----------------------------------------------------------
Visit Indonesia Daily News Online HomePage:
http://www.indo-news.com/
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Free Email @KotakPos.com
visit: http://my.kotakpos.com/
----------------------------------------------------------

DEMOKRASI GELOMBANG KE 3.
Oleh U.Ginting.

Sudah banyak tanda-tanda akan terkuburnya demokrasi gelombang ke 2,
demokrasi didalam negara nasional dengan segala macam bentuk dan
penjelmaannya (gelombang ke 1 ialah demokrasi-langsung negara-kota di Yunani
2500 tahun yang lalu). Indonesia belum sempat menikmati kelebihan demokrasi
fase ke 2 ini, sekarang, mau atau tidak, kita terpaksa maju memasuki
demokrasi fase baru, demokrasi gelombang ke 3, demokrasi dalam era
globalisasi, dalam era informasi dan komunikasi dengan kecepatan elektronik.
Dan kehususannya, atau bagi kita sebagai negeri multi etnis, boleh dikatakan
komplikasinya, ialah karena gelombang ke 3 ini seiring dengan era ETHNIC
REVIVAL (era kebangkitan etnis) diseluruh dunia. Karena itu bagi Indonesia
sebagai negeri multi-etnis, apa lagi sekarang perang etnis masih berkecamuk,
sangat di butuhkan pemikiran-pemikiran extra, pemikiran baru yang
sungguh-sungguh luar biasa. Tetapi pikiran saja juga tidak cukup, kita
membutuhkan 'man/woman of action', manusia yang berani mengambil inisiatif,
bertindak dan mengambil langkah kongkrit. Tetapi man of action tidak mungkin
lahir dikalangan politisi kita, selama para pemimpin politik kita
menempatkan jabatan/kedudukan menjadi nomor 1, dan action jadi nomor 2 atau
nomor 3, bahkan ada yang tidak pernah ada action  sampai masa jabatannya
selesai, salah satu peninggalan dan warisan utama Orba, dimana tugas pejabat
boleh dikatakan tanpa keraguan ialah merebut KEDUDUKAN/JABATAN  dengan
tujuan utama memperkaya diri sendiri, promosi sanak saudara dan
golongan/suku - KKN.

Tekanan yang semakin ketat dari luar (globalisasi) dan tekanan yang semakin
merisaukan dari dalam (perang etnis, disintegrasi), sudah tidak mungkin
dihadapi tanpa pemikiran baru dan kreatif, tanpa MAN OF ACTION dalam jumlah
banyak dan yang berani bertindak, mengambil inisiatif dan mengambil langkah
kongkrit. Gerakan reformasi yang gemilang yang dipelopori oleh mahasiswa
Indonesia, menggulingkan diktator Suharto dan menghidupkan demokrasi dan
gerakan demokrasi, adalah contoh yang nyata 'man of action' bersama langkah
kongkritnya. Refomasi fase pertama telah berhasil dengan sempurna,
menggulingkan diktator militer yang terbuas diseluruh jagat, serta
menghidupkan demokrasi keseluruh pelosok tanah air.

Persoalan mendesak yang dihadapi bangsa kita sekarang ialah masalah
PERPECAHAN, pertikaian dan perang suku, yang selalu memakai agama atau dalam
batas yang mungkin juga menggunakan parpol sebagai alat PEMBANTU PENTING dan
kesulitan ekonomi sebagai KATALISATOR PENTING.  Akar dan dasar utama
pertikaian atau perang suku ialah 'struggling for territorial or state
power' antara suku bangsa, seperti yang disimpulkan oleh seorang professor
ahli suku bangsa Ruth Lapidoth dalam bukunya AUTONOMY, FLEXIBLE SOLUTIONS TO
ETHNIC CONFLICTS, 1997.

