Howdy,

Inilah artikel dari Kompas mengenai hubungan Ina-Oz yang seperti
hubungan Kancil daan Kanguru ... nyolong timune aborigin. Kelihatannya
ulasan yang ada di artikel ini makes sense. Enjoy!

Howgh!
--                                        Djoko Luknanto-Jack la Motta

        Kompas, Jumat, 17 September 1999
        
        KRISIS TIMTIM DAN HUBUNGAN INDONESIA-AUSTRALIA
        Oleh Ismet Fanany
        
        BELUM lama berselang, pengumuman hasil referendum di Timor
        Timur. Seluruh dunia sudah mengetahui penduduk Timtim memilih
        merdeka dan berpisah dari Indonesia, paling tidak 78 persen
        lebih sedikit memilih alternatif ini. Segera sesudah hasil itu
        diumumkan, kerusuhan pun pecah di propinsi termuda Indonesia
        itu. Dan sejak itu banyak sudah yang terjadi, baik di Timtim
        itu sendiri, di Jakarta dan Indonesia pada umumnya, maupun di
        bagian dunia lainnya. Salah satunya, hubungan Indonesia-
        Australia terpuruk ke dalam jurang paling rendah dalam
        beberapa dasawarsa terakhir. Ada yang mengkhawatirkan bahwa
        sekarang ini hubungan Indonesia-Australia lebih buruk dari
        waktu krisis Timtim tahun 1970-an lalu.
        
        Mengapa berguna melihat krisis ini dalam konteks hubungan
        Indonesia-Australia? Paling tidak ada empat alasan.
        
        Pertama, Australia adalah tetangga Barat paling dekat ke
        Indonesia. Malah, Australia adalah satu-satunya negara Barat
        di kawasan ini. Paling tidak ini berarti bahwa negara-negara
        Barat yang punya kekuasaan, moneter maupun militer, terutama
        Inggris dan AS, cenderung akan mendengarkan versi Australia
        tentang krisis ini. Kekuasaan 2-ter ini (moneter dan militer)
        belakangan ini sering digunakan negara Barat dengan sangat
        efektif yang mengakibatkan kelumpuhan fatal pada negara yang
        menjadi sasarannya. Lihatlah Yugoslavia dan Irak, misalnya.
        
        Alasan kedua, PBB mengumumkan (Rabu, 15/9) bahwa Australia
        akan memimpin pasukan keamanan PBB di Timtim. Dengan jumlah
        4.500 pasukan tempur, Australia mengirim pasukan terbesar ke
        Timtim. Di samping itu, perasaan marah dan curiga atas peranan
        Australia dalam pasukan PBB ini makin hari makin kuat di
        Indonesia.
        
        Ketiga, tidak pelak lagi, di Australia dalam kurang dua minggu
        belakangan ini, banyak yang dikatakan dan dikerjakan orang
        yang diartikan masyarakat Indonesia sebagai bukti ketiadaan
        persahabatan di antara kedua negara. Tidak sulit mencari di
        media massa Australia, cetak maupun elektronik, berbagai
        kalangan penduduk mempertanyakan keadaan hubungan baik di
        antara kedua tetangga ini.
        
        Alasan terakhir, Indonesia-Australia tidak akan bisa mengelak
        dari kenyataan bahwa mereka akan bertetangga selama-lamanya.
        Seyogianyalah kedua negara khawatir sekali melihat betapa
        mudahnya hubungan di antara mereka menuju kemusnahan.
        
        DRAMA SATU SETENGAH MINGGU BELAKANGAN
        
        Kiranya ada gunanya melihat secara ringkas apa yang terjadi,
        dikatakan dan dikerjakan orang di Australia sejak kerusuhan
        meluap seminggu yang lalu. Dua Konsulat Indonesia, di Darwin
        dan Perth, didemo, diserang dan dirusak. Di seluruh ibu kota
        negara bagian dan teritori Australia, demonstrasi
        anti-Indonesia, mendukung Timtim, dan mengritik atau menuntut
        Pemerintah Australia supaya segera bertindak, terjadi
        terus-menerus dan dalam berbagai bentuk. Bendera Indonesia
        dibakar di beberapa tempat. Surat kabar The Australian
        Financial Review menyamakan militer Indonesia di Timtim dengan
        Khmer Merah di Kamboja, pasukan Serbia di Kosovo, dan tentara
        Irak di Kuwait. Pesawat Garuda yang mendarat di Australia atau
        kapal barang dari Indonesia tidak dilayani pekerja bandara
        atau pelabuhan. Jose Ramos Horta, waktu diwawancarai televisi
        menuduh bahwa yang terjadi di Timtim adalah pembunuhan
        terhadap umat Katolik oleh orang yang bukan Katolik. Geoffrey
        Barker menyebut, kejadian di Timtim sebagai Dili holocaust,
        istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pembunuhan massal
        kaum Yahudi oleh Hitler. Suster Katolik Anne Forbes di
        televisi menyatakan bahwa Indonesia seharusnya dienyahkan dari
        masyarakat manusia.
        
        Tidak dapat disangkal bahwa luapan emosi mengecam Indonesia di
        Australia begitu besar, boleh dikatakan di setiap lapisan
        masyarakat. Sekolah-sekolah pun ada yang melakukan jam protes
        yang diikutsertai anak-anak. Tak pelak lagi, dampak dan
        bekasnya dalam pikiran, perasaan dan perbuatan masyarakat
        Australia di masa mendatang akan hebat sekali. Tentulah akan
        memakan waktu yang lama sekali untuk memperbaikinya, dan belum
        bisa dipastikan apakah semua itu akan bisa baik kembali
        seperti sediakala.
        
        Alan Dupont dari Australian National University mensinyalir,
        yang dilaporkan The Weekend Australian (Sabtu 11/9) bahwa
        sebenarnya hubungan Australia-Indonesia (dalam hal ini dia
        khusus membicarakan hubungan dan kerja sama militer) perlu
        ditinjau, karena krisis Timtim sekarang ini membuktikan bahwa
        pada hakikatnya amatlah tipis hubungan di antara mereka.
        Ternyata militer Australia tidak bisa berunding dengan militer
        Indonesia dalam menyelesaikan masalah Timtim. Menurut Dupont,
        ini karena perbedaan "nilai" yang dianut kedua negara. Tidak
        dapat disangkal bahwa pandangan masyarakat Australia yang
        dicontohkan di atas memang mencerminkan bisikan hati nurani
        banyak orang Australia tentang Indonesia, yang kiranya berakar
        pada "nilai" yang dimaksud Dupont itu.
        
        Barangkali perbedaan hakiki yang selalu dirasakan kedua bangsa
        ini, yang terselubung di masa damai oleh kepentingan bersama
        di bidang ekonomi dan stabilitas regional, menyebabkan tidak
        adanya perundingan langsung yang menggebu-gebu di antara
        diplomat tingkat tinggi kedua negara untuk mencari jalan
        pemecahan krisis ini. Kita ingat, di masa krisis Kosovo,
        sebelum koalisi Barat menggempur daerah itu, gencar sekali
        kunjungan tingkat tinggi dari Washington atau London ke
        Beograd. Milosevic tidak henti-hentinya menerima tamu untuk
        mencari jalan keluar diplomatis. Bukan main banyaknya waktu
        yang diberikan kepadanya untuk menempuh jalan damai.
        
        Namun, baru beberapa jam sesudah krisis Timtim pecah
        pasca-referendum, Australia mensponsori pasukan internasional
        memasuki Timtim. Malah, ada yang menyerukan serbu saja. Sanksi
        ekonomi mereka perjuangkan dengan kegencaran yang sama. IMF
        tampaknya mulai mendengarkan negara Barat satu-satunya di
        kawasan ini. Presiden Clinton pun mulai berbicara dengan lebih
        keras dan lantang setelah berbicara dengan PM Australia John
        Howard di Selandia Baru, waktu keduanya menghadiri pertemuan
        APEC. Padahal pernyataan Clinton di Washington sebelum menuju
        Selandia Baru jauh lebih lunak dan lebih terbuka mendengarkan
        kejadian yang sebenarnya. Perubahan nada ini merupakan bukti
        nyata bahwa negara Barat hanya perlu mendengarkan krisis versi
        Australia untuk mengambil keputusan dan menentukan pendirian.
        
        Akan tetapi, mana utusan mereka ke Jakarta ala utusan koalisi
        Barat ke Beograd?
        
        Artinya, seperti dicurigai Dupont tentang hubungan militer
        kedua negara, hubungan diplomatik kedua negara juga bersifat
        semu selama ini. Tidak ada rasa berkawan yang mendorong usaha
        berunding. Krisis ini memperlihatkan bahwa Australia yakin
        bahwa Indonesia tidak bersedia mengamankan Timtim, bukan tidak
        bisa. Jadi harus dihukum dan diancam, bukan harus dibantu
        sebagai teman sekawasan. Itu kira-kira kesan kuat yang muncul,
        yang rupanya dibaca banyak orang di Indonesia. Dan reaksi
        orang di Indonesia adalah memperlakukannya dengan cara yang
        sama.
        
        PROSPEK MASA DATANG
        
        Bukan Dupont saja yang menyeru meninjau kembali hubungan
        Indonesia-Australia. Dan bukan dia saja di Australia yang
        merasa bahwa hubungan kedua negara di masa datang diancam oleh
        luka perasaan kedua bangsa. Di samping itu krisis Timtim juga
        menyingkapkan tabir ketidakcocokan yang menakutkan. Dupont
        menyebutnya, perbedaan "nilai".
        
        Geoffrey Barker tidak menyebutkan dengan lantang di The
        Australian Financial Review (13/9) bahwa hubungan baik yang
        berkesinambungan di antara kedua negara hampir tidak mungkin.
        Dia menjelaskan bahwa militer dan elite politik Indonesia
        dikuasai oleh budaya Jawa. Salah satu ciri orang Jawa,
        katanya, adalah perasaan seperior di bidang budaya dan
        intelektual. Itulah sebabnya, simpulnya, penduduk Timtim
        diperlakukan dengan kejam. Militer yang bernapaskan budaya
        Jawa menganggap orang Timtim terkebelakang, orang kafir yang
        malas dan separatis, serta tidak berterima kasih atas nikmat
        yang mereka terima selama ini.
        
        Bill Hayden, bekas Menlu Australia, juga menyangsikan bahwa
        hubungan baik prakrisis Timtim tidak akan kembali dalam satu
        generasi atau lebih. Dan kalau perbedaan nilai dan anggapan
        budaya memang mendasari reaksi kedua belah pihak menghadapi
        krisis Timtim, diragukan apakah kedua bangsa akan benar-benar
        bisa bersahabat dalam arti sesungguhnya.
        
        Namun, walaupun dengan perbedaan mendasar begitu, rasanya
        tidaklah terlalu utopia sifatnya kalau kedua negara berharap
        bisa berkata dan berbuat di masa mendatang seperti tetangga
        yang bersahabat. Semakin cepat kedua belah pihak memikirkan
        dengan lebih hati-hati perkataan yang akan dilontarkan,
        semakin baik. Semakin segera kedua bangsa bertingkah
        berdasarkan pemikiran, bukan luapan emosi, semakin mungkin
        jalan ke masa depan yang bersahabat bisa dibuat kembali.
        
        (* Dr Ismet Fanany, Coordinator Indonesian Languange and
        Culture Studies, Faculty of Arts, Deakin University,
        Australia.)

Kirim email ke