NAGASASRA SABUK INTEN
        Oleh SH Mintarja
        001

AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang 
diaduk
dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi
semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana 
terjadi
perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti
Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan
dengan pertumpahan darah.
Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga 
yang
juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang
putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir,
kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan
Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak 
ke
Pajang.
Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan 
dari
Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat 
memaksa,
Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta
wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari
hal-hal yang tak diinginkan.
Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara 
sebagai
seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran tentang
kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa
mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.
Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan 
kepada
Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada 
lagi
persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk
menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia
bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, 
begitu
mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang
dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai
pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening 
dan
lembut.
Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng
Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet, 
yang
juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena
persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak
berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka
masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding dengan
Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang bernama
Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya
bahwa ia mampu menangkap petir.
Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang sederhana,
apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala kerbau dengan
tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari 
rumah
almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengajaÊ
menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa Jenar 
berjalan ke
arah selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian 
membelok
ke arah matahari terbenam.
Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu 
perbukitan
yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa bernama Prabu Baka,
sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Baka. 
Salah
satu puncak dari perbukitan ini, yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah 
yang
sering dikunjungi orang untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka 
bertapa
sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu.
Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena
pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi
permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis
cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang. Dan 
karena
kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga 
ingin
memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah menjadi 
patung
batu. Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan nama 
Candi
Jonggrang.
Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu
terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah
mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini 
tidak
lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di
sana-sini.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka
manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidakÊ 
enak.
Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi tertarik 
untuk
mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi semakin tertarik 
lagi
ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa macam 
benda
alat minum dan batu-batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan 
di
atasnya terdapat pula sebuah kerangka manusia.
Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai 
beberapa
hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga bahwa
rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak tampak adanya
tanda-tanda penganiayaan.
Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi 
suatu
upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu.
Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari penduduk
sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia melayangkan
pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali tidak 
memperhatikan
bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi belukar. Agaknya sudah
beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi digarap.
Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkanÊ keterangan lebih
banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki
tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat 
kerajaan
Prabu Baka.
Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di 
dataran
sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu,
yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang 
telah
menghasilkan candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah
1.000 itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam 
saja,
untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung
Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat 
curang.
Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi 
candi
yang ke 1.000.
Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padiÊ 
yang
sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya
gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin. (Bersambung)

______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com

Kirim email ke