Perpindahan etnis yang mengabdi politik perampokan dan politik keserakahan
Suharto di zaman Orba, untuk memecah-belah dan menguasai daerah tertentu,
yang telah memungkinkan etnis pendatang mendominasi etnis asli setempat
secara territorial atau state-power (kekuasaan politik) dan dalam banyak
tempat juga secara ekonomi. Dalam kancah perang etnis sekarang, banyaklah
manusia dan pemimpin yang berseru dengan lantang 'kita harus menghindari
pertikaian, karena hanya MERUGIKAN 'KITA SEMUA'. Tetapi siapakah yang pernah
bersuara lantang untuk menghindarkan  kerugian yang ditimpakan kepada
penduduk asli setempat selama 30 tahun? Omongan lantang tentang kerugian
'kita semua' dan kurangnya omongan tentang kerugian pihak penduduk asli
setempat, walaupun secara jelas semua bisa melihat (tetapi semua tidak
merasakan) kerugian nyata yang ditimpakan kepada pihak penduduk setempat,
menunjukkan kepincangan dan warisan cara berpikir yang tidak adil dalam
masyarakat dari zaman Orba, yang sampai sekarang masih berdominasi
dikalangan tokoh-tokoh pewaris Orba.  Siapakah yang mau bicara lantang soal
kerugian orang Gayo di Aceh, orang Melayu/Dayak di Kalbar, orang Pakpak di
Dairi atau orang Melayu di Deli/Sumatera-Timur atau orang Simalungun yang
sudah kejepit payah didaerahnya sendiri, etnis terlantar di Papua, orang
Ambon di Maluku dan banyak lainnya. Sebaliknya malah ada yang mengusulkan
dengan terus terang supaya  Ambon dibagi dua atau dipisahkan menjadi daerah
'muslim' dan 'kristen', usul secara terang-terangan menyerahkan daerah
legitim orang Ambon kepada penduduk pendatang, dan mengharapkan dengan
demikian akan datang simpati dan perdamaian dan bahkan mengharapkan
persatuan?

'Tabuisme' kesukuan dalam era diktator militer jenderal Suharto, telah
melumpuhkan sama sekali bahkan pengertian yang paling elementer dan wajar
tentang kesukuan, yaitu PENGAKUAN terhadap suku, semuanya demi 'persatuan
dan kesatuan' a la Suharto. Dan peninggalan pikiran tabu ini masih banyak
terdapat dikalangan cendekiawan dan para pemimpin politik kita. Saya berani
mengatakan bahwa pikiran ini sangat berbahaya, bukan hanya tidak
menyelesaikan soal perang etnis sekarang,   tetapi juga akan mempersiapkan
benih perang yang akan lebih luas dan lebih besar dimasa depan.

Kasus-kasus diatas inilah yang telah berhasil dengan sukses menanamkan serta
menyalakan api dalam sekam, kebencian dan dendam yang selama 30 tahun lebih
telah membengkak menjadi bom waktu yang sangat dahsyat. Dendam dan kebencian
terhadap DOMINASI PENDUDUK PENDATANG dan dendam dan kebencian terhadap
POLITIK PERAMPOKAN PUSAT, borok dua-setangkai yang menjadi faktor utama
perang suku. Hanya dengan bertolak dari pandangan ini, bertolak dari AKAR
persoalannya barulah kita dapat menyelesaikan masalah etnis, atau
setidak-tidaknya mulai mendekati hakekat persoalannya, menghindarkan prilaku
seorang dokter, mengobati penyakit dengan diagnose salah.

Banyak sebab-sebab SEMU yang bisa dilontarkan, seperti 'provokator', Gus Dur
tidak becus, aparat tidak becus, agama dsb, tetapi ini semua sedikitpun
tidak akan membantu penyelesaian. Juga doa dan restu tipe 'marilah kita
bersatu', atau  'marilah kita berdamai' dsb,  atau sumpah-sumpah keramat
model tahun 20 an atau 30 an,  sudah tidak mungkin membantu, sudah terbukti
tidak membantu dan karena itu sudah tidak perlu lagi di ulang-ulangi.  Kita
harus langsung tanpa ragu dan tanpa berbelit-belit memasuki kenyataan dan
hakekat perosalannya, dengan mengumandangkan seruan ilmiah keseluruh umat
dan keseluruh elit politik:  Kembalikan hak legitim TERRITORIAL dan hak
legitim KEKUASAAN POLITIK kepada penduduk asli setempat !

Dari kenyataan bahwa  suku Jawa dengan basis territorial di Jawa dengan
kekuasaan politiknya yang TIDAK PERNAH terusik oleh etnis lain, maka sudah
sewajarnyalah kalau suku bangsa lainnya, besar atau kecil, juga harus bisa
mendapatkan peluang dan perlakuan yang sama.  Inilah langkah pertama dan
terpenting dalam menegakkan kembali keadilan di daerah dan merupakan kunci
penyelesaian perang etnis. (Salah satu sebab yang hakiki mengapa pergolakan
di Ambon tidak mungkin diexport ke Jawa ialah karena kekuasaan politik di
daerah orang Jawa tidak pernah terusik oleh etnis lain, tetapi sangat
mungkin diexport ke daerah lain dimana pendatang berdominasi, artinya dimana
api dalam sekam, dendam dan kebencian sudah tertanam selama masa Orba).

Dengan kembalinya hak legitim territorial dan kekuasaan politik penduduk
asli setempat, berarti KEADILAN DITEGAKKAN dan dengan demikian sudah tentu
api dalam sekam, dendam dan kebencian yang sudah dipupuk dan dibesarkan
selama 30 tahun lebih, berangsur-angsur akan hilang dengan sendirinya.
Proses ini akan mendatangkan ketenangan, perdamaian dan dengan sendirinya
pula kerukunan dan simpati antara berbagai etnis di daerah bersangkutan, dan
setelah itu baru bisa bicara atau akan melihat tanda-tanda persatuan. Atau
seperti yang dikatakan oleh filosof  Edmund Burke: 'Manusia tidak bersatu
karena kertas dan materai tempel. Mereka bersatu atas dasar kesamaan,
kerukunan dan simpati.' Dengan mengembalikan hak legitim penduduk asli
daerah setempat, politis dan teritorial, berarti kita MENGAKUI, MENGHARGAI
serta MENGHORMATI etnis asli setempat dan daerahnya, kebalikan dari politik
dominasi, politik pecah-belah dan politik perampokan diktator militer
jenderal Suharto. Dengan mengembalikan hak legitim demikian, berarti kita
mempraktekkan keadilan, menciptakan suasana 'kerukunan dan simpati', sebagai
syarat utama persatuan yang sejati, dan hanya dengan persatuan yang sejati
demikian - persatuan sejati antara semua suku bangsa, persatuan sejati atas
dasar 'kerukunan dan simpati' serta saling mengerti, sebagai pencerminan
yang nyata sikap KOREKT dan ADIL antara sesama suku bangsa  -  barulah kita
mungkin bicara soal persatuan seluruh nation, persatuan yang tidak mungkin
dipecah oleh kekuatan apa sekalipun, karena tidak akan ada lagi suku bangsa
yang menginginkan PERPECAHAN/PEMISAHAN DEMI KEADILAN seperti gejala sekarang
ini.

Setiap manusia Indonesia atau pemimpin politik negeri kita, yang secara
alamiah berasal dari suku tertentu, tidak bisa dipisahkan dari identitet
sukunya, karena suku sebagai organisasi alamiah, juga bisa dipakai sebagai
alat politik yang sangat terjamin dan aman, memenuhi kepentingan dan
kebutuhan psikologis identitet suku yang sangat mendalam serta memiliki
kekuatan psikologi dan kekuatan riil yang besar tetapi 'tersembunyi'. Ini
merupakan kekuatan yang tidak bisa dibendung dan juga TIDAK PERLU DIBENDUNG,
terutama dalam era 'ethnic revival' dan era 'demokrasi global', demokrasi
gelombang ke 3 sekarang ini. Kita membutuhkan kekuatan psikologis dan
kekuatan riil setiap suku bangsa dalam rangka menghadapi kekuatan psikologis
global dan kekuatan riil global dalam semua lapangan dan dan boleh dikatakan
dalam semua aspek kehidupan bangsa kita, dalam era transisi besar kehidupan
dan transisi besar kemanusiaan yang sudah nongol diambang pintu didepan mata
kita. Inilah penyaluran yang tepat bagi kekuatan riil yang tak terbendung
dan 'tersembunyi' didalam setiap suku bangsa dan semua suku bangsa.

Demokrasi gelombang ke 3, dalam era globalisasi berarti akan banyak
keputusan dan direktif digodok di badan-badan  internasional tanpa
sepengetahuan atau seizin negara nasional. Dan secara nasional, bagi kita
sebagai negeri yang multi-etnis dan dalam era ethnic revival, demokrasi
gelombang ke 3 ini, tidak bisa dipisahkan dengan 'demokrasi etnis', hak
legitim territorial dan hak legitim politik setiap etnis diseluruh
Indonesia, tidak perduli apakah etnis bersangkutan minoritet atau mayoritet,
dan akan berfungsi sebagai JAMINAN KESTABILAN NASIONAL dan pada gilirannya
akan merupakan modal dan jaminan suksesnya negeri kita menghadapi 'demokrasi
internasional' yang sudah pasti akan memberikan cobaan dan pukulan-pukulan
yang tidak ringan.

U.Ginting. 5 jan 00.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 6 Jan 2000 jam 05:26:38 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke