----------------------------------------------------------
Visit Indonesia Daily News Online HomePage:
http://www.indo-news.com/
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Free Email @KotakPos.com
visit: http://my.kotakpos.com/
----------------------------------------------------------

From: Vita Brevis
AGAMA DAN MANUSIA INDONESIA

Agama di Indonesia semakin lama kian jelas sebagian besar pada dasarnya
hanya berhasil menciptakan manusia-manusia  picik, fanatik dan fatalis.
Sekadar mengilhami kebodohan, kejumudan  keterbelakangan, dan permusuhan.
Berbagai tindak kekerasan telah meminta korban nyawa dan kerugian
harta-benda akibat  kepicikan dalam menafsirkan maksud agama ternyata tak
kunjung mnyadarkan manusia-manusia Indonesia akan bahaya kedunguan mereka.
Di manakah letak moral Tuhan orang Islam seandainya Ia senang melihat Greja
dibakar dan para pengikut Nasrani dicederai bahkan dibunuh? Di mana letak
kasih sayang Tuhan orang Kristen seandainya Ia tersenyum lebar  menyaksikan
Masjid dihancurkan dan para penganut Islam dibantai? Itukah yang
diperintahkan oleh Tuhan masing-masing? Saling bunuh? Saling membinasakan?
Saling memusuhi? Cobalah anda pikir. Apakah mungkin Tuhan anda mengajarkan
permusuhan, saling membenci, saling menghancurkan? Kalau itu memang termasuk
yang diperintahkan, apakah  Tuhan dengan perintah yang mencakup keharusan
membunuh, membenci dan menghancurkan umat atau ras lain  layak disembah,
patut dipuja, layak dimintai pertolonganNya? (Bicara soal ras lain. Mari
kita ambil contoh orang Yahudi. Apakah umat Yahudi yang ingkar kepada Tuhan
lebih dari seribu empat ratus tahun silam, keturunan mereka yang sekarang
harus memikul tanggung-jawab atas dosa-dosa nenek moyang mereka sehingga
mereka harus dimusuhi pula? Katanya orang Islam tidak percaya pada dosa
turunan! Tetapi kenapa harus berlaku pada semata ras Yahudi?)

Apa yang telah  disumbangkan oleh manusia-manusia Indonesia yang fanatik
beragama pada kemanusiaan? Sekadar  tunggang-tunggik bersembahyang tanpa
memperdulikan orang lain? Sekadar komat-kamit menyebut nama Tuhan, tetapi
masa bodoh pada kebodohan? Atau sekadar bernyanyi-nyanyi dan bermusik-musik
di greja,  seolah Tuhan bisa dinina-bobokkan dengan  nyanyian dan musik
sehingga ia berkenan merestui dan mengampuni dosa anda?  Jutaan doa telah
dipanjatkan oleh manusia Indonesia kepada Tuhan di masjid dan  greja agar
hidup merena enak, negara mereka makmur dan aman, tapi lihatlah apa yang
selalu terjadi di bumi Indonesia ini.   Tampaknya doa-doa yang senantiasa
dipanjatkan itu  tidak pernah dikabulkan. Karena doa-doa itu disampaikan
dengan hati yang tidak cinta kepada sesama, dengan hati yang penuh benci,
dengan hati yang tidak kasih dan sayang pada kemanusiaan, dengan hati yang
senantiasa disarati cemburu melihat kemajuan yang dicapai oleh orang lain,
dengan hati yang selalu sirik dan  licik untuk menipu dan korupsi. Maka
Orang miskinpun justru tambah banyak sementara hidup orang kaya atau berada
selalu diliputi kegelisahan dan rasa was-was. Pertumpahan darah justru
tambah seru. Para pemimpin yang sekarang, yang diharapkan lebih baik  pada
dasarnya  tetap tidak banyak berbeda dengan para pemimpin Orba.

