Hadiah sesungguhnya bernuansakan solidaritas dan kepedulian. Ia merupakan sarana kodrati bagi kebutuhan manusia. Pada diri si pemberi terkandung ungkapan hakiki : pengertian terhadap konsekwensi adanya kekurangan pada sesama. Biasanya diperkuat oleh keinginan untuk mengantisipasinya. Bila memungkinkan dengan jalan memidahkan hak pribadi kepada yang bersangkutan. Ia telah mengkristal pada seluruh ummat manusia. Selanjutnya menjadi bagian esensial pada sosial, budaya, dan ekonominya masing-masing serta membentuk interaksi kompetitif antara ketiganya. Siapa pun selama masih terikat komunitas akan sulit untuk tidak berpartisipasi sama sekali. Apalagi pada hakikatnya nurani memberi sesuatu itu terdapat pada semua manusia. Hanya waktu pelaksanaan dan tingkat kepeduliannya berlainan. Demikianlah inti latar belakang kehadiran hadiah. Kemudian terapresiasikan secara berkembang dan berkesinambungan. Sehingga kini menjadi salah satu tiang peradaban manusia. PERHITUNGAN KELAYAKAN Hanya sayangnya tidak diikuti dengan apresiasi pola berpikir ekonomis. Akibatnya banyak HL tanpa perhitungan. Sehingga manfaatnya bersifat spekulatif : sulit ditebak sejak penyerahannya. Karenanya banyak kejadian ironi. HL tidak termanfaatkan karena kelebihan. Padahal pemberi tentu berharap agar pemberiannya bisa dipakai. Kita ambil contoh Pak Adnan (nama samaran). Ulama besar ini setiap menjelang lebaran memperoleh sarung dengan jumlah kodian. Ia merasa dilema juga. Bila ditolak takut tersinggung. Tetapi bila diterima ... yang lama pun masih bagus. Tentu saja karena faktor tata krama orang timur tidak mungkin berkata : "Jangan ini dong. Tetapi yang lain !" atau "Wah sudah banyak sarung di lemari" Akhirnya daripada sarung tersimpan di lemari dibagikannyalah kepada para kerabat sampai habis. Lain halnya bila diniatkan sebagai mediator. Artinya secara tidak langsung ia diminta untuk membagikannya. Seharusnya bila akan memberi juga dengan produk lain saja di mana diperkirakan tidak dimiliki tetapi dibutuhkan. Soalnya bagaimana pun mahalnya sarung tetapi manfaatnya rendah bila sudah kelebihan. Di sinilah pentingnya perhitungan. Yaitu mencari data berupa kebutuhan penerima dan kemampuan pemberi. Interaksi keduanya menghasilkan keputusan bernilai selektif dan rasional. Yakinlah peluang untuk bisa terpakai pun akan bertambah besar. Logikanya : memberi HL berupa kemeja kepada penjual cendol keliling tentu akan lebih kena ketimbang pengecer kemeja trotoar. Pemberian HL berlatar berdasarkan perhitungan sesungguhnya menunjukkan adanya kasih sayang dan tanggung jawab dari pemberi. Ia berobsesi adanya perubahan positif pada penerima dalam jangka waktu tertentu akibat penggunaannya. Sedangkan besarnya manfaat HL dari aspek psikologis menggambarkan luasnya wawasan si pemberi dalam hal pengambilan keputusan. Memang mulanya dirasakan kurang efisien. Terlebih untuk produk berharga murah. Tetapi justru tanpa itulah banyak HL tidak efektif. Tetapi bila sudah dicoba serta bertepat guna mungkin akan merangsang kita untuk melakukannya lagi. Soalnya kebanyakan pemberi tidak melakukannya karena belum dicoba. Apalagi bila tidak merasa terdemami apresiasi/terdorong berbuat gituan. Media massa selaku apresiatornya pun sampai kini tampak belum bicara banyak. Minimal dalam bentuk iklan layanan masyarakat. Apa memang pernah TV kita menayangkan slogannya. Dengan perhitungan berarti penerima akan menikmati. Siapa tahu mengubah nasib ke arah lebih baik. Ini terlepas harga barangnya. Yang murah maupun yang mahal bisa saja manfaatnya menjadi berbanding terbalik. Coba kita pikir apakah memberi hadiah kepada ulama serta berkecukupan lebih efektif dengan buku agama atau sarung sholat ? Secara statistika jelas yang pertama. Karena sama saja dengan menyampaikan pengetahuan baru. Sedangkan sarung sholat jelas tidak. Berdasarkan pengalaman pun rasanya susah mencari ulama seperti itu sampai tidak mempunyai sarung sholat satu pun. Produk eksklusif bernilai tambah terhadap syiar Islam rasanya lebih pantas diberikan kepada mereka. Bagaimana pun kayanya ulama tetap tidak akan memiliki semua sarana bagi kegiatannya itu. Kini berpulang pada kita : apakah jeli melihat kekosongannya kemudian diantisipasi dengan pemberian HL terkait ? Langkah Irfan bisa dijadikan contoh. Tiga hari menjelang lebaran ia memberi HL kepada Paman Sidik berupa buku seputar penulisan teks khutbah Idul Fitri. Ini dengan asumsi bahwa pamannya berstatus kiai itu tidak mempunyai buku tersebut. Ya memang benar ! Pucuk Cinta ulam tiba. Buku itulah justru yang sedang dicari. Akhirnya dengan penuh semangat Paman Sidik bisa membuat teks khutbah dengan mutu/bahasa semakin baik. HIKMAHNYA Cukup banyak hikmah kesadaran intelektual semacam itu. Di antaranya meningkatkan kesejahteraan. Sebab dengan perhitungan sama saja dengan meningkatkan kesetiakawanan. Juga menekan resiko pemborosan ekonomi akibat produk : tidak terpakai atau banyak bersisa. Pada saat lebaran banyak rumah tangga mengalaminya. Yang cukup menonjol misalkan makanan terpaksa masuk tong sampah karena sudah basi. Ketupat, tapai ketan, dan sayur sering menjadi korban. Padahal modal pembuatannya mungkin saja masih ngutang karena gaji kantor suami sudah habis untuk membeli sarana lebaran lainnya. Untuk kalangan atas biaya penyambutan lebaran bisa puluhan juta rupiah. Mendingan bila efektif semuanya. Tetapi kenyataan tidak ! Taroklah 5% terbuang percuma karena kurang perhitungan. Berarti ratusan ribu rupiah terbuang percuma. Dari segi pendidikan berarti kegiatan perhitungan seperti itu bisa meningkatkan ketajaman intelektual pemberi dalam mengambil keputusan. Efek positifnya tidak lagi terbatas pada masalah HL. Juga bidang lainnya. Berhasilnya para industriawan pun umumnya karena kepiawaiannya dalam perhitungan. Mereka mampu membuat produk dengan biaya sangat murah namun nilai jualnya sampai beberapa kali lipat. Akhirnya memberi kesadaran bahwa memberi HL tidak harus terpaku oleh produk trendi. Makanan, pakaian, dan sepatu misalnya. Ada peribahasa bernuansa statistika : "Sekali Perhitungan Seribu Keuntungan". Meskipun imajinatif serta belum tentu bisa diterapkan di lapangan namun sedikit-banyak memberikan motivasi bahwa perhitungan itu memang membawa keuntungan berupa penghematan dan fungsional. PENGENTASAN KEMISKINAN Cerita berikut ini kiranya bisa dijadikan model. Pak Sudin pada Idul Fitri tahun kemarin tidak saja memberi makanan dan pakaian kepada Didi. Tetapi juga mesin ketik. Kemenakannya dari keluarga miskin itu ia anggap mempunyai kemampuan mengetik sangat tinggi : cepat dan akurat. Dalam surat singkatnya ia berharap : semoga alat tulis tersebut tidak lagi membuat Didi menganggur serta sekaligus titik awal dalam usaha mencari nafkah. Memang benar. Tiga minggu kemudian Didi mulai menerima jasa mengetik di rumahnya. Ia membuat slogan Menerima Ketikan pada papan triplek. Lalu ditempelkan di tempat strategis. Tarif minimalnya seribu rupiah per lembar. Barulah dua minggu lagi ia menghasilkan setiap hari. Mulanya seribu rupiah. Lalu meningkat menjadi tiga rupiah. Akhirnya karena sudah dikenal ia bisa mengantongi sampai enam ribu rupiah. Jadi tidak perlu lagi mengompas ibunya untuk ini-itu. Langkah itu sungguh mulia. Nilai ibadahnya sangat tinggi. Terlebih bila Didi kelak melakukan langkah serupa. Pokoknya berkesinambungan. Alangkah besar pengaruhnya terhadap upaya pengentasan kemiskinan bila pemberian HL ala Pak Sudin menjadi tradisi setiap menjelang lebaran sebagaimana sepatu, tapai ketan, sampai pakaian. Dalam skop nasional yakinlah akan ditandai melonjaknya SDM dalam substansial fantastis. Gilirannya meningkatkan identitas bangsa kita juga. Mesin ketik bisa saja murah. Apalagi kini harganya cukup jatuh di pasaran berhubung semakin maraknya komputer. Tetapi keputusan Pak Sudin tersebut menggambarkan sosok kesadaran intelektual maupun perasaan peduli dari makluk bernama manusia terhadap masa depan sesamanya. Jelas tidak bisa dinilai dengan uang. Apalagi dipadankan dengan harga produk tersebut. Entah berapa banyak lagi nasib seperti Didi lainnya dari semua tingkatan pendidikan. Mereka menganggur karena banyak sebab. Di antaranya belum ditemukannya lubang jarum untuk memperdayakan dan mengembangkan potensi pada dirinya. PENUTUP Budaya memang bisa mengubah bangsa dari suatu kondisi tertentu menjadi kondisi semakin baik. Nah ... mengingat mayoritas orang miskin di Indonesia adalah ummat Islam maka kiranya tidaklah berlebihan bila HL dengan perhitungan seperti langkah Pak Sudin bisa dijadikan salah satu solusinya. Bukan berarti HL selama ini tanpa perhitungan. Saya tidak menganggap demikian sama sekali. Hanya saja mutu dan apresiasinya perlu ditingkatkan. Tidaklah berlebihan bila pemerintah bersama berbagai tokoh Islam menjadikannya sebagai salah satu solusi pengentasan kemiskinan. Kemudian diapresiasikan seperti melalui pidato dalam acara berbuka puasa bersama. Adanya kemampuan kuat ke arah sana gilirannya kelak akan menjadi kegiatan rutin masyarakat muslim di tanah air setiap menjelang 1 Syawal. Salam, Nasrullah Idris