutama generasi mudanya berdesak-desakan antre di loket CPNS dan "Indonesian Idol", lebih bangga menjadi pegawai dan penyanyi daripada menjadi pengusaha. Konservatisme dan fasisme agama pun kian mendapat tempat setelah para birokrat kita demi meraih simpati rakyat yang mayoritas muslim- berlomba-lomba mendukung program-program kesalehan ritual-simbolik. Lahirlah perda-perda bernuansa syariat Islam yang sangat simbolik dan tidak relevan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.. Di kota Tangerang, akan kita jumpai di sebuah ruas jalan bertebaran plang-plang bertuliskan asmaul husna dan slogan-slogan besar "akhlaqul karimah". Sebuah partai Islam berideologi konservatif- radikal versi Ikhwanul Muslimin-Mesir pun kian mendapatkan tempat di masyarakat awam hanya karena sangat rajin melakukan pengobatan gratis dan pembagian sembako. Padahal Ikhwanul Muslimin di Mesir sudah lama menjadi partai terlarang sejak para kadernya yang radikal "terpancing" untuk membunuh Presiden Anwar Sadat tahun 1979. Tapi, di Indonesia ideologi Ikhwanul Muslimin tumbuh subur di tiga kampus terkemuka, UI, ITB dan UGM. Buku-buku karya ideolog Ikhwan seperti Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb pun akan mudah kita temukan beredar di kalangan aktivis dakwah kampus-kampus tersebut. Gejala para birokrat yang cenderung mengakomodasi kelompok konservatif- fasis agama sebenarnya bukan monopoli Indonesia. Malaysia pun melakukannya lebih dahsyat. Rezim Barisan Nasional/ UMNO yang sedang digerogoti popularitasnya oleh Anwar Ibrahim belakangan mulai memainkan kartu simbol agama untuk mempertahankan popularitasnya. Kasus pelarangan penggunaan lafadz "Allah" oleh Gereja Katolik Malaysia dan pelarangan Yoga adalah contohnya. Lalu, siapa yang bisa kita pilih? Memang susah. Tapi, pilihlah yang "terbaik di antara yang terburuk", toh kaidah ushul fiqh pun menyatakan "lebih baik mencegah keburukan daripada mendatangkan kebaikan". Sebab bila para pemilih cerdas dan kritis beramai-ramai tidur pada hari pemungutan suara, maka sudah dipastikan partai-partai korup dan konservatif yang akan menang. Kita harus belajar dari Pemilu Presiden Prancis 2002 silam. Saat itu, secara dramatis, kandidat Partai Sosialis yang pro perubahan, Lionel Jospin dikalahkan oleh kandidat dari partai sayap kanan, Jean Marie Le Pen pada Pemilu putaran pertama. Le Pen dalam kampanyenya dikenal fasis dan rasialis karena sering mengusung isu anti imigran. Le Pen bahkan pernah mengkritik tim sepakbola Perancis yang didominasi warga Perancis keturunan imigran Afrika. Saat itu banyak simpatisan Partai Sosialis yang golput karena menganggap Jospin sebagai tokoh Sosialis yang kurang memiliki agenda-agenda perubahan yang konkret. Hasilnya, yang diuntungkan adalah Le Pen dari partai fasis yang berhasil maju ke putaran kedua. Walhasil, pada pemilu putaran kedua, warga Perancis yang pro perubahan "dengan terpaksa" memilih kandidat incumbent yang status quois, Jacques Chirac. Para pendukung Partai Sosialis jelas tidak akan memilih Le Pen yang fasis. Ideologi fasisme atau ultra-nasionalis sangat dikecam oleh para pendukung Partai Sosialis. So, bagaimana pemilih Indonesia? Ingin Indonesia semakin liberal secara ekonomi dan fasis dalam kehidupan beragama? Semua tergantung anda. Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah MataAir www.alfannymovement .blogspot. com http://media- klaten.blogspot. com/ salam Abdul Rohim Share your beautiful moments with Photo Gallery. Windows Live Photo Gallery [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme! Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:indo-marxist-dig...@yahoogroups.com mailto:indo-marxist-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: indo-marxist-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/