Teman-teman Indoz-net semua,
Dalam Editorial Media Indonesia hari ini yang mengulas tentang
Pidato Pertanggungjawaban Presiden Habibie tadi malam di-
bawah ini, terdapat suatu rangkaian kata yang sangat indah bagi
saya pribadi, terbaca demikian: "......Telanjang dalam kejujuran
itu menjadi sangat penting,...." Selamat membaca dan semoga
ada manfaatnya (YLH).----------------------------------------------
EDITORIAL: Moral Sebuah Pertanggungjawaban
Media Indonesia - Berita Utama (10/15/99)
PERISTIWA hebat bagi bangsa ini terjadi kemarin.
Di dalam Gedung MPR Presiden Habibie menyampaikan
pidato pertanggungjawaban, di luar gedung ribuan
massa protes, bahkan dengan bom molotov. Di dalam
gedung berkumandang intonasi dan angka-angka
keberhasilan, seraya sesekali disambut tepuk
tangan. Sementara di luar, kemarahan memuncak.
Sebuah paradoks, sebuah ironi. Bahkan, sebuah
tragedi bernegara seakan mengancam kita.
Bagaimana semua itu harus dibaca?
Sesungguhnya, bukan sekali ini, Presiden Republik
ini menyampaikan pidato pertanggungjawaban.
Tetapi yang sudah-sudah, lebih sebagai proforma.
Bahkan mirip basa-basi kenegaraan. Ia telah
diterima bahkan sebelum dibacakan di hadapan
wakil rakyat. Sebaliknya, yang sekarang, belum
lagi didengar telah ada yang menolaknya.
Inilah buah kebebasan, buah reformasi. Orang
bebas berpendapat, orang bebas merasakan, dan
orang bebas untuk percaya atau tidak percaya
kepada verbalisme sebuah pidato
pertanggungjawaban. Sebab, orang bebas membuat
catatan-catatannya, yang dikutip dari kehidupan
nyata sehari-hari. Entah itu menyangkut Timor
Timur, pemberantasan KKN, atau reaksi pasar yang
negatif, dan soal-soal lain.
Tetapi apa pun tanggapan yang besok akan
disampaikan oleh wakil rakyat atas
pertanggungjawaban itu, satu soal adalah jelas.
Yaitu, perlunya rasa hormat kepada asas
akuntabilitas. Demokrasi macet selama ini antara
lain karena kekuasaan tidak mengenal asas
akuntabilitas. Sebab, Presiden terlalu jauh nun
di atas sana untuk dapat dibedah oleh
prinsip-prinsip moral akuntabilitas. Karena itu,
apa pun, dan bagaimanapun, pertanggungjawaban
substansial harus disampaikan. Ia harus dibuka di
hadapan rakyat. Bukan untuk melihat bobot
politiknya, tetapi bobot argumentasinya, bobot
alasannya. Terutama, apakah substansinya jujur,
bohong, benar, ataukah penuh lipstik semata.
Harus ada argumentasi, tentu, tetapi juga moral
sebuah pertanggungjawaban.
Dari perpektif itu, kiranya pidato
pertanggungjawaban seorang presiden harus
dijadikan semacam moment of naked. Moment
telanjang, dalam zaman yang sudah berubah, yang
menuntut transparansi penuh. Telanjang dalam
kejujuran itu menjadi sangat penting, terlebih
karena Habibie sendiri sangat berambisi, dan pula
telah dicalonkan oleh Golkar untuk menjadi
presiden kembali. Karena itu, inilah momen yang
mengandung beban sejarah, yang harus dilewati
oleh para wakil rakyat dengan penuh keberanian
sejarah pula.
Moral akuntabilitas ialah bahwa kekuasaan memang
cenderung korup. Karena itu, ia menuntut adanya
mekanisme checks and balances, pengawasan dan
penyeimbang. Dan, puncaknya, pada akhir
kekuasaan, ada pertanggungjawaban yang tuntas.
Yaitu, kekuasaan berasal dari rakyat, dan harus
dikembalikan kepada rakyat.
Maka, di sinilah moral para wakil rakyat di
Gedung MPR itu diuji. Apakah mereka memang orang
yang pantas mendapatkan kehormatan, yaitu
dipercaya oleh rakyat. Dipercaya menguji
kejujuran atau kebohongan sebuah
pertanggungjawaban. Itulah inti prinsip
akuntabilitas yang diwakilkan kepada parlemen.
(saur)