Indoz-netter yth: Saya tertarik untuk mengirimkan dua artikel di bawah ini yang saya nilai amat mampu menyadarkan kita untuk lebih objektif dalam menengok masa lampau negeri kita. Kedua artikel itu adalah: 1.. Menengok Masa Lampau, Menatap Masa Depan, oleh Prof. Juwono Sudarsono, dimuat di Kompas Online, Selasa 4 Mei 1999 2.. Habibie Resmikan Universitas Bung Karno Ingkari, Sebut Masa BK Serba Hitam, sebuah laporan jurnalistik yang dimuat di detikcom, Jum'at 25 Juni 1999 Kiranya kedua artikel itu - yang memang cukup panjang, mohon maaf untuk itu - mampu membuat kita lebih proporsional dalam menilai kepemimpinan Pak Harto, Bung Karno (dan tentunya kepemimpinan tokoh lainnya). Salam hormat, Sani Susanto ========================= Selasa, 4 Mei 1999 Menengok Masa Lampau, Menatap Masa Depan Oleh Juwono Sudarsono SAYA mendapat kehormatan untuk menjadi pembicara utama dalam seminar Ikatan Lulusan Universitas Indonesia dengan judul tema untuk babak pertama, "Mengubur Kultur dan Sistem Orde Baru." Izinkan saya untuk merubah judul itu menjadi tema "Menimbang Orde Baru," sekaligus menyampaikan beberapa harapan yang berhubungan dengan upaya Universitas Indonesia ikut membangun Indonesia yang demokratis dalam perspektif pendidikan dan kebudayaan. Saya terdorong untuk menyampaikan yang berikut ini karena wacana publik selama 11 bulan terakhir ini mengingatkan saya pada perkembangan politik 31 tahun yang lalu. Saya mohon direnungkan oleh para alumni dan mahasiswa, terutama mereka yang berusia di bawah 25 tahun, terlebih karena sebentar lagi kita akan mengenang peristiwa 12-14 Mei dan 21 Mei 1998. *** PADA April 1969, Orde Baru berusia tiga tahun. Presiden Soeharto ketika itu baru mencanangkan Pembangunan Lima Tahun pertama 1969-1974. Sebelumnya, dari Maret 1966 sampai dengan April 1969, para pelopor dan penegak Orde Baru-mahasiswa, sarjana, cendekiawan, politisi, ulama, wartawan, usahawan, kalangan tentara-gencar mengumandangkan "pembaharuan" dan "pelurusan" terhadap apa yang disebut sebagai "Orde Lama", yaitu masa pemerintahan Presiden Soekarno yang sebenarnya secara resmi berlangsung dari Juli 1959 sampai dengan Maret 1967, tetapi yang sekarang dipukul rata mencakup tahun 1945-1967. Antara 1966 dan 1969, bahasa politik yang menggema di berbagai sarasehan, simposium, seminar, diskusi panel hampir serupa dengan bahasa politik selang 10 bulan selama 1998-1999 terakhir. Ada tekad untuk membangun "Indonesia baru", ketetapan hati untuk menegakkan hak-hak asasi manusia, kehendak untuk menjalankan pemerintahan yang bersih atas dasar kehidupan konstitusional, pengembangan otonomi daerah, perekonomian yang memihak rakyat kecil, dan sebagainya. Kata kunci selama 1966-1969 adalah "pembaharuan", sedangkan yang menggema sejak Mei 1998 adalah "reformasi". Tiga puluh tahun lalu, kata kunci adalah "anti-korupsi" dan "anti-kelaliman". Wacana yang gencar sejak Mei 1998 adalah "anti-korupsi, anti-kolusi dan anti-nepotisme". Dahulu yang dihujat dalam hampir setiap demonstrasi mahasiswa dan yang selalu dipojokkan di media cetak dan elektronika adalah Presiden Soekarno. Selama Juni 1998-April 1999 hampir setiap media cetak dan elektronika cenderung menyebut krisis yang sedang kita alami sebagai bersumber semata-mata dari kesalahan-kesalahan Presiden Soeharto. "Rezim Orde Baru" disalahkan untuk segala persoalan yang kita alami sekarang, sebagaimana "Rezim Orde Lama" disalahkan untuk segala jenis krisis yang menimpa Indonesia selama 1966-1969. Pada tahun 