Bagaimana Indonesia akan lebih baik? Kalau mentalitas kebanyakan manusia
Indonesia  tetap seperti sediakala, masih tetap mentalitas manusia munafik,
mentalitas penipu, mentalitas pembenci, pencemburu, mentalitas preman,
mentalitas plin-plan, mentalitas orang-orang yang tak punya prinsip?
Sembahyang tunggang tunggik, atau pergi greja memanglah dilakukan terus,
namun tidak menghasilkan satu pendewasaan, pencerdasan,  perluasan wawasan.
Yang terlihat justru pengerdilan, pembutaan, penyempitan, pendunguan,
pendangkalan berfikir  serta absennya nalar dan logika. Semua ini menjurus
pada  sikap dan tindakan  munafik. Lain di mulut lain di hati. Lain yang
dikhotbahkan lain pula yang dilakukan si pengkhotbah. Antara kata dan
perbuatan tidak pernah satu. Di mulut sering mengaku  semua dilakukan  demi
Tuhan, demi umat, tapi kenyataannya demi kepentingan diri sendiri, demi
mencari nama, menguntungkan  keluarga dan golongan.

Kebanyakan orang Indonesia yang  pergi ke masjid atau greja  itu cuma
sekedar pura-pura atau paling banter sekadar ikut-ikutan. Sekadar memberi
kesan baik. Supaya tidak berbeda dari  yang dilakukan oleh kebanyakan orang
dalam lingkungannya. Supaya diakui. Atau supaya kelihatan saleh. Kalau anda
sendiri tidak merasa demikian. Jelas anda satu kekecualian. Tapi cobalah
anda tanya diri anda sendiri  dengan lebih tenang dan jujur. Apakah anda
memang benar-benar satu kekecualian?

Apakah  Indonesia aman karena agama? Justru sebaliknya yang terjadi!

Tunjukkanlah  satu daerah di Indonesia di mana agama telah berjasa mencegah
praktek  korupsi. Kalau saya menyebut agama, yang saya maksudkan adalah
semua agama tanpa kecuali. Tetapi ada yang mengatakan bahwa Islam adalah
sesuatu, dan orang Islam adalah sesuatu yang lain. Bagaimana mungkin Islam
yang baik itu bisa menghasilkan sesuatu yang  tidak baik? Bagaimana sesuatu
baik bisa menghasilkan sesuatu yang buruk?

Bagaimana anda mengakui  agama anda itu yang paling benar dan bagus, kalau
tindak-tanduk para penganutnya, perilaku para pengikutnya memperlihatkan
sesuatu yang tidak terpuji? Sebenarnya agamaku sama saja dengan mobilku,
rumahku, kampungku, istriku, atau anak-anakku. Kalau ada orang lain yang
mengecam,  menjelek-jelekkan, menyerang, merusak segaga sesuatu yang
berkaitan denga 'ku' itu, tentu 'aku' akan membalas. Tidak soal apakah yang
diserang itu adalah agamaku, mobilku, atau istriku. Jadi buat orang-orang
yang merasa terpanggil oleh jihad untuk membela agama mereka sebernarnya
tidak lebih daripada membela dirinya sendiri, membalas dendam, membalas
kejahatan dilakukan kepada-'ku'. Dan 'ku' ini tentu saja bisa dijamakkan
menjadi 'kami'. Agama 'kami', surau 'kami',  greja 'kami' kampung 'kami'.
Kalau salah satu diserang, artinya tak dapat lain selain menyerang 'kami'
sendiri. Jadi agama tidak ubahnya dengan harta milik, dengan mobil, sepatu
atau sandal!  Padahal oleh agama itu sendiri tak seorangpun dibolehkan
meng-klaim Tuhan sebagai milik dirinya, sebagai hartanya seperti rumah dan
tanah.

Katanya Islam itu indah. Di mana letak keindahannya? Kalau pada
bangunan-bangunan masjid saya tidak bisa membantah. Tetapi kalau pada
manusia-manusia Islam, jika melihat para muslim Indonesia itu sendiri, saya
hanya mendapatkan kekecewaan demi kekecewaan.  Bagi mereka ini  agama
tampaknya memang tak lebih dari obat penenang pikiran, tak lebih dari
sekadar candu! Cobalah anda perhatikan dan teliti. Bukankah agama sama saja
dengan candu bagi kebanyakan manusia Indonesia? Orang yang sudah kecanduan
sesuatu tidak akan segan-segan, tidak akan menggunakan benaknya sebelum
melakukan sesuatu. Mereka tidak akan segan-segan membunuh, membakar,
menjarah, memperkosa atas nama agama,  untuk memuaskan kecanduan mereka pada
agama!  Pada umumnya orang-orang Indonesia yang beragama, tidak soal apapun
agama mereka, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha sama picik dan
munafiknya.  Aneh memang. Agama yang mengharuskan  kasih sayang, mengajarkan
lapang dada justru menghasilkan kepicikan.  Dan kalaupun  ada orang
pandai-pandai di antara mereka, mereka itu  hanya  pintar menjadikan agama
sebagai alat, sebagai kendaraan  untuk menjadikan diri mereka berpengaruh
dan terkenal, punya pengikut dan  didengarkan ucapan-ucapan mereka. Mereka
memanfaatkan agama sebagai alat untuk berkuasa, untuk bisa duduk lebih
tinggi  di atas orang-orang kebanyakan yang lebih bodoh dan tidak pernah
kritis,  tetapi dengan fanatik  dan picik  menokohkan mereka.

Semua yang berada menyertai  kata 'ku' dan 'kami'  akan sama saja akibatnya
bila diserang. Maksud saya orang-orang melakukan tindak kekerasan atas nama
agama  dan jihad itu  tidak ada istimewanya. Mereka sekadar menunjukkan
kepicikkan mereka, ego mereka, kedangkalan mereka memahami hidup yang
singkat ini. Pembelaan mereka terhadap agama mereka, terhadap kepercayaan
mereka, adalah sebenarnya  pembelaan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Bukan pembelaan mereka terhadap Tuhan. Karena Tuhan  itu kalau memang
maha-kuasa mestinya bisa membela dirinya sendiri, ajaran-ajarannya sendiri.
Dihancurkan bagaimanapun, kalau ajaran itu memang masuk akal dan bisa
diterima oleh generasi berikutnya tentu akan kembali dianut. Orang-orang
bergama dan percaya kepadaNya tidak perlu bertindak dengan
penafsiran-penafsiran egois mereka sendiri. Tuhan anda tidak memerlukan
bantuan anda untuk membelanya. Itu kalau anda benar-benar percaya bahwa
Tuhan itu memang mahakuasa. Hanya Tuhan sendiri yang mampu membela
keberadaanNya. Bukan anda, bukan penafsiran anda pada ayat-ayat yang anda
baca dari kitab suci, atau pada penafsiran anda atas apa yang  anda amati
dibumi,  di ruang angkasa  atau dalam  mimpi dan pikiran anda.

Anda disuruh percaya kepada Tuhan, Anda diharuskan bersembahyang justru
ketika otak anda masih terlalu muda untuk bertanya-tanya dengan kritis.
Setelah anda dewasa dan mulai bisa berpikir kritis, untuk melenyapkan
ajaran-ajaran keliru serta penafsiran-penafsiran menyesatkan  yang sudah
masuk  ke benak kita sedari kecil bukanlah pekerjaan yang mudah. Anggapan
manusia, kendati anggapan itu didasarkannya pada ayat-ayat suci agama anda,
belum tentu mewakili pendapat Tuhan yang sesungguhnya terhadap agama yang
dianut oleh umat lain. Bagaimana anda bissa yakin bahwa pendapat anda
terhadap umat yang anda sebut kafir, tersesat dan memusuhi agama anda,
sepenuhnya mewakili pendapat Tuhan anda yang sesungguhnya? Bukankah
pendapat-pendapat anda itu sekadar penafsiran individu, guru dan aliran yang
anda anut  atas ajaran-ajaran Tuhan dalam kitab suci anda?

Bagaimana anda  bisa seratus prosen yakin  bahwa kata-kata Tuhan yang anda
tafsirkan itu tepat adanya? Apa alasan anda bahwa penafsiran anda itu betul?
Apakah Tuhan sendiri pernah mengatakan hal itu secara langsung kepada anda?
Melalui kitab suci? Tetapi bukankah untuk memahami kitab suci itu diperlukan
penafsiran? Namanya juga penafsiran, sudah barang tentu kebenarannya tidak
bisa dianggap mutlak, tidak bisa diyakini sebagai satu kepastian yang eksak.
Tuhan,  mengingat sifat-sifatnya yang harus diyakini oleh semua orang
beragama berdasarkan yang tersurat dalam  kitab suci mereka masing-masing,
mestinya tidaklah picik. Ia seharusnya  maha mengetahui, maha pandai, bisa
melihat dibalik yang tidak terlihat, bisa mendengar dibalik yang tidak
terdengar.  Apa yang kita simpulkan 'betul' belum tentu 'benar' di mata
Tuhan dan sebaliknya.

Pertanyaan berikut juga  menuntut jawaban. Bagaimana anda bisa  seratus
prosen yakin bahwa penafsiran anda  sepenuhnya bebas dari kekhilafan, bebas
dari anasir subyektivitas dan ego anda? Bukankah ajaran-ajaran Tuhan itu tak
bisa dilepaskan  dari penafsiran manusia?  Bukankah manusia tak kunjung
luput dari kekhilafan? Dan bila memang demikian halnya, atas dasar apa anda
bersikap bermutlak-mutlak dengan penafsiran anda?

Semua agama mengajarkan bahwa Tuhan itu adil.  Tetapi apakah definisi adil?
Apa yang dimaksudkan dengan kata 'adil'? Bagaimana misalnya kita bisa
meyakinkan seorang ibu yang melahirkan bayi cacat ketika berhadapan dengan
kenyataan bahwa  ternyata ada  ibu lain yang melahirkan bayi  sempurna?
Apakah kepadanya  kita bisa sekadar mengatakan bersyukurlah kau dengan
anugerah bayi itu dan percayalah bahwa Tuhan maha adil.  Barangkali itu
memang karena kesalahan si ibu atau si ayah sehingga bayinya terlahir cacat.
Tetapi bagaimana kita meyakinkan si bayi cacat itu sendiri bahwa Tuhan
telah berbuat adil kepadanya padahal tak jauh dari tempat tidurnya ada bayi
lain yang lahir dalam keadaan sempurna?  Memang ada bayi-bayi cacat yang
kelak dikemudian hari justru menunjukkan  keistimewaan yang bahkan tidak
dimiliki oleh bayi-bayi yang dilahirkan sempurna. Tapi itu bukanlah  satu
perimbangan untuk menjelaskan berlakunya sebuah keadilan. Karena banyak
pula, malah lebih banyak lagi bayi-bayi cacat yang seumur hidup harus tetap
terperangkap  oleh cacatnya untuk  bisa bergerak mencapai suatu keberhasilan
 yang sebetulnya dapat dengan mudah   mereka capai kalau saja mereka  lahir
dengan  kesempurnaan fisik dan mental.

Kenapa manusia dianugarahi tingkat kecerdasan yang berbeda-beda? Kalau Tuhan
memang adil kenapakah Ia tidak menganugerahkan tingkat kecerdasan yang sama
kepada semua bayi yang dilahirkan ke rimba  dunia  yang penuh tantangan,
ujian serta persaingan  ini?  Semua ini menyuruh kita  mau tidak mau membuat
penafsiran. Kita harus menafsirkan  kata-kata Tuhan di dalam kitab suci yang
memberitahukan bahwa Ia adil. Jadi keadilan Tuhan harus kita tafsirkan
sendiri. Bahwa keadilan harus kita tafsirkan atau kita defenisikan tentu
bukanlah jaminan bahwa penafsiran atau defenisi kita itu  benar adanya. Ini
baru menyebut keadilan. Bagaimana dengan nilai-nilai  lain? Nilai-nilai yang
maknanya harus kita tafsirkan pula. Karena kita hanya bisa menafsirkan,
bukanlah lebih bijak kalau kita tidak terlalu tergesa-gesa untuk
bermutlak-mutlak dengan yang kita tafsirkan itu? Lebih baik kritis dengan
niat mencapai yang lebih baik daripada sekadar mengekor tapi hasilnya
merugikan diri sendiri dan orang lain.

Vita Brevis
(Juga Manusia Indonesia)

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 4 Jan 2000 jam 07:38:40 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke