----------------------------------------------------------
FREE Subscribe/UNsubscribe Indonesia Daily News Online
go to: http://www.indo-news.com/subscribe.html
- FREE - FREE - FREE - FREE - FREE - FREE -
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Free Email @KotakPos.com
visit: http://my.kotakpos.com/
----------------------------------------------------------

Precedence: bulk

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 01/III/2 - 8 Januari 2000
------------------------------

TERULANGNYA KEDUNGUNAN PERANG SALIB

(POLITIK): Sudah ribuan nyawa melayang percuma di Maluku. Selama
masing-masing pihak menuduh pihak lain 'kafir', selama itu persoalan takkan
tuntas.

Perang atas nama agama tak kunjung usai di Maluku. Belakangan, malah
memburuk. Melalui Markas Besar TNI di Jakarta, dikabarkan lebih dari 265
orang telah tewas sia-sia akibat memanasnya pertempuran antara kelompok
Islam dan Kristen di kecamatan Tobelo, Halmahera, Maluku Utara. Bahkan
berdasarkan informasi kantor berita Reuters, angka korban tewas telah lebih
dari 300-an jiwa.

Mabes TNI juga melaporkan, selain ratusan yang meninggal, tercatat 127 orang
luka berat dan 78 mengalami luka ringan. Jumlah ini diperkirakan masih akan
meningkat, mengingat kerusuhan ini melibatkan ribuan massa. Apalagi, pihak
kristen yang merasa "diganggu" suasana Natalnya, kemungkinan besar akan
melakukan pembalasan menjelang hari raya Idul Fitri awal Januari mendatang.

Kerusuhan ini membawa dampak kehancuran yang luar biasa, khususnya untuk
ukuran kecamatan Tobelo. Akibat pembakaran dan penjarahan yang dilakukan
massa, tercatat sekitar 360 bangunan hangus terbakar tinggal puing, termasuk
sejumlah mesjid dan gereja. Sementara penduduk yang mengungsi ke Markas
Kompi C Batalyon 732 sudah berjumlah lebih dari 12.000 orang.

Dengan bertambahnya jumlah korban, berdasarkan catatan Kompas, sejak
kerusuhan bermula di Maluku setahun lalu, setidaknya sudah lebih dari 1.000
orang tewas. Terakhir, kerusuhan malah terjadi secara merata di berbagai
pelosok wilayah Maluku. Pekan lalu misalnya, 125 jiwa melayang dalam
kerusuhan di Pulau Buru. Lalu, 26 Desember lalu di Kodya Ambon yang
menewaskan 70 orang. Disusul tewasnya 7 orang di Ternate, dan yang teranyar
di Tobelo.

Hingga kini, upaya penanganan yang dilakukan pemerintah, khususnya pihak
militer tidak juga bisa menyelesaikan persoalan secara tuntas. Penanganan a
la militer ternyata hanya mampu meredakan ketegangan sesaat. Ketika
kerusuhan telah meluas dan menjangkau pulau-pulau sekitar, aparat pun kewalahan.

Gus Dur, awal bulan Desember lalu, sebetulnya telah terbang langsung ke
Maluku untuk mencoba mencarikan jalan keluar persoalan ini. Ketika itu ia
minta pada para warga setempat untuk bersabar selama upaya-upaya perdamaian
coba dijajaki. Ia menyakini upaya dialog harus dilakukan untuk menjembatani
banyak perbedaan di antara kedua kelompok yang bertikai. Hal sama juga
dilakukan oleh Panglima TNI Widodo AS, di saat yang hampir bersamaan. Hanya
saja, belum lagi dialog dimaksud ditindaklanjuti, satu per-satu, meletus
kerusuhan di berbagai tempat.

Menurut beberapa sumber, ada indikasi keterlibatan "orang-orang Jakarta"
dalam kerusuhan itu. Khususnya, 'keluarga Cendana" yang bermaksud
menunjukkan sisa-sisa pengaruhnya lewat orang-orang bayaran untuk melakukan
provokasi terus-menerus di Ambon dan wilayah sekitarnya. Namun, hingga
sekarang, entah karena masih kurangnya bukti-bukti keterlibatannya atau
lantaran tidak ada political will dari aparat keamanan untuk melakukan
pengusutan, belum ada penyelesaiannya secara hukum. Padahal, peneliti LIPI
asal Ambon, Thamrin Amal Tomagola telah terang-terangan menantang mereka
yang ingin menguji kesahihan data yang dimilikinya.

