Bung DavidG,

Saya tidak bisa mengakses langsung file itu dari komputer saya, sehingga
harus minta tolong teman dari bagian perpustakaan/komputer D&R untuk
mencarikannya.

Inilah bahan yang berhasil ia temukan. Tulisan soal Serikat Buruh Australia
ini adalah lebih dalam konteks membela Muchtar Pakpahan, tokoh SBSI (Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia), jadi tidak dalam konteks kemerdekaan Indonesia
1945. Jadi saya kirim saja dua artikel sekaligus.

Satrio
(kebetulan mantan aktivis SBSI juga)

Solidaritas atau Intervensi?

Buruh pelabuhan Australia memboikot kapal yang memuat produk dari dan untuk
Indonesia. Apakah mereka berhak mencampuri urusan dalam negeri orang lain?

PERISTIWA 27 Juli yang menyebabkan ditangkapnya beberapa orang, termasuk
Muchtar Pakpahan, tidak hanya bergaung di dalam negeri. Puluhan protes
diluncurkan ke pemerintah Indonesia dari berbagai lembaga dan pemerintahan
asing. Salah satu protes yang diikuti dengan tindakan langsung datang dari
para buruh pelabuhan Australia, sebagai rasa simpati terhadap tokoh buruh
Indonesia itu serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di
sini.

Para buruh pelabuhan yang tergabung dalam Maritime Union of Australia (MUA)
itu, Rabu pekan lalu, menggelar aksi boikot terhadap kapal yang memuat
barang dari dan untuk Indonesia. Pemboikotan itu adalah sebagai rasa
solidaritas terhadap Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI),
Muchtar Pakpahan, dan Dita Sari dari Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Yang menjadi korban boikot itu adalah kapal Bogasari Empat milik taipan Liem
Sioe Liong alias Sudono Salim, salah seorang pengusaha terkaya di dunia asal
Indonesia, yang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh penting di negeri ini.
Akibat boikot di Fremantle, Australia Barat, kapal itu tidak dapat mengisi
gandum yang akan dibawa ke pabrik terigu Bogasari Flour Mills, Indonesia.

Namun, aksi boikot itu hanya berlangsung sehari. Pada hari berikutnya, para
buruh pelabuhan itu kembali bekerja mengisi komoditas tersebut ke kapal
Bogasari. Aksi itu pun hanya lokal, tidak menjalar ke daerah-daerah lain di
Negeri Kanguru itu. Padahal, MUA merencanakan aksi boikot itu dilakukan
berantai di pelabuhan-pelabuhan lain pada waktu-waktu tertentu.

Sekretaris Nasional MUA, Vic Slater, mengatakan boikot buruh pelabuhan
Australia itu merupakan bagian dari aksi yang dicanangkan International
Transport Federation (ITF). Target organisasi perburuhan internasional yang
memiliki anggota sebanyak 5 juta orang itu memang bukan untuk menghentikan
pelayaran ke dan dari Indonesia, melainkan hanya menghambat, sebagai
pernyataan sikap politiknya.

MUA melihat Muchtar Pakpahan adalah figur gerakan buruh independen yang
memperhatikan kepentingan-kepentingan orang kecil, yang sering tertindas
oleh majikannya. Apa yang telah dilakukan Muchtar mendapat respons baik dari
berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. "Muchtar Pakpahan adalah pemimpin
serikat buruh  yang moderat dan independen," ujar Slater.

Walau begitu, aksi boikot MUA ternyata kurang mendapat dukungan dari pihak
pemerintah John Howard. Menurut Menteri Perindustrian, Peter Reith,
peristiwa itu akan mengganggu kemitraan dagang kedua negara dan bertentangan
dengan kepentingan nasional negara itu.

Indonesia jelas tidak bisa menerima aksi boikot itu. Wakil Ketua Umum Kamar
Dagang dan Industri Indonesia Bidang Perdagangan dan Hubungan Luar Negeri,
Husein Aminullah, menggugat sikap Australia yang mencampuradukkan masalah
politik dengan ekonomi. "Itu kan tidak pada tempatnya. Maka, saya imbau
mereka yang mengimpor barang dari Australia agar mencari pasar di tempat
lain," katanya.

Aminullah merasa yakin aksi boikot yang relatif kecil tidak ada artinya
dalam hubungan dagang antara Indonesia dan Australia. Pemerintah Australia,
katanya, tidak akan membiarkan aksi semacam itu berlangsung berkepanjangan.
"Australia sendiri berkepentingan menyehatkan perekonomiannya melalui
hubungan dengan negara lain," kata Aminullah, yang juga menjabat sebagai
Direktur Kompanyon Lembaga Arbitrase Perkapasan Internasional itu.

Konon, Perdana Menteri Howard sudah mengetahui rencana aksi boikot oleh
buruh pelabuhan tersebut. Karena itu, tak mengherankan jika pemboikotan itu
sengaja dilakukan tidak lama setelah Perdana Menteri Australia tiba di
Jakarta. "Boikot dilakukan setelah Howard gagal menekan pemerintah Indonesia
mengenai masalah hak asasi manusia dan soal-soal demokrasi dalam
pembicaraannya dengan Soeharto," kata Slater menegaskan.

Aksi boikot yang dilakukan buruh Australia terhadap Indonesia bukan yang
pertama. Tahun lalu, aksi serupa dilakukan pada produk penyulingan minyak ke
Indonesia yang jumlahnya cukup besar, yaitu sekitar A$ 282 juta atau sekitar
Rp 450 miliar. Menurut analis di Australia, aksi boikot dapat mengancam
perdagangan atau ekspor negara itu ke Indonesia, yang mencapai Rp 4,5
triliun per tahun.

Dalam perjalanan sejarah, hubungan buruh Australia dengan perjuangan
kemerdekaan Indonesia sangat baik. Perserikatan buruh pelabuhan Australia
pada tahun 1945 pernah memboikot kapal-kapal Belanda. Aksi itu terus
menjalar ke Selandia baru, London, India, dan Timur Tengah. Aksi solidaritas
yang sama juga dilakukan buruh Australia ketika tokoh kemerdekaan dan
pencetus ide republik Indonesia, Tan Malaka, mendapat rintangan untuk masuk
ke Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda ketika itu terus melancarkan aksinya
untuk menangkap Tan Malaka, yang dianggap membahayakan kelangsungan
pemerintahan kolonial.

Ada kemungkinan aksi boikot itu akan diikuti oleh serikat-serikat buruh dari
negara lain. Menurut pengakuan M. Luthfie Hakim dari SBSI, mereka sudah
mendapat 93 surat dari pemerintah, kongres,maupun serikat buruh dari
berbagai negara. Sebagian dari mereka mengancam akan melakukan aksi seperti
itu.

Laporan Rachmat H. Cahyono dan Gita F. Lingga


p&A
-------
Air Jernih kalau Diubek-ubek Akan Keruh Juga

Sabtu pekan lalu, 21 Desember, Muchtar Pakpahan merayakan sendiri ulang
tahunnya yang ke-43 di selnya dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta
Timur. Istrinya, ketiga anaknya, dan ibunya baru bisa mengunjunginya sehari
kemudian. Tampaknya, perayaan ulang tahun Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) ini pada tahun-tahun mendatang akan dihabiskan di belakang
terali besi. Hukuman mati mengancamnya dalam kasusnya sekarang. Ia pun masih
harus menjalani hukuman karena Kasus Medan, yang peninjauan kembali (PK)-nya
sudah dibatalkan Ketua Mahkamah Agung (MA) Soerjono. Dalam kasus buruh itu,
lelaki kelahiran Pematangsiantar ini divonis empat tahun penjara.

Segala kemelut itu dihadapi Muchtar beserta keluarganya dengan santai.
Seringnya anak petani miskin ini berurusan dengan aparat keamanan rupanya
membuatnya tabah. Tapi, apa yang sebenarnya dirasakan laki-laki berperawakan
sedang ini, hanya ia sendirilah yang tahu. Untuk mengetahuinya, M. Husni
Thamrin dari D&R mewawancarainya di sela-sela persidangannya. Berikut
petikannya.

Apa komentar Anda tentang persidangan ini?
Persidangan kasus saya adalah peradilan pemikiran atau gagasan. Gagasan
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen adalah
karena keadaan sekarang belum melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Peradilan pemikiran yang terbesar pernah dihadapi oleh
Socrates dan Galileo Galilei.
Tuduhan untuk Anda sudah bergeser dengan menjadikan buku Anda sebagai dasar
penuntutan. Bagaimana komentar Anda?
Mulai tahun 1990, saya mengadakan penelitian untuk disertasi saya. Dalam
penelitian itu, saya menemukan dua hal penting. Pertama, DPR tidak
melaksanakan fungsinya dengan optimal. Hambatan utama adalah empat
undang-undang (UU) di bidang politik, yaitu UU No. 16/1969, UU No. 15/1969,
UU No. 3/1975, dan UU No. 8/1985. Keempat UU itu tidak sejiwa dengan UUD
1945. Karena itu, saya sarankan keempat UU tersebut diubah agar cocok dengan
UUD 1945. Disertasi itu sudah terbit dengan judul DPR Semasa Orde Baru, yang
diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

Kedua, ada 30 UU yang bertentangan dengan UUD 1945 atau rasa keadilan.
Padahal, 30 UU itulah yang menghasilkan sistem politik, sistem sosial, dan
sistem ekonomi. Hasilnya, Indonesia bukan makin dekat dengan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Kesenjangan ekonomi semakin menganga,
tidak ada kepastian hukum, terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dan belum
demokratis. Untuk menjawab pertanyaan beberapa perwira ABRI, saya tuliskan
gagasan itu dalam buku Menuju Perubahan Sistem Politik Menurut UUD 1945. Di
luar dugaan saya, terjadi Kasus Medan pada April 1994. Ketika saya baru
ditangkap dan masuk penjara, banyak wartawan yang menanyakan apa benar saya
hendak machtvorming, menggulingkan Presiden Soeharto. Kepada para wartawan,
saya jawab, saya adalah Kristen yang memahami Roma 13 dan 1 Timotius 2:2,
tapi saya juga harus menjadi Jeremia dan Yehezkiel, menyampaikan suara
Nabiah, peringatan kepada pemerintah. Saya tulislah buku Potret Negara
Indonesia.
Apa benar Anda memang berniat melakukan reformasi atau revolusi seperti yang
dikatakan jaksa penuntut umum?
Saya ingin Indonesia menjadi bangsa yang besar, masyarakatnya
berkesejahteraan, berkeadilan, dan berkemakmuran. Untuk itulah saya suarakan
perubahan dan pembaruan secara reformasi. Saya  tidak setuju revolusi. Kalau
lahir revolusi, bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran dan rakyat akan
menajdi korban. Itulah yang saya minta dilakukan pemerintah dan kuncinya ada
di Pak Harto. Kalau perubahan dan pembaruan tidak kita lakukan dengan
reformasi, kita terus tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Kesenjangan ekonomi semakin menganga, maka revolusi akan
terjadi.
Anda yakin reformasi tersebut dapat terlaksana?
Mengenai reformasi, suatu ketika akan berlangsung di Indonesia. Sebab, saya
yakin, suatu ketika Pancasila dan UUD 1945 akan dilaksanakan secara murni
dan konsekuen di bumi Indonesia. Kalau tidak, revolusi akan terjadi dan
terlalu besar taruhannya. Indonesia bisa pecah seperti Rusia dan Yugoslavia
dan kepala negara bisa seperti Marcos, Caucescue, atau Ali Bhutto. Keyakinan
saya yang lain adalah kebenaran dan keadilan pasti tegak. Entah kalau
pemerintah hendak berkeras mengatakan 30 UU itu sudah konsekuen dan murni
menurut UUD 1945. Kalau begitu, pemerintah menipu rakyat dan membohongi
Angkatan '66 dan ABRI, yang melahirkan Orde Baru.
Apa komentar Anda tentang tuduhan yang diajukan oleh jaksa?
Tanggal 30 Juli 1996 pukul 23.00, saya ditangkap. Alasan penangkapan
sehubungan dengan perkara Budiman Sudjatmiko. Dalam pemeriksaan awal, 31
Juli dan 1 Agustus, yang diperiksa adalah keterlibatan 27 Juli 1996
(Peristiwa Kelabu Jakarta); dan Pangab mengatakan kami di belakang Peristiwa
27 Juli 1996. Padahal, rakyat mengetahui, Drs. Soerjadi yang didukung aparat
keamanan-lah yang membuat Peristiwa 27 Juli 1996. Kemudian, pemeriksaan
pertengahan September bergeser ke SBSI yang diperiksa subversi. Lalu,
pertengahan Oktober, yang diperiksa adalah buku Potret Negara Indonesia.
Karena itu, saya katakan, Jaksa Agung mengubek-ubek alias mencari-cari
kesalahan. Air jernih pun kalau diubek-ubek akan keruh juga.
Mengapa Anda terlihat pasrah dan menyerah dalam kasus ini?
Ada kesan bahwa saya pasrah dan menyerah dalam kasus ini. Saya ingin
menyerahkan kasus ini untuk diadili secara tenang dalam suasana damai.
Walaupun saya agak pesimistis dengan kemandirian hakim, rakyat mengikuti
perkara ini. Siapa yang bohong, siapa yang jujur, dan siapa yang benar akan
dinilai rakyat. Karena itu, saya anjurkan agar rekan-rekan buruh tidak
melakukan unjuk rasa, sebab terlalu besar taruhannya.
Bagaimana Anda menyusun eksepsi?
Dalam suasana terbatas dan terkekang, saya mempersiapkan pembelaan saya dan
eksepsi saya sebaik mungkin.
Apa saja bentuk dukungan International Confederation of Free Trade Union
(ICFTU) kepada Anda dalam kasus ini?
ICFTU dan World Council of Labour adalah dua organisasi buruh di dunia yang
berpengaruh di International Labour Organization (ILO). Gerakan buruh yang
bernaung di dua wadah itu diikat oleh solidaritas. Karena itu, keduanya
otomatis melakukan dukungan kepada saya, sebagai pemimpin buruh yang
mengalami tekanan dari pemerintahnya karena berjuang dari buruh. Upaya yang
mereka lakukan adalah menekan pemerintah dan menggalang sikap ILO sebagai
badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Maukah Anda mendesak mereka untuk melakukan tekanan kepada pemerintah
Indonesia?
Beberapa serikat buruh sangat berperan di negaranya, seperti Australia
Council Trade Union, Rengo di Jepang, America Federation of Labour-Congress
of Industrial Organizations, FNV/CNU di Belanda, CSC di Belgia, DBG di
Jerman, Trade Union Congress di Inggris, LO di Swedia dan Norwegia, serta
SAK di Finlandia. Serikat-serikat buruh itu mendesak pemerintahnya melakukan
tekanan ke Indonesia. Dalam rangka itulah para diplomat selalu hadir dalam
persidangan saya.
Bagaimana bila kasus ini dibawa ke lembaga internasional?
Kasus ini otomatis akan menjadi bahan pembicaraan di badan internasional,
seperti ILO, ICJ, dan mungkin PBB. Bagi saya, tetap yang terbaik adalah kita
selesaikan soal kita dengan mekanisme yang tersedia. Saya mengajak agar
makin banyak orang meyakinkan Pak Harto bahwa perubahan adalah yang terbaik.
Kalau tidak berani menyuarakannya, minimal mendoakannya, agar Tuhan yang
membisikkannya kepada Pak Harto. Dalam hal ini perlu saya tegaskan: saya
tidak membenci Pak Harto, tapi saya akan mengkritik kebijakan yang salah
menurut Pancasila dan UUD 1945.
Apakah Anda tetap mengikuti perkembangan SBSI dari dalam penjara?
SBSI adalah organisasi buruh yang tidak bergantung pada saya sendiri. Karena
itu, walaupun saya sedang dalam penjara, SBSI tetap jalan di bawah
pengorganisasian DPP-SBSI
Apa yang terjadi pada keluarga Anda bila Anda benar-benar dihukum subversif?
Keluarga saya tetap tidak yakin saya akan dihukum subversif. Istri dan
anak-anak saya telah mempersiapkan diri sekiranya itu terjadi. Doa keluarga
saya, istri, anak, ibu mertua, dan saudara adalah agar pemenjaraan saya ini
menjadi sumber berkat bagi bangsa Indonesia, khususnya rakyat kecil, seperti
buruh, dan kemuliaan bagi Tuhan. Yang jelas, berdasarkan Pasal 2 dan 3 Tap.
MPR No. V/MPR/1973, UU No. 11/PNPS/1963 termasuk yang dicabut karena
induknya, Manipol, sudah dicabut.
Bagaimana perkembangan kasus PK Anda dalam peristiwa Medan?
Saya akan mengajukan PK terhadap Putusan MA No. 55 PK/Rid/1996. Berdasarkan
Pasal 263 (1) KUHAP, saya mempunyai hak untuk itu. Yang jelas, Putusan MA
No. 55 PK/Rid/1996 menambah fakta ketidakpastian hukum dan Soerjono untuk
kesekian kalinya merusak citra MA.



-----Original Message-----
From:                   [EMAIL PROTECTED]
Sent:                   Tuesday, September 21, 1999 10:34 AM
To:                     Multiple recipients of list
Cc:
Subject:                        minta informasi



Mas Satrio yg baik,

Saya minta bantuannya Mas Satrio yg saya kira kerja di
Majalah D & R. (Kalau saya keliru, maaf, permintaan
ini dicuekin aja).

Bisa  nggak, Mas Satrio sampaikan sebuah artikel dari
Majalah D&R (Maaf, judulnya saya nggak
ngerti)bertanggal 28 September, 1996, hal.16? Isinya
tentang Serikat Buruh Australia dan perjuangan
Kemerdekaan Indonesia.

Saya cari di Internet, tapi nggak bisa temukan.

Kalau repot, ya, nggak usah. Nggak apa-apa. Tapi kalau
Mas Satrio bisa, saya akan berterima kasih banyak.

Salam,
DavidG
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Bid and sell for free at http://auctions.yahoo.com

Kirim email ke