---------------------------------------------------------- FREE Subscribe/UNsubscribe Indonesia Daily News Online go to: http://www.indo-news.com/subscribe.html - FREE - FREE - FREE - FREE - FREE - FREE - Please Visit Our Sponsor http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1 -0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0 Free Email @KotakPos.com visit: http://my.kotakpos.com/ ---------------------------------------------------------- Precedence: bulk Dini S. Setyowati: PUTRA FAJAR (3) TAMPAKNYA Jepang semakin besar menaruh kepercayaan pada Sukarno. Sehingga oleh karenanya ia diundang untuk berdialog dengan pemerintah pusat. Suatu saat Sukarno diundang ke Tokyo. Pada upacara kenegaraan untuk menyambut kedatangannya, Tenno Heika menyematkan medali penghargaan di dadanya. Bagi Sukarno kesempatan itu digunakannya untuk mengamati situasi Jepang khususnya dan dunia pada umumnya. Hasil selidik mata cermatnya memperlihatkan kenyataan padanya, bahwa posisi Jepang di peta pertarungan dunia sangat memburuk. Karena itu dalam hati Sukarno memperhitungkan, sikap Jepang terhadap Indonesia pasti akan makin melunak. Kemudian selanjutnya, asal topeng loyalitas tetap bisa dimainkannya dengan pandai dan selamat, pasti Jepang akan makin bersedia memberi konsesi- konsesi lebih luas. Sungguh suatu manuver politik yang tak lepas dari aspek petualangan. Vivere peri coloso! Begitu menurut kata-kata Sukarno sendiri. Politikus lain, jika harus dalam posisi seperti Sukarno ketika itu, barangkali tidak akan bisa tahan. Tapi beda dengan Sukarno. Ia sudah berpengalaman ketika menghadapi Belanda. Selain itu ia pun mendapat kepercayaan besar dari rakyat. Jelas bahwa rakyat mencintainya. Bahkan orang-orang yang harus bekerja sebagai romusha, membangun rel- rel kereta api dan jalan raya di pedalaman Burma, dan kemudian mati karena kelaparan atau siksaan, sebelum hembusan nafas terakhir terputus, mereka masih sempat membisikkan sepatah kata: "Merdeka!" PADA saat itu Sukarno menikah untuk ketiga kali. Istri keduanya bernama Fatmawati, yang jauh lebih muda ketimbang Inggit Garnasih - istrinya yang terdahulu. Tidak lama setelah mereka menikah, lahirlah anak mereka yang pertama. Anak laki- laki. Dalam tahun 1944 atau tahun Showa 2604. Sementara itu situasi dan posisi Jepang di medan perang makin memburuk. Tetapi semakin ia terdesak dari gelanggang internasional, semakin pula ia berusaha mati-matian untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Meskipun untuk itu ia harus menempuh jalan dengan membuka banyak peluang dan kelonggaran. Contoh-contoh tentang ini, misalnya, Sang Merah Putih boleh dikibarkan, selama di samping kiri bendera Hinomaru. Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" boleh dinyanyikan, selama didahului oleh lagu "Kimigayo". Tidak lama sesudah kelonggaran-kelonggaran itu diberikan, dibentuk pula Chuo Sangi In, yaitu semacam badan penasihat bagi pemerintah Balatentara Dai Nippon yang terdiri atas orang-orang Indonesia. Sukarno diberi kuasa untuk memilih dan mengangkat orang-orang untuk duduk di badan ini. Kelak, jika Indonesia sudah merdeka, para anggota Chuo Sangi In itulah tokoh-tokoh terkemuka pertama di dalam pemerintah Republik Indonesia. Namun demikian, bersamaan pada waktu itu juga, komando- komando tentara pendudukan Jepang di dalam negeri semakin ganas. Pengejaran dan penangkapan, pembunuhan dan pembasmian tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok perlawanan fisik makin meningkat. Ratusan cendekiawan dengan berencana ditangkapi, dibawa ke pedalaman Kalimantan untuk dibunuh di sana. Sedikit saja dari mereka itu yang dapat diselamatkan oleh Sukarno, sesudah secara pribadi ia menghubungi beberapa orang jenderal tertentu. Meskipun begitu perjuangan revolusioner tetap berkobar dengan gagah di sana-sini. Di Blitar, misalnya, terjadi pemberontakan bersenjata oleh satu kelompok pasukan Daidan (setingkat batalyon) PETA kota itu. Di tengah kegentingan yang semakin memuncak itu, Sukarno seolah-olah bersikap ambil jarak dengan kelompok-kelompok kiri yang aktif di bawah tanah. Ia tahu benar, andaikata ia serukan komando "angkat senjata!", rakyat pasti akan mendengarnya. Dan situasi seluruh negeri seketika akan berubah menjadi gelombang lautan api, atau gunung berapi yang meletus dan memuntahkan lahar, yang akan menelan lenyap kekuasaan Jepang. Tetapi Sukarno diam. Menahan diri. Menjaga agar jangan terjadi pertumpahan darah para pemuda, yang kelak akan menjadi tulang punggung pembangunan negara muda Indonesia. Dalam hati ia mengharap terbukanya jalan yang paling aman. Jepang yang kalah perang akan dienyahkan oleh Sekutu. Ia mengakui kenyataan, bahwa sumbangan paling besar dan penuh pengorbanan dalam usaha mencapai kemerdekaan, datang dari kaum proletar revolusioner. Jika peristilahan perang dunia dipakai dalam hubungan ini, mereka itulah para partisan yang sejati di dalam kancah Revolusi Nasional. Tetapi Sukarno seorang politikus yang setia pada ide klasnya sendiri, yaitu burjuasi nasional. Cita-citanya ialah agar golongan menengah itu yang akan tampil sebagai pemenang dalam revolusi, dan agar mereka ini jugalah yang kelak akan mengambil alih kekuasaan di alam Indonesia yang merdeka. Oleh cita-citanya yang seperti itu, maka Sukarno tidak bersedia menempuh jalan yang sama dengan kaum proletar revolusioner di dalam perjuangan mengusir fasisme Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang kapitulasi. Pada tanggal 17 Agustus, yaitu dua hari berselang sesudah Jepang bertekuk lutut, Republik Indonesia diproklamasikan. Tetapi sikap Sukarno masih waswas. Sikapnya yang demikian ini disertai pula dengan kebimbangan. Sikap waswas bercampur bimbang dalam menghadapi situasi yang menentukan seperti itu, kelak akan acap kali terulang padanya, dan akan membawa akibat- akibat fatal bagi bangsa, negara dan bahkan dirinya sendiri. Gelak tertawa yang riuh menghentikan lamunan Kasto. Ia tidak bisa ikut mendengar lelucon Presiden. Tapi agaknya sangat mengena, karena para tamu tertawa terpingkal-pingkal. Kasto ikut juga bersenyum-senyum. Sukarno menoleh pada Kasto, sambil berseru meneruskan guraunya: "Coba lihat! Aku ini pelawak yang paling konyol di sini. Catat ini! Biar dunia luar mengetahui!" HARI sudah menjelang siang, ketika pada akhirnya mereka tinggal berdua. Duduk di satu ruangan yang tenang dan sejuk. Segera sesudah tamu-tamu pergi, Presiden melepas kemeja putihnya dan melempar sandalnya ke pojok ruangan. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang wanita, ajudan kepresidenan, masuk membawa baki berisi obat-obatan. Dengan patuh Sukarno menelan beberapa kapsul dan pil, jatah siang hari yang diberikan ajudan itu. Dengan pandang matanya Presiden mengantar wanita itu, sampai ia menghilang di balik pintu. Lalu yang terdengar suara gerutunya: "Beginilah keadaanku, To! Bukan diberinya aku ciuman, malah pil-pil pahit yang harus aku telan. Padahal orang-orang menuduh aku seorang Don Juan! Ah To! Aku sudah tua dan terpenjara. Menjadi budak protokol. Terkurung dalam kurungan emas. Rasanya ingin aku tinggalkan semua ini, demi mendapat kesempatan sebentar melayap, di gang-gang perkampungan kita dahulu ..." "Siapa yang mencegahmu?" Suaranya sendiri terdengar bertanya. "Siapa? Rakyat bangsa ini!" Jawab Sukarno pula pada diri sendiri, sambil tampak merenung sejurus. Lalu ia lagi meneruskan bicara. "Tidak mungkin lagi aku tampil sebagai orang awam. Di mata rakyat aku ini Presiden. Pemimpin bangsa. Padahal justru itulah yang selalu aku rindukan: Menjadi diriku sebagai orang biasa!" Kasto memandanginya. Di atas meja tergeletak naskah bukunya. Pasti Sukarno sudah membacanya. Ia mengharap agar penuturan kejadian-kejadian sesuai dengan apa yang diinginkannya. Tidak bisa lain! Sekarang tinggal bagaimana ia menilai tulisannya itu. Kasto sendiri, dalam usaha memaparkan kejadian-kejadian, tetap bertahan pada kenyataan. Namun dengan tidak meninggalkan wawasannya yang kritis. Tidak ada pemujaan- pemujaan, melainkan hanya mengatakan sebagaimana adanya. Banyak masalah yang belum terjawab dan, menurut Kasto, memang hanya masa depan sejarah sendiri yang akan sanggup memberikan jawabannya. "Kenapa kau tidak pindah ke Jakarta saja?" Tiba-tiba Presiden memotong lamunannya. "Di Bandung kau hanya seorang guru SMA. Di sini bisa aku tempatkan kau pada jabatan yang sesuai dengan kemampuanmu". Kasto sudah menduga akan datangnya tawaran seperti itu. Memang Sukarno akan selalu senang berada dekat dengan kawan- kawannya dari masa perjuangan dulu. Mungkin hanya terhadap mereka pula Sukarno ikhlas menyerahkan kepercayaannya. Tapi Kasto tidak suka tinggal di ibukota yang baginya terlalu ramai. "Terimakasih!" Jawab Kasto. "Tawaranmu aku hargai. Tapi biarlah aku tetap di Bandung, dan bekerja sebagai guru biasa. Di sana rasaku lebih tenang untuk bisa menulis." Sukarno mengangguk-angguk. Sambil kelihatan berpikir. Raut wajahnya menjadi bersungguh-sungguh, dan bayangan senyumnya yang ironis hilang. "Aku sedang dalam kesulitan To!" Katanya sambil menarik nafas panjang. "Kadang-kadang aku tidak tahu lagi, siapa sekarang ini yang masih dapat aku percaya. Orang pada membohongi aku. Banyak hal- hal yang terjadi diam-diam di belakang punggungku. Bahkan melanggar perintah-perintahku. Aku dikelilingi para penjilat yang setiap waktu sanggup mengkhianati tujuan karya hidupku ." Kasto memandanginya dengan penuh pengertian. "Ada beberapa pertanyaan padaku, Bung!" Kata Kasto kemudian. "Dan terus terang aku kurang mengerti. Apa sih sebenarnya yang kita maksud dengan kata 'revolusi'?" Sukarno menatap wajah Kasto dengan heran. Sejurus saja. Kemudian bicaralah ia berpanjang lebar tentang arti kesatuan nasional, dan ancaman bahaya yang mengintai dari negara tetangga Malaysia. Lalu katanya sambil mengangkat tangannya: "Seluruh dunia sekarang menghadap ke kita, To! Indonesia menjadi contoh. Tentu karena keberaniannya. Apakah karena itu, maka kita mau mereka hancurkan?" Kasto berusaha untuk tidak terseret arus emosi. Memang sudah bukan rahasia lagi, bahwa sang Presiden ini sering terbawa oleh patosnya sendiri. Tapi apakah dengan patos, problem negeri akan terselesaikan? Begitu pikir Kasto. "Bung!" Pelan-pelan ia kembali membuka pembicaraan. "Mungkin karena posisimu sekarang jauh di atas rakyat. Bung terkurung di istana, dan ditambah lagi dengan segala kebohongan para penjilat yang kau ceritakan tadi. Kau lalu menjadi kurang sadar terhadap kenyataan." Sukarno diam mendengarkan. "Aku sebagai guru kecil di daerah, mengalami langsung kenyataan hidup sehari-hari. Dan karena itu aku merasa dicengkam semacam firasat, bahwa negeri ini sedang menuju ke malapetaka ..." Sukarno tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi tidak mengucapkan kata-kata bantahan satu patah pun. Ia hanya menarik kursinya lebih mendekat pada Kasto. Dan bertanya perlahan-lahan. "Coba To! Katakan, apa yang menggelisahkanmu? Apa yang menurutmu kita telah melakukan kesalahan?" "Sebenarnya kita harus menyelusuri garis benang sejarah, Bung. Karena tidak semua tekanan dan kepincangan adalah hasil dari kesalahan masa kini. Aku bahkan sering merasa, bahwa "rumah" yang bernama Indonesia ini telah dibangun di atas fondasi yang lemah. Fondasi yang tak kuat menopang bobot rumah itu sendiri." "Kasto!" Sukarno memotong. "Aku inilah fondasi Indonesia itu! Rumah Indonesia ini aku. Dibangun dengan keringat dan kekuatan rakyat, itu benar! Tapi dengan ilhamku. Tanpa aku Indonesia tidak lahir." Penjelasan Sukarno yang berapi-api itu dilewatkan Kasto tanpa tanggapan. Tapi setelah merenung sejenak, kembali Kasto yang bicara. "Bung! Kau bersama kami, seluruh rakyat, bersama-sama berjuang merebut kemerdekaan dari Belanda. Kau juga yang berhasil menyatukan bangsa ini dalam perjuangan untuk kemerdekaan itu. Tapi, sesudah tujuan mulia itu tercapai, kita lalu menjadi tercerai berai. Tidak ada lagi tujuan dan ide yang menyatukan kita di dalam satu derap langkah bersama. Kita telah terbagi-bagi dalam berlapis-lapis masyarakat, yang masing-masing mempunyai visinya tentang masa depan yang berbeda-beda. Sampai hari ini kita mandek di situ. Kesatuan nasional yang lahir dan menjadi kuat ketika menghadapi perjuangan melawan kolonialisme dulu, sekarang ini sudah mati." Sukarno menatap wajah Kasto terheran-heran. "Kasto! Sudah berkali-kali aku mendengar teori ini. Apa kau Komunis, Kasto? Kau juga ikut-ikut membagi-bagi rakyat dalam klas-klas yang harus saling bentrok satu sama lain?" "Aku bukan Komunis, Bung! Kau tahu itu. Tapi terbentuknya klas-klas dalam masyarakat, itu bukan gejala yang dikarang- karang oleh Komunis! Itu kenyataan yang objektif!" Bantah Kasto. "Tidak!" Sahut Sukarno. "Kau keliru. Indonesia lain. Justru keanekaragaman itulah kekuatan kita, Kasto!" "Ya, aku juga tahu. Juga setuju. Bhineka Tunggal Ika. Tapi, apakah Bung benar-benar percaya? Jika ada satu kelompok kecil korup, yang tanpa batas memperkaya diri di atas kesengsaraan rakyat jelata, apakah itu akan memperkuat kesatuan? Atau, apakah Bung tidak percaya kenyataan? Bahwa hari ini harga satu kilogram beras sudah enam puluh lima kali lebih mahal ketimbang harga lima tahun yang lalu? Enam puluh lima kali, Bung ..." "Aku tahu itu!" Jawab Sukarno. "Itulah memang salah satu dari kesulitan-kesulitan yang kita hadapi sekarang. Tapi kau jangan lupa, bahwa Indonesia adalah negara yang relatif masih muda. Masih dalam proses belajar sesudah tiga ratus tahun diperbudak. Apalagi sekarang! Ketika seluruh kekuatan sedang kita pusatkan pada konfrontasi dengan Malaysia." "Tapi Bung!" Kasto belum mau menyerah. "Bukan konfrontasi yang menjadi problem utama. Tapi fakta, sesudah kemerdekaan tercapai, pertentangan dalam negeri antargolongan dan antar- partai menjadi semakin tajam. Dan kau mencoba menyelimuti fakta itu dengan beledu harmoni dan permadani Bhineka Tunggal Ika!" Sukarno diam. "Kau letakkan musyawarah sebagai sendi utama dalam haluan negara. Benar. Itu semua karena jasamu. Tapi, Bung! Semuanya itu tidak bisa mengubah kenyataan di dalam negeri kita ini. Kenyataan yang kumaksud ialah, bahwa perbedaan dan kepincangan sosial semakin meruncing, dan sebagai akibatnya lahirlah golongan-golongan yang tujuannya serba berlainan dan bahkan bertentang-tentangan. Satu-satunya perekat yang selama ini bisa agak menyatukan hanyalah engkau, Bung. Ya, Bung Karno sendiri! Tapi, menurut pendapatku, ini bukan basis yang solid untuk bisa membangun negeri, yang dengan tatanan modern dan dengan rakyat yang makmur." "Kau keliru, Kasto! Sangat Keliru!" Sukarno memperingatkan dengan sabar. "Bukan. Bukan aku, Bung Karno, kekuatan pemersatu. Tapi Nasakom itulah yang mempersatukan kita dan seluruh kekuatan rakyat. Semua aliran bersatu di dalam front persatuan. Baik yang nasionalis, agama, maupun komunis. Ini, Kasto. Lembaga inilah basis persatuan kita!" "Tapi Nasakom tidak melakukan politik apa-apa, Bung!" Kasto membantah. "Yang berpolitik adalah Bung Karno. Sekali lagi, Bung Karno. Bukan Nasakom. Memang Nasakomlah yang sebenarnya harus giat. Tapi ternyata lembaga ini hanya menjadi semacam paguyuban. Atau ..., karena memang tidak sanggup?" Sukarno sebentar merenung. "Mengapa tidak sanggup?" Katanya kemudian. "Ya, mengapa tidak? Kalau kita bersihkan badan ini dari elemen-elemen yang korup? Dan kemudian diserahi tanggungjawab? Termasuk untuk menurunkan harga beras? Mengapa tidak bisa?!" "Tentu saja itu bisa, Bung. Apalagi kalau bersatu untuk tujuan yang sama. Tapi justru tujuan yang sama inilah yang tidak ada. Sejak republik sudah diproklamasikan, sejak itu pula sebenarnya tujuan bersama telah hilang ..." "Oh, tidak!" Sukarno bangkit melompat dari tempat duduknya. "Tujuan bersama itu masih ada." Ia melangkah mondar- mandir di ruangan itu, sambil tangannya tak henti-henti bergerak, menyertai setiap ucapan kata-katanya. "Masih ada tujuan bersama yang agung itu, To!" Katanya meneruskan. "Yaitu meneruskan revolusi nasional yang belum selesai. Ini Kasto! Inilah tujuan bersama yang menggairahkan. Bangsa muda yang sedang bangkit, dan melangkah bersama dalam satu derap barisan ..."*** (ed.: Hersri) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Didistribusikan tgl. 13 Jan 2000 jam 08:25:14 GMT+1 oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]> http://www.Indo-News.com/ ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++