tim-tim again, sorry if it is too much, just delete it.
cheers,
betty pentury

>Timor Timur: Dulu, Kini dan Esok
>Oleh Sri Bintang Pamungkas 
>Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak tahu persis, apa yang dimaui mantan
>Presiden Soeharto ketika memutuskan untuk 'menyerbu' Timor Timur pada tahun
>1975 dan lalu menganeksasinya lewat Kesepakatan Balibo pada tahun 1976. Bisa
>dimengerti kalau generasi baru Indonesia yang berusia sekitar 10 tahun atau
>kurang pada masa itu hanya tahu Timor Timur adalah bagian dari Indonesia.
>Kejadian itu telah berlangsung hampir 25 tahun yang silam. Maka juga bisa
>dimengerti kalau tiba-tiba Timor Timur 'terlepas' dari Indonesia, banyak yang
>tidak bisa menerima kenyataan itu lalu menyalahkan Presiden Habibie. 
>Memang ada kesalahan Habibie, tetapi tidak seluruhnya kesalahannya. Habibie
>hanya menerima warisan Soeharto, pemimpin dari rezim militeristis pada masa
>lalu. Habibie juga menerima warisan bobroknya perekonomian negara dan moral
>politik bangsa dewasa ini. Sekarang Habibie adalah kambing hitam, dan Timor
>Timur dijadikan salah satu komoditas politik untuk menjatuhkan reputasinya
>sebagai calon presiden. Padahal Habibie harus bisa dijatuhkan tanpa ada kasus
>Timor Timur sekalipun. Dengan Habibie jatuh, maka pesaing calon presiden yang
>paling kuat tersingkir. Tetapi bagaimana nasib Timor Timur mendatang? Dan juga
>bangsa Indonesia? Apakah presiden terpilih yang mengecam dan 'menggantikan'
>Habibie akan 'mengembalikan' Timor Timur menjadi bagian Indonesia serta mampu
>membawa bangsa ini bangkit dari sakitnya sekarang ini? 
>Dulu Begitu saya keluar dari penjara Cipinang pada tanggal 26 Mei 1998
>dinihari, atas pertanyaan SCTV saya katakan, referendum atau penentuan nasib
>sendiri perlu dilaksanakan di Timor Timur. Semenjak itu saya mendapat kritik
>tajam dari masyarakat Indonesia, termasuk seorang guru Indonesia yang mengajar
>di Dili. Guru ini mengatakan, bahwa karena 'ulah' saya itu, maka murid-muridnya
>yang notabene adalah anak-anak Timor Timur tidak lagi hormat kepadanya. Bahkan,
>dia merasa hidupnya dalam bahaya. Telepon ke rumah juga berdering-dering
>mengingatkan kepada saya agar saya siap mati ditembak ABRI. Di Universitas
>Pancasila dalam sebuah dialog, saya dituduh seorang mahasiswa tidak berjiwa
>nasionalis dan telah membela Xanana Gusmao yang dianggapnya sebagai sosok
>pembunuh berdarah dingin. 
>Terhadap para pengritik tersebut saya bermaksud mengajak mereka mengingat siapa
>Soeharto sebenarnya: Apakah mungkin Soeharto yang menjadi 'penjahat' di
>Republik ini dan pembunuh rakyat di Tanjung Priok, Lampung, Aceh dan Irian Jaya
>tiba-tiba menjadi pahlawan di Timor Timur?! Saya yakin, sebagian rakyat mulai
>berpikir: sekali Soeharto penjahat, dia tetap penjahat. 
>Sebelum pulang dari lawatan ke Jerman (April 1995) bertepatan dengan
>demonstrasi terhadap Presiden Soeharto di banyak kota di Jerman, termasuk
>Dresden, saya masih belum tahu kekejaman Soeharto dengan rezim militernya.
>Dalam demonstrasi di kota Hannover, saya menyaksikan pembeberan kekejaman
>Soeharto di Aceh, Irian Jaya dan Timor Timur. Pers Barat, lewat bantuan Amnesti
>Internasional, tahu banyak tentang pembunuhan-pembunuhan terhadap rakyat sipil
>yang tak berdosa ini. Rakyat Indonesia sendiri di-black-out dari fakta-fakta
>tersebut. 
>Dari lawatan ke Jerman itu saya menjadi tahu bahwa masyarakat Barat meyakini
>lebih dari sejuta rakyat Indonesia terbunuh dalam 'peristiwa 1965'. Saya juga
>menjadi tahu, puluhan ribu rakyat Aceh dan Irian Jaya terbunuh. Kedatangan
>Soeharto di Jerman juga disambut dengan diulang-ulangnya pemutaran video
>peristiwa Santa Cruz yang memperlihatkan banjir darah di Bumi Loro Sae itu.
>Kalau Soeharto beserta rezim militernya tega membunuhi puluhan ribu rakyatnya
>di Aceh dan Irian Jaya, bisa dibayangkan berapa banyak rakyat Timor Timur yang
>mati selama pendudukan 23 tahun. Belum terhitung para prajurit kita yang
>dikorbankan demi memenuhi ambisi Soeharto yang tidak jelas. 
>Di Gedung Bulat Kejaksaan Agung, sebagai saksi terhadap Budiman Sudjatmiko dan
>kawan-kawan dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituduh memotori peristiwa
>27 Juli 1996 (siang dan malam hari, bukan yang pagi hari) terjadi dialog antara
>saya dan Jaksa Salim. Dia menanyakan pendapat saya tentang Timor Timur. 
>Seharusnya saya tidak perlu menjawab pertanyaan tentang opini ini. Tetapi,
>singkatnya saya katakan bahwa masalah Timor Timur tidak bisa dilepaskan dari
>sejarah kolonialisme. Sejarah kolonialismelah yang menyebabkan Kalimantan
>terbelah, Irian terbelah dan Timor terbelah. Kalau kita harus menuntut Timor
>Timur menjadi bagian RI, apakah Papua Nugini juga harus menjadi bagian RI? Dan
>apakah Brunei Darussalam juga harus menjadi bagian dari RI? Inilah bahaya yang
>dikhawatirkan oleh dunia internasional, kalau Soeharto dengan rezim militernya
>di OK 'mengambil' Timor Timur dengan kekerasan senjata. Belum lagi masalah
>kekejaman terhadap HAM yang terjadi di sana. 
>Memang sesuatu yang menyakitkan, bahwa sesama rumpun bangsa pada akhirnya harus
>berpisah sebagai akibat ulah para imperialis-kolonialis Barat pada masa lalu.
>Tetapi sekarang itu menjadi hukum internasional yang harus dipatuhi oleh semua
>negara dan pemimpin di dunia. Soekarno dan Hatta pun hingga menjelang munculnya
>Orde Baru tidak pernah mengklaim Timor Timur sebagai bagian dari RI atau yang
>akan dituntut masuk RI. 
>Banyak teori lain lagi, selain teori sejarh tersebut, yang saya sampaikan
>kepada Jaksa Salim, termasuk teori ras, teori 'duri dalam daging' (atau teori
>enclave) dan fobia komunis untuk menolak 'aneksasi' Timor Timur secara paksa.
>Tetapi kemudian Salim memutuskan untuk menghapuskan pertanyaan itu dari BAP. 
>Dan memang benarlah: Soeharto dengan rezim militernya telah mengakibatkan
>penderitaan lahir dan batin terhadap rakyat Timor Timur. Soeharto bukannya
>'merangkul' dan 'mengambil hati' rakyat Timor Timur untuk 'membebaskan' mereka
>dari trauma penjajahan Portugal dan melakukan pendekatan diplomatis dengan
>dunia internasional. Tetapi justru ia telah melakukan pendekatan kekerasan
>senjata yang kejam dan tidak berperikemanusiaan, yang bertentangan dengan
>prinsip-prinsip HAM, sehingga menimbulkan kebencian dan semangat kemerdekaan
>sekaligus! Betapa pun pemerintah Indonesia ikut membangun Timor Timur, bahkan
>dengan dana yang relatif berlebihan, dan betapa pun banyaknya para prajurit
>Indonesia yang gugur di sana, tetapi kekerasan senjata oleh pihak militer
>selama 23 tahun di Timor Timur tidak bisa dibenarkan. 
>Kalau Indonesia memang bermaksud menjadikan rakyat Timor Timur sebagai bagian
>dari bangsa Indonesia, maka sikap-sikap kekerasan, apalagi bersenjata, pasti
>merupakan sikap kontradiktif. Di sinilah kehadiran Indonesia selama 23 tahun di
>Timor Timur menjadi percuma, karena sikap militer Indonesia di sana tidak
>berbeda dari sikap penjajah. Dan kalau rakyat Timor Timur kemudian memilih
>untuk merdeka, itu bisa sangat dimengerti. Bukankah: Bahwa sesungguhnya
>kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
>atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
>perikeadilan? Kini Oleh sebab itu kelihatan sekali, bahwa kebijakan Soeharto
>terhadap Timor Timur sangat rancu, tidak punya pola, tidak strategis, bahkan
>tidak punya tujuan. Selama 23 tahun, masalah Timor Timur tidak pernah selesai!
>Lain dengan kebijakan pemerintah India terhadap Goa di pantai Barat India pada
>masa lalu. Dalam semalam, bomber-bomber India membikin Portugal lari tunggang
>langgang, dan Goa kembali ke pangkuan India. 
>Kegagalan Indonesia di Timor Timur tidak bisa dipisahkan dari militerisme rezim
>Soeharto. Demikian pula tidak bisa dipisahkan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI.
>Habibie sekadar menerima getahnya. Jenderal-jenderal Theo Syafei dan Try
>Sutrisno tidak berhak menyalahkan Habibie, karena mereka pulalah (juga
>Habibie!) pendukung militerisme Soeharto pada masa lalu. Bahkan kedua tokoh
>militer itu tidak bisa mencuci tangan mereka yang berlumur darah rakyat di
>Timor Timur dan di tempat-tempat lain di Indonesia. 
>Ketika memperingati hari HAM 10 Desember 1995 di ITS, atas pertanyaan seorang
>mahasiswa Timor Timur, saya mengatakan: Penyelesaian masalah Timor Timur harus
>dimulai dari penarikan mundur TNI hingga ke perbatasan. Semua senjata pembunuh
>harus dilucuti, dan keamanan Timor Timur digantikan oleh polisi, sebaiknya
>polisi lokal. Setelah keadaan aman, barulah didatangkan tim dari PBB untuk
>mempersiapkan referendum. Kalaulah referendum belum bisa dilakukan, maka untuk
>sementara pemberian otonomi secara luas bisa diberikan kepada Timor Timur.
>Otonomi luas ini adalah dalam kerangka otonomi untuk setiap provinsi di
>Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Pemikiran ini saya tulis kembali
>pada bulan Juli 1997 di penjara Cipinang memperingati hari aneksasi Timor
>Timur, 17 Juli. 
>Ternyata itu pulalah yang dilakukan Habibie dengan memberikan otonomi khusus
>dan dua opsinya. Habibie tidak samasekali keliru. Soehartolah yang salah.
>Doktrin ABRI dengan Dwi Fungsi ABRI dan militerismenyalah yang salah. The
>silent
>war di Timor Timur yang tidak pernah selesai telah menjadi beban berat bagi RI.
>Habibie justru mau mengoreksi kesalahan Soeharto (dan dirinya sebagai pembantu
>Soeharto pada masa lalu). Terlebih-lebih dengan adanya krisis moneter di mana
>Indonesia menjadi sangat tergantung pada dana internasional (IMF, World Bank).
>Di sini juga sekali lagi terlihat kesalahan besar rezim Soeharto yang selama 30
>tahun lebih menggantungkan nasib ekonomi Indonesia kepada orang asing. 
>Ketika bulan Januari 1999 Habibie menyampaikan dua opsinya (menerima otonomi
>khusus atau lepas dari RI) kepada dunia, bahkan tidak ada yang menentangnya.
>Pimpinan DPR diberitahu, tetapi menyerahkan kebijakan itu kepada pemerintah
>Habibie. Tetapi DPR tidak pernah menolak atau bahkan sekadar mempertanyakan.
>Pimpinan DPR tidak memanggil sidang DPR. Tidak ada perdebatan samasekali di
>DPR. Maklum, DPR kita sekarang ini adalah DPR-nya rezim Soeharto yang juga
>mengangkat Soeharto jadi Presiden ketujuh kalinya. 
>Demikian pula para politisi kita. Mereka sibuk mempersiapkan diri menghadapi
>Pemilu. Mereka sibuk mencari kekuasaan pasca Pemilu. Gus Dur menemui Xanana
>Gusmano dan menjanjikan kedudukan Menteri Luar Negeri, kalau PKB menang. Amien
>Rais menemui Xanana juga untuk mendukung PAN di Timor Timur. PDI Perjuangan
>juga tidak menentang opsi Habibie, selain menjanjikan kalau Megawati nanti
>menjadi Presiden, Timor Timur mau 'diambil' lagi. Janji PDI Perjuangan ini
>lebih gila lagi, karena kalau mau diwujudkan pasti akan menyulut perang
>kembali. 
>Semua partai besar itu juga tidak ada yang bereaksi atau menentang keputusan
>tripartit New York untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Juga tidak
>ada yang menentang dilakukannya jajak pendapat sebelum sidang MPR. Mereka salah
>kira, seakan-akan jajak pendapat pasti dimenangkan oleh kelompok integrasi. Di
>sini, sebagai politisi, mereka juga telah melakukan kesalahan prediksi yang
>besar! 
>Justru yang agak konyol dari pikiran Habibie pada waktu melemparkan opsinya itu
>adalah keharusan SU-MPR membuat pula ketetapan tentang nasib Timor Timur.
>Tetapi sekarang, pikiran tersebut bukan menjadi pikiran Habibie saja, tetapi
>sudah menjadi pikiran mereka yang mau menyalahkan Habibie karena kecewa dengan
>hasil jajak pendapat. Kalau MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat Indonesia
>masih harus menetapkan nasib Timor Timur, maka apakah hak menentukan nasib
>sendiri sebagai ekspresi jajak pendapat tersebut masih ada? Bukankah hak rakyat
>Timor Timur dan ketetapan MPR itu nantinya bisa menjadi dua hal yang
>kontradiktif? 
>Melihat kemungkinan adanya kontradiksi itu, maka jauh hari sebelum Pemilu dalam
>seminar-seminar tentang Timor Timur (antara lain yang diselenggarakan oleh
>Solidamor) saya sudah mengusulkan agar keputusan tentang jajak pendapat
>(referendum) dilakukan sebelum Pemilu, dan jajak pendapatnya sendiri
>diselenggarakan sebelum SU-MPR. Bahkan, saya mengusulkan agar Pemilu tidak
>diselenggarakan di Timor Timur. Semuanya ternyata terjadi hampir sesuai dengan
>usulan tersebut, kecuali soal perlucutan senjata dan Pemilu yang tetap
>diselenggarakan di Timor Timur. 
>Bahkan saya juga sudah menduga, hasil jajak pendapat akan menolak opsi otonomi
>khusus. Kenapa? Pertama, kekejaman rezim militer Soeharto terhadap rakyat Timor
>Timur. Jangankan rakyat Timor Timur yang statusnya masih di bawah PBB, rakyat
>manapun yang dikejami oleh penguasanya akan berontak dan memilih merdeka.
>Keinginan tersebut telah muncul di Aceh dan Irian Jaya. Bahkan daerah yang lain
>juga ikut menyusul minta merdeka. Betapapun intel-intel Indonesia berusaha
>mempengaruhi hasil jajak pendapat, mereka tidak akan kuasa melawan kehendak
>rakyat. Dendam rakyat Timor Timur yang dikejami selama ini tidak akan berpihak
>kepada integrasi. Kedua, ketidakmampuan pemerintah Indonesia mengatasi krisis
>ekonomi yang telah menyengsarakan rakyat Indonesia sendiri, menumbuhkan
>ketidakinginan rakyat Timor Timur untuk 'bergabung' dengan Indonesia. 
>Jajak pendapat sudah usai. Rakyat Timor Timur memilih lepas dari Indonesia.
>Lalu terjadi kerusuhan antara yang prointegrasi dan prokemerdekaan. Dan untuk
>memadamkan kerusuhan yang banyak membunuh rakyat Timor Timur perlu didatangkan
>pasukan penjaga perdamaian dari PBB dengan opsi bisa melakukan apa saja yang
>dianggap perlu. Sekali lagi, inipun bukan kesalahan Habibie. Ini adalah
>kelemahan perjanjian New York, dan termasuk kesalahan PBB khususnya Sekjen PBB
>Kofi Annan. Seharusnya, sebelum jajak pendapat dilakukan, Timor Timur harus
>dibersihkan dari segala senjata pembunuh. Memang ada indikasi, TNI ikut
>menyusup, membentuk dan mempersenjatai milisi-milisi Timor Timur, baik yang pro
>maupun yang kontra integrasi. Tetapi, PBB seharusnya bisa mengantisipasi
>kemungkinan terjadinya 'perang saudara' ini. Apa pun alasan TNI, ini semua
>merusak citra TNI dan Indonesia sendiri. 
>Esok Siapapun yang akan menjadi Presiden RI keempat, tidak akan mampu mengubah
>status Timor Timur. Mengingat hal ini, apa yang dilakukan Soeharto hampir 25
>tahun yang silam adalah percuma, sia-sia, bahkan sangat merugikan Indonesia.
>Sangat mungkin, jatuhnya ekonomi Indonesia didorong pula oleh biaya perang yang
>sangat besar di Timor Timur. Kalau Soeharto tidak melakukan invasi ke Timor
>Timur, maka sangat mungkin Timor Timur bersedia bergabung dengan Indonesia
>secara sukarela. Atau, mereka telah merdeka dan hidup berdampingan serta
>bersahaabt dengan RI dengan baik. Cita-cita itulah yang seharusnya kita
>hidupkan menghadapi hari esok. 
>Menggugat hasil jajak pendapat, baik di MPR maupun di luarnya, akan menimbulkan
>masalah baru yang pasti tidak akan selesai dalam jangka pendek. Terlebih-lebih
>tidak perlu menjadikan Timor Timur semacam Somalia, atau membelah-belah lagi
>Timor Timur. Pasukan PBB, TNI, pemerintah Indonesia dan Xanana Gusmao harus
>pula menyadari sepenuhnya situasi buruk yang mungkin bisa terjadi itu. Kalau
>itu terjadi, maka rakyat juga yang nantinya akan menjadi korban. Dan Indonesia
>akan semakin terpuruk dengan beban ekonomi dan lain-lain yang sangat berat. 
>Dalam kesempatan mengunjungi Xanana Gusmao sebelum dia dibebaskan, saya masih
>mengingatkan kembali apa-apa yang pernah kami bicarakan di Cipinang. Kami
>membayangkan bangsa Timor bisa hidup berdampingan secara kekeluargaan. Memang
>ada batas antara Timor Timur dan Timor Indonesia. Tetapi batas itu hanyalah
>berupa beberapa check points untuk mengatur lalu lintas orang dan barang dari
>kedua wilayah. Ada warganegara Indonesia yang menjadi penduduk tetap di Timor
>Timur. Demikian pula sebaliknya. Mereka pada hakikatnya sebuah keluarga besar
>Timor. Mereka hanya terpisah karena sejarah kolonialisme masa lalu. 
>Dalam kampanye Pemilu kemarin, bahkan saya bayangkan sekiranya sebuah Negara
>Federasi antara RI, Timor Timur, Papua Nugini, Brunei Darussalam, Malaysia,
>Singapura dan Filipina. Atau sekaligus pula dengan negara-negara Indocina?
>Bukankah Nusantara (sebagai Negara Serikat) sangat mungkin menjadi kenyataan?!
>Dan Indonesia menjadi big brother-nya?! 
>Pengalaman dengan Timor Timur dan 'lepasnya' Timor Timur harus bisa menjadi
>pelajaran bagi Indonesia dan ABRI. Militerisme rezim Orde Baru harus dihapus.
>Dwi Fungsi ABRI harus dihapus. Angkatan Kepolisian betul-betul harus terpisah
>dari TNI. Masing-masing harus kembali kepada profesionalismenya. Operasi
>militer di Aceh dan Irian Jaya dan tempat-tempat lain harus dihentikan. Tugas
>militer hanyalah pertahanan negara untuk melawan musuh asing, bukan melawan
>rakyat sendiri. Demikian pula keamanan dan ketertiban umum harus bisa
>ditegakkan oleh polisi tanpa campur tangan senjata pembunuh. Kalau itu tidak
>segera dilakukan, maka Aceh dan Irian Jaya akan 'lepas' sebagaimana Timor
>Timur. 
>Tetapi itu saja tidak cukup. Provinsi-provinsi harus didorong untuk menjadi
>daerah otonom yang penuh dan luas, secara politis, ekonomis, sosial dan budaya.
>Bukan untuk Aceh dan Irian Jaya saja, tetapi untuk seluruh provinsi. Mungkin
>Aceh yang pertama, disusul dengan Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah
>dan Jawa Timur), lalu Irian Jaya dan daerah-daerah lain. Semuanya harus selesai
>dalam jangka waktu singkat, maksimum lima tahun ke depan. 
>Tugas pemerintahan baru nanti juga sangat berat, yaitu memulihkan perekonomian
>dan perpolitikan yang amburadul seperti sekarang ini. Republik ini membutuhkan
>pemerintahan yang kuat, dengan seorang pemimpin yang kuat dan yang mempunyai
>visi reformasi yang kuat pula. Kalau tidak ada reformasi, mahasiswa dan rakyat
>akan turun ke jalan lagi untuk menggulingkan pemerintahan yang lemah itu,
>seperti apa yang terjadi pada 21 Mei 1998 yang lalu. 
>
>
>
>
**********************************
School of Biological Sciences A08
The University of Sydney, NSW 2006
AUSTRALIA
Ph: (61 2) 93512932
Fax: (61 2) 9351 4119
**********************************
Visit Fish Ecology Lab on the Web:
http://www.wallace.bio.usyd.edu.au/current/index.html

Kirim email ke