Namun, melihat reaksi massa yang demikian brutal, sebagian orang meragukan,
penyelesaian masalahnya dapat dilakukan hanya dengan menangkap dan mengadili
para provokator. Seandainya, tak ada provokator pun, banyak orang percaya
potensi kerusuhan sudah terlanjur ada. Peristiwa sekecil apapun sangat
mungkin menyulut kerusuhan yang besar.

Ada pula yang berpendapat, akar lain persoalan di Maluku adalah masalah
ketimpangan ekonomi. Asumsinya, masyarakat tak akan bertindak brutal
seandainya mereka memiliki materi yang cukup. Selama ini, di wilayah timur
Indonesia, pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru memang berjalan
lamban. Itu sebabnya, sebagian warga Indonesia timur merasa perlu untuk
mendirikan negara sendiri. Sementara sebagian warga lainnya, mengekspresikan
rasa tak puasnya dengan melibatkan diri dalam kerusuhan. "Lihat saja, yang
terlibat kerusuhan kan biasanya 'prajurit', bukannya 'kolonel atau
jenderal," ujar seorang mahasiswa.

Persoalannya memang kompleks. Apa yang terjadi di Maluku, sebagian juga
terjadi di berbagai wilayah lain Indonesia. Hanya saja, semua faktor pemicu
bertemu dalam satu momentum, pada tempat dan waktu yang sama. Karena itu,
penyelesaiannya pun harus menyeluruh -bukan hanya mengutamakan satu aspek saja.

Sayangnya, hingga kini, baru penyelesaian semacam itulah yang bisa
ditawarkan berbagai pihak. Pihak militer yang memang kewalahan dalam jumlah
personil, baru bisa meminta pada pemerintah untuk menerapkan keadaan darurat
-sebelumnya, pihak Polda setempat sudah 'menyerah' dan menyerahkan tanggung
jawabnya pada militer.

Ada pula yang mengusulkan untuk memisahkan pemukiman kelompok Islam dan
kelompok Kristen pada dua tempat yang berbeda. Hal ini pun dinilai hanya
sebagai penyelesaian sementara. Sebab, fakta yang terjadi, ada kelompok
tertentu yang nekat menyerang pulau lain karena menganggap terdapat banyak
'musuh' di sana. Begitu pula dengan keputusan penanganan a la militer.
Meskipun dianggap perlu dalam situasi mendesak, namun tak bisa jadi model
penyelesaian permanen.

Sebagaimana dikemukakan Pangdam Wirabuana Mayjen Agus Wirahadikusumah,
aparat militer telah terbiasa menyelesaikan persoalan secara reaktif dengan
menggunakan kekerasan. Mereka akan menggunakan kekerasan untuk 'membalas'
kekerasan. Jika mereka pun terjebak bersikap bias, membela salah satu
kelompok -seperti yang sudah-sudah-, persoalan justru makin memburuk, bagai
lingkaran setan.

Bagaimanapun persoalan Ambon sudah jadi persoalan bangsa. Pertikaian
berlatar belakang SARA di Ambon, dalam skala lebih sempit juga terjadi di
wilayah lain Indonesia. Tragedi Ambon adalah tragedi seluruh bangsa. Keadaan
masyarakat Ambon adalah cermin kesadaran rakyat Indonesia pada umumnya.
"Selama ini, kalau mendengar ceramah-ceramah para kyai dan pendeta di gereja
atau mesjid, masing-masing mengklaim diri paling benar, yang berbeda agama,
bagi mereka kafir," ujar seorang mantan aktivis mahasiswa. Padahal,
menurutnya, dari sinilah akar seluruh persoalan.

Penyelesaian menyeluruh bukan melulu lewat jalan struktural, tapi juga
kultural (baca: meningkatkan kualitas kesadaran bangsa). Ini memang butuh
waktu -apalagi hampir semua institusi yang ada, termasuk lembaga pendidikan
dan agama, terlanjur bias. Selama masing-masing pihak merasa paling benar,
selama tak ada kesadaran untuk hidup berdampingan, co-existence, selama
itulah persoalan masih tertinggal, jadi luka sejarah yang panjang. Setelah
perang salib, seribu tahun ternyata tak cukup membuat manusia lebih dewasa. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 5 Jan 2000 jam 12:30:21 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke