Howdy,

Hubungan Oz-Ina, tidak pernah atau tidak akan pernah baik:-),
walaupun bertetangga; baik dulu maupun sekarang ... 
mungkin keduanya butuh cermin;
atau ke-satu-nya yang lebih membutuhkan:-)

Sejarah rupanya sering berulang
artikel pertama adalah artikel lama dari Ina,
artikel kedua adalah artikel uptodate dari Oz.

Enjoy!

Howgh!
--                                        Djoko Luknanto-Jack la Motta

Mad Max 1:

        CERMIN BUAT TETANGGA

        Ketika ditanya wartawan The Age, koran terbesar di Australia
        pada     tahun     1988,    tentang    bagaimana    hubungan
        Indonesia-Australia, Rendra balik  bertanya:  hubungan  yang
        mana?   Hubungan   pemerintah  Indonesia  dengan  pemerintah
        Australia,  baik.  Hubungan  masyarakat   Indonesia   dengan
        masyarakat  Australia, mulus. Hubungan pers Indonesia dengan
        pers Australia,  lancar.  Yang  selalu  jadi  masalah  ialah
        hubungan pers Australia dengan pemerintah Indonesia.

        Kecuali  Australia,  Indonesia  mempunyai tetangga lain. Dan
        para tetangga itu juga memiliki sendiri pers  masing-masing.
        Mereka juga bisa menulis apa saja soal Indonesia. Tetapi tak
        seperti pers Australia, pers para tetangga lain  tak  begitu
        "mengancam" ketenangan pemerintah kita.

        Banyak ahli Indonesia di Australia yang mengetahui persoalan
        Indonesia  secara  mendalam,  jauh   lebih   mendalam   dari
        kebanyakan  pemahaman  orang  Indonesia sendiri atas kondisi
        masyarakatnya. Kritik orang-orang seperti itu jelas berguna,
        betapapun pahitnya karena mereka mengritik dengan fakta yang
        sahih.

        Pada awal masa tugasnya  di  Australia,  Duta  Besar  Rusman
        Nuryadin  mengunjungi  Universitas  Monash  untuk  melakukan
        dialog dari  hati  ke  hati  dengan  para  intelektual  yang
        bercokol di kampus itu. Ada yang memuji tindakan pejabat itu
        sebagai terobosan baru, dan  mengandung  sejenis  keberanian
        karena  konon  baru  dia pejabat Indonesia yang berani masuk
        kandang "macan" itu.

        Saya kurang tahu macan jenis apa.  Setahu  saya  biasa-biasa
        saja.   Mahasiswa  Indonesia  di  sana,  yang  dikhawatirkan
        menjadi "macan" radikal juga, nyatanya tidak. Sebagian  dari
        mereka  bahkan tampak sangat korpri-minded: bisa tersinggung
        oleh  kritik  apa  saja  yang   tertuju   pada   pemerintah.
        Pendeknya,  mereka anak-anak yang "saleh". Saya ingat, Dubes
        Rusman saat itu bertanya: "Siapa di  sini  yang  masih  suka
        bicara  sumbang  tentang Indonesia? Tolong, perkenalkan saya
        dengan mereka itu, agar saya bisa memberi mereka  penjelasan
        yang benar tentang kondisi negeri kami."

        Herbert Feith, ahli politik Indonesia yang kondang itu, saat
        itu duduk di sebelah saya, dan hanya tersipu-sipu  mendengar
        pertanyaan  itu. Tak seorang pun yang menjawab. Mereka bukan
        tidak tahu persoalan.

        Di mata orang Australia (para wartawan, para ahli,  termasuk
        mahasiswa, dan masyarakat awam), daya tarik Indonesia memang
        besar. Seminar rutin tiap Kamis  yang  diadakan  oleh  Pusat
        Studi  Asia  Tenggara,  Universitas  Monash, menunjukkan hal
        itu. Bila seminarnya mengenai  Indonesia,  ruangan  505  itu
        sering  tak  mampu  menampung peminat. Tapi sebaliknya, bila
        seminarnya menyangkut Malaysia, misalnya, ruangan itu begitu
        sepi.

        Dugaan  saya, banyak orang Australia yang membangun persepsi
        tentang Indonesia semata berdasarkan informasi pers  mereka.
        Selama  di  negeri  itu  saya bertemu banyak orang, kalangan
        muda, yang bersikap "marah"  terhadap,  pertama,  Islam  dan
        kedua,  pemerintah (Indonesia). Kritik mereka terhadap Islam
        dan pemerintah begitu khas; ciri orang marah, tanpa memahami
        seluk-beluk  persoalannya  secara memadai. Kesan saya, Islam
        dan pemerintah Indonesia merupakan sesuatu  yang  menakutkan
        bagi mereka.