1966-1969, hampir setiap pembicara dalam simposium, seminar dan diskusi selalu mengungkap bahwa Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno tak ada yang patut dipertahankan, diperbaiki apalagi dihormati. Pada tahun 1998-1999, hampir setiap pembicara menolak segala sesuatu yang bertalian dengan masa Orde Baru; tak ada yang patut dan layak dipertahankan, diperbaharui apalagi dijunjung tinggi. Pada tahun 1966-1969, para mahasiswa, cendekiawan, pejabat sipil dan militer yang sebelum 11 Maret 1966 tak berani menentang Presiden Soekarno tiba-tiba menjadi orang yang paling lantang dan paling galak menghujat Presiden Soekarno dan kebijakan-kebijakannya. Pada 1998-1999, hampir setiap pekan kita menyaksikan orang yang sebelum 21 Mei 1998 tidak berani mengecam mantan Presiden Soeharto, ramai-ramai membuat pernyataan yang lebih menggelegar dan lebih meledak dari pembicara lainnya. Pada tahun 1966-1969, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang selama 1960-1966 selalu menyatakan "setuju" terhadap keinginan Presiden Soekarno sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" cepat berubah menjadi pemrakarsa terdepan dalam pencabutan ketetapan-ketetapan MPRS yang dinilainya "tidak sesuai dengan semangat Orde Baru". Pada Sidang Istimewa MPR November 1998 yang lalu, gejala serupa terulang dengan pencabutan ketetapan MPR yang "tidak sesuai dengan semangat Orde Reformasi", meskipun ketika Presiden Soeharto masih berkuasa para peserta sidang MPR yang sama mengamininya sebagai "Bapak Pembangunan". Pada Sidang Umum MPRS tahun 1967 dan 1968, tak satu pun anggota MPRS menolak pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden dan presiden penuh. Pada Sidang Umum MPR Maret 1983, 1988, 1993 dan 1998, tak satu pun anggota MPR yang berani secara terbuka menyatakan Presiden Soeharto sebaiknya berhenti karena ia sudah menjalani tiga masa jabatan. Banyak tokoh reformis yang kini berada di dalam maupun di luar pemerintahan Presiden Habibie adalah anggota MPR kurun waktu 1983, 1988, 1993, 1998. Pada waktu itu, mereka semua setuju Presiden Soeharto dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya. Pada masa 1966-1969, sejumlah tahanan politik yang baru dibebaskan dari penjara berlomba-lomba menyatakan dirinya lebih dahulu dan lebih berani menggugat dan menentang Presiden Soekarno. Sekarang kita menyaksikan gejala yang serupa: sejumlah tahanan politik yang dibebaskan juga berlomba menyampaikan kapan dan di mana ia lebih dahulu mempertanyakan, menggugat dan menentang Presiden Soeharto. Apa makna dari semua gejala ini? Sejarah berulang, dan berulang dalam bentuk yang lebih konyol daripada masa sebelumnya? Kecenderungan alamiah manusia untuk menempatkan dirinya sebagai yang paling berani, paling sempurna dan paling benar daripada orang lain? Keinginan untuk memurnikan dirinya sambil menutupi perannya di masa lampau yang ingin dienyahkan dari bawah sadarnya? *** MARILAH kita bahas dalam seminar Ikatan Alumni Universitas Indonesia ini hal-hal yang bertalian dengan masa depan kita melalui perspektif yang lebih luas, lebih berimbang dan lebih jernih. Dalam menatap masa depan, kita hendaknya lebih dahulu harus bersikap terus terang dan wajar tentang masa lampau. Melalui keterbukaan dan keikhlasan kita masing-masing, para anggota garba ilmiah Universitas Indonesia akan sadar bahwa sejarah memberi keseimbangan berpikir dan kearifan bertindak, untuk kini dan untuk masa depan. Sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris kebudayaan universitas marilah kita pelopori upaya menghindar pemukulrataan yang tidak jujur dan tidak adil tentang banyak hal dari masa lampau kita itu. Termasuk pemukulrataan yang tidak wajar terhadap Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Kita semua - terutama kalangan garba ilmiah Universitas Indonesia - tidak perlu cemas terhadap peran Universitas Indonesia di masa lampau, baik yang bertalian dengan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, baik yang berhubungan dengan Orde Lama maupun dengan masa Orde Baru. Menyatakan bahwa "20 tahun di bawah Soekarno" dan "30 tahun di bawah Soeharto" sebagai masa-masa serba hitam, kelam dan suram sesungguhnya mengingkari kaidah pendidikan dan kebudayaan yang menuntut kita bersikap berimbang sebagaimana layaknya cendekiawan memandang sejarah bangsanya. Sebagaimana mahasiswa UI angkatan '66 diingatkan bahwa sejarah bangsa tidak bermula pada 11 Maret 1966, maka mahasiswa UI angkatan '98 perlu diingatkan bahwa sejarah Indonesia pun tidak berawal pada 21 Mei 1998. Kita semua-muda, setengah baya, lanjut usia-sedikit banyaknya dibentuk oleh 20 tahun masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan 30 tahun masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dengan segala kekurangan dan kesalahannya, Presiden Soekarno adalah peletak dasar pembangunan bangsa. Dengan segala kekurangan dan kesalahannya, Presiden Soeharto adalah peletak dasar pembangunan negara. Marilah kita bersikap jujur dan adil terhadap kedua mantan pemimpin nasional, menimbang kultur dan sistem yang telah mereka wariskan di samping tekun memperbaiki hal-hal yang kurang baik. Bagaimanapun, bersikap jujur dan wajar terhadap kedua tokoh itu adalah bahagian melekat dari proses kejujuran dan kewajaran terhadap masa lampau kita sendiri. Dalam perspektif kesejarahan, orang yang mengaku dirinya reformis tidak mungkin memisahkan dirinya dari jalinan status quo. Sebaliknya, dalam situasi perubahan cepat yang kita alami, status quo sesungguhnya adalah kemustahilan. Tugas warga perguruan tinggi adalah untuk keluar dari budaya hujatan dan pemukulrataan masa lampau, agar kita semua senantiasa mawas diri dalam berpikir dan bertindak. Hanya dengan sikap demikianlah kita dapat menatap masa depan dengan landasan kultur dan sistem pasca-Orde Baru yang kuat. ( * Juwono Sudarsono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Guru Besar Ilmu Politik UI. ) ========================= ========================= Habibie Resmikan Universitas Bung Karno Ingkari, Sebut Masa BK Serba Hitam Reporter: Nurul Hidayati (Sumber: detikcom 25 Juni 1999) detikcom, Jakarta - Menyatakan masa kepemimpinan Bung Karno dan Soeharto, adalah masa-masa yang serba hitam dan suram, adalah pengingkaran terhadap realitas sejarah. Itulah pernyataan Habibie yang paling baru, setelah ia mengakui bahwa Bung Karno adalah idolanya. Pernyataan Habibie itu dilontarkan dalam peresmian Universitas Bung Karno (UBK) di Istana Negara, Jumat (25/06/1999). Dalam peresmian UBK tersebut hadir juga penggagas UBK, Rachmawati. Juga hadir isteri Bung Karno Ny.Hartini disertai anaknya Bayu. Pengingkaran tersebut, kata Habibie, ditandai dengan adanya kemiripan berupa penghujatan terhadap masa lalu, tanpa memberikan penghargaan yang wajar terhadap apa yang telah dihasilkan. Seolah sejarah telah berulang. Lalu muncul kencederungan manusia yang menempatkan dirinya yang paling benar, paling sempurna. "Dan disertai dengan menutup peran masa lalunya,"tandas Habibie. Namun demikian, masih diucapkan oleh Habibie, pengingkaran yang sama juga terjadi, apabila kita menganggap masa Orde Baru dan Orde Lama, sebagai masa yang serba berhasil dan cemerlang yang tiada cela. "Sebagai manusia, setiap pemimpin mempunyai kelebihan dan kekurangan,"kata Habibie. Mereka, para pemimpin itu, menurut Habibie, menunjukan keberhasilan dan mereka juga tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Semua itu mencerminkan sifat hakiki seorang manusia. Karena itulah, adalah tugas utama dan mulia bagi generasi kini dan mendatang, untuk melakukan koreksi, meluruskan dan menyempurnakan. "Inilah inti dari gerakan reformasi yang sedang kita laksanakan,"ujar Habibie. Selebihnya, Habibie juga menyatakan, Bung Karno adalah tokoh pergerakan kebangsaan yang terkemuka sejak dasawarsa 1920-an. Sebagai proklamator bersama Bung Hatta dan kemudian Bung Karno menjadi Presiden RI pertama, Bung Karno, disebutkan Habibie telah mengabdikan dirinya selama lebih dari empat dasawarsa bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. "Jika kita harus menyimpulkan keseluruhan pengabdian dan perjuangan bliau, rasanya kita dapat menyatakan, bahwa yang menjadi obsesi pribadi beliau adalah terwujud dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai dasar untuk berkembang dan menjadi bangsa yang besat dan disegani,"kata Habibie. Karena itulah, masih dinyatakan Habibie, adalah merupakan suatu yang wajar bahwa Bung Karno harus berpikir, berbuat serta mengambil keputusan yang sesuai dengan suasana dan tuntutan jamannya. "Namun oleh karena dewasa ini kita hidup dalam tahap perkembangan dunia yang secara kualitatif amat berbeda, kita perlu secara kritis dan kreatif membaca pikiran, wawasan dan keputusan politik yang pernah bliau ambil,"tandas Habibie. Dan bersamaan dengan itu, Habibie lantas mengharapkan, agar kita sendiri juga harus mengembangkan pikira, wawasan serta keputusan politik yang relevan dengan zamannya sendiri, yang juga mesti mengalami penyempurnaan secara berkelanjutan. "Saya percaya Bung Karno tidak pernah berkeinginan kita menjadi dogmatis dan tidak kritis,"kata Habibie. Bahkan mengenai Pancasila pun, Habibie berpendapatm Bung Karno secara gigih menolak disebut sebagai penciptanya. "Sebab nilai-nilai Pancasila memang telah ada dalam kehidupan budaya bangsa Indonesia sejak dulu kala. Maka dengan rendah hati, Bung Karno hanya bersedia disebut sebagai penggali Pancasila,"kata Habibie. Oleh karena itulah, Habibie pun mengingatkan, agar penghormatkan terhadap Bung Karno, jangan sampai merosot menjadi kultus individu. Sejarah umat manusia, menurut Habibie, juga telah mencatat bahwa pemujaan yang berlebihan dan pengkultusan kepada seorang pemimpin, justru menjadi salah satu penyebab kejatuhan sang pemimpin tersebut. Bung Karno, masih dinyatakan oleh Habibie, harus kita tempatkan sebagai bagian dari keseluruhan kepimpinan nasional di masa lampau, sekarang ini dan di masa depan, yang bergulat keras untuk memimpin bangsa dengan masyarakat yang majemuk. Bagaimana pun, posisi Bung Karno sudah amat mantap dalam perjalanan sejarah bangsa. "Tidak ada Republik Indonesia tanpa Proklamasi 17 Agustus 1945, dan tidak akan ada Pancasila tanpa ada yang menggalinya. Oleh karenanya, bangsa Indonesi akan tetap mencatat bahwa Proklamasi Kemerdekaan dan Pancasila tidak dapat dipisahkan dari peran Bung Karno, sebagai salah seorang proklamator dan penggali Pancasila,"tandas Habibie. =========================