        Seminggu  sebelum  seminar tentang "Agama dan Perdamaian" di
        Universitas Monash tahun lalu,  ketika  Perang  Teluk  masih
        berlangsung, seorang Muslim Indonesia digebuk oleh anak-anak
        muda Australia yang marah terhadap Islam. Ini menjadi  salah
        satu bukti ketakutan, atau mungkin kebencian, itu.

        Jumlah  ahli Indonesia di berbagai universitas di Australia,
        makin  lama   makin   banyak,   seiring   dengan   dibukanya
        Pusat-pusat  Studi  Asia  Tenggara  di universitas yang dulu
        belum  memilikinya.  Pejuang-pejuang  agama,  yang  berusaha
        mengadakan  dialog antar-umat beragama berdasarkan kasih dan
        saling pengertian,  juga  ada.  Beberapa  di  antara  mereka
        sahabat  saya. Tetapi suara mereka tampaknya tak cukup keras
        untuk didengar. Pengaruh mereka tak  tampak  sebesar  akibat
        tulisan seorang wartawan di sebuah media massa.

        Saya juga mengenal orang yang dengan tulus berusaha membantu
        mencari jalan pemecahan persoalan Timor Timur. Tulisannya di
        media   massa   Australia  tampak  mencerminkan  sikap  yang
        bijaksana.  Tidak  ada  kutukan  terhadap  pihak  mana  pun,
        termasuk  terhadap  pemerintah Indonesia, di dalamnya. Tidak
        ada kesan menghardik dan sikap radikal. Tidak ada kebencian.

        Mungkin karena itu semua,  suara  bijak  itu  justru  hilang
        seolah  tanpa  bekas.  Orang-orang "romantis", yang bersikap
        paling suci itu, sama sekali  tak  terimbas  oleh  pemikiran
        moderat mereka.

        Pemerintah  memang  bisa  salah.  Dan ia sah untuk dikritik.
        Meskipun pemerintah Indonesia marah dengan  kritikan,  namun
        diam-diam  mereka  memanfaatkan  kritik  itu buat perbaikan.
        Jadi kritik  terhadap  pemerintah  sehubungan  peristiwa  12
        November di Dili, yang dilakukan antara lain dengan membakar
        Bendera Merah Putih  kita,  buat  saya  merupakan  persoalan
        tersendiri.

        Bendera  negara bukan hanya milik pemerintah, melainkan juga
        milik seluruh rakyat Indonesia. Sikap brutal mereka jadinya,
        juga melukai hati masyarakat.

        Saya  menghargai  keluhuran  perjuangan  mereka.  Tapi  cara
        mereka melihat kita hanya dari sudut-sudut  paling  dramatis
        itu sungguh tidak adil.

        Melihat  orang  Aborigin  keleleran  di  taman-taman di kota
        Sydney atau  Melbourne,  compang-camping,  kelaparan,  tanpa
        pendidikan,   tanpa   lapangan  kerja,  mengapa  tak  pernah
        menyentuh keharuan kalbu mereka?

        Saya tidak keberatan  pemerintah  Indonesia  dikritik.  Tapi
        mendengar  Bendera  kita  diinjak-injak,  saya  merasa perlu
        bereaksi. Saya ingin  mengirimi  tetangga  kita  itu  sebuah
        cermin.  Siapa  tahu, pada saat senggang mereka bisa melihat
        wajah sendiri di cermin itu. Siapa  tahu,  noda  yang  sudah
        jauh  terpendam dalam sejarah penindasan kaum Aborigin masih
        bisa terlihat.

        ---------------
        Mohammad Sobary, Suara Pembaruan, 6 Desember 1991


Mad Max 2:

        Sidney Morning Herald, Saturday, September 11, 1999

        The ABC of warmongering By PADRAIC P. McGUINNESS

        The most worrying feature of the public response to the
        troubles in East Timor is that it raises once again the
        question of the role of the media in the promotion of hatred
        and violence between, as well as within, nations. The most
        knowledgeable of modern critics of the media, both because of
        his long experience and his freedom from either ideology or
        illusions about its self-importance, is Phillip Knightley.
        Author of one of the best books ever written about the press,
        The First Casualty (in war, the first casualty is truth),
        Knightley asked recently, "Did the media actually cause the
        war in the Balkans? Did they prompt the intervention? Did they
        make it worse?"

        The same might well be asked concerning the East Timor
        catastrophe. Did the media, especially the Australian media,
        foment the East Timorese independence movement and support it
        externally? Did the media, by its campaign of misinformation
        about the history of Timor (with ever escalating numbers of
        alleged killings by the Indonesian invasion and occupation),
        so insult the Indonesian army as to evoke its anger and
        hostility? Is the media, or sections of it, trying to force
        the hand of the Australian Government into taking military
        action against Indonesia? Does it really want to risk plunging
        Australia into a war?

        There is a certain irony in that I quote Knightley from a
        typically nutty piece by John Pilger, who has played a
        considerable role in the vilification of both Indonesian and
        Australian foreign policy. His latest pilgering of Australia's
        treatment of Aborigines is soon to be screened by ABC TV.

        The ABC has been by far the leading voice in the war party in
        Australia. It has for many years tirelessly propagandised
        about Timor and Indonesia, and through Radio Australia and
        other means actively tried to foment discontent and violence
        in Indonesia. It is continually waging a war of words against
        Indonesia, and its partisanship in the current crisis is
        almost beyond belief. John Hewson, with whom I rarely agree on
        political matters, got it exactly right in yesterday's
        Financial Review - the ABC is trying to run Australia's
        foreign policy and is prepared to try to hector our Government
        into doing any stupid act in the name of morality and
        humanitarianism.

        Just as the Catholic Church has the blood of its own people on
        its hands, including the death of the director of the Catholic
        charity Caritas ("such a wonderful little man" as the
        Australian head of Caritas extraordinarily described him), so
        many other deaths can be ascribed directly to the ABC's
        unrelenting provocation. Richard Carleton's offences are
        trivial by comparison.

        If we are foolish enough to intervene in East Timor against
        the Indonesians and the Timorese militia and many of our
        soldiers and civilians die, or our country is invaded by an
        enraged Indonesia, we can be sure of only one thing: the ABC
        will blithely blame anyone but itself.

        Linked to this, and not confined to the ABC, is the
        ill-concealed glee of the media in having a real live massacre
        on our doorstep to report (and exaggerate). There is something
        deeply repellent, even obscene, about the delight the media
        takes in war and disaster. Every cub reporter wants to be a
        war zone reporter, heroically posturing in his/her own mind
        and before a supposedly admiring domestic audience. Armed only
        with their own prejudices and ignorant of both the politics
        and the history of the conflicts, they gloatingly describe the
        horrors perpetrated by their chosen villains. There are a few
        exceptions to this, such as the Herald's David Jenkins and
        Hamish McDonald, who do know what they are talking about. But
        such people are rarely found in the ranks of the ABC.

        Equally repellent is the way such crises bring out the
        deep-seated hatred of Indonesia and Indonesians, and indeed
        the repressed war hysteria, rage and racism of so many
        Australians. Not the so-called "rednecks" or the suburban
        masses, who are among the most generous and tolerant of any
        people in the world, but among those who like to think of
        themselves as superior to the rednecks, those who are
        oh-so-civilised, educated and enlightened. At times like these
        the clamour for war emanating from the chattering classes is
        both deafening and horrifying. (And do not forget the outburst
        of anti-French racism a few years ago.) There is as yet no
        evidence that this reflects any genuine feeling in Australia
        as a whole. We must wait upon the opinion polls, but it is
        very likely that this storm, whipped up by the media,
        represents only a small minority of opinion in Australia. The
        published letters to the newspapers, which are scrupulously
        selected to represent fairly the thousands received, do not
        represent the opinion of the general public. That there is an
        enormous amount of concern felt by anyone who knows what is
        going on is certainly true.

        The e-mail messages I received after writing about the Timor
        crisis on Thursday are greater in number by far than I have
        ever before received as a result of a single piece. Many of
        them say, "Thank goodness someone is trying to stay sane";
        many others are abusive or condemnatory. Some are critical but
        sensible. But people with access to e-mail are not
        representative of public opinion. (And I have often wondered
        if those who write from government departments, corporations
        and universities have any scruples about misusing their
        employer's time and resources.)

        War fever is running high in the political elites, as are
        racism and the humanitarianism of the gun and the bomb. If
        they do not get their way, they will take out their anger on
        the Government which is saving us from our hysterical selves.
        If they do get their way and disaster follows - well, as
        somebody remarked the other day, being on the Left means never
        having to say you're sorry.

        [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke