At 07:38 PM 20/10/1999 +1100, you wrote:
>;-)
>
>Ada yg punya, anybody?
>
>Yw.
>



http://www.republika.co.id/9910/20/28281.htm

KH Abdurrahman Wahid

Kemungkinan dukungan suara dari anggota fraksi:FPDI-P, FPG, FPPP, FPKB,
F-Reformasi, FPDU, FPDKB, FUG

Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, 4 Agustus 1940. Ayahnya, KH Wahid Hasyim
adalah anak pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Asy'ari. Ibunya, Hj
Sholehah juga merupakan keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Sansuri. Ketika
kecil, Gus Dur -- demikian ia biasa dipanggil -- sempat bercita-cita menjadi
anggota ABRI. Namun, keinginannya itu kandas di tengah jalan karena sejak
berusia 14 tahun ia sudah harus memakai kacamata minus.

Menyelesaikan SD di Jakarta, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama di Yogyakarta hingga lulus pada tahun 1957. Selepas
itu, Gus Dur memasuki dunia pendidikan agama secara intensif. Mula-mula ia
menimba ilmu agama selama sekitar dua tahun di Pesantren Tegalrejo
(Magelang) di bawah bimbingan Kiai Chudori. Selanjutnya di Pesantren Tambak
Beras (Jombang), Gus Dur bekerja sambil meneruskan pendidikan di pesantren
sebagai santri senior. Bagi Gus Dur, kehidupan pesantren tentu saja bukan
hal yang baru. Sewaktu kecil, ia sudah diajar mengaji dan membaca Alquran
oleh kakeknya di Pesantren Tebuireng (Jombang).

Salah satu kesenangan Gus Dur yang terus 'diidapnya' hingga sekarang adalah
mendengarkan musik klasik Barat. Kebiasaan ini berawal sejak usia SD dari
pengalamannya mengikuti les privat bahasa Belanda. Untuk menambah pelajaran
bahasa Belanda, gurunya kerap memutarkan lagu-lagu klasik Barat.

Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah
haji, sekaligus untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar di Kairo.
Selama di sana ia tinggal bersama para pelajar asal Indonesia dan sempat
menjadi Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir. Saat di luar negeri
itu jugalah Gus Dur melangsungkan 'pernikahan jarak jauh' dengan Siti
Nuriah. Pasangan ini kemudian dikaruniai empat orang putri: Alissa
Munawarah, Arifah, Chayatunnufus, dan Inayah.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, pada tahun 1966 Gus Dur pindah
ke Baghdad, Irak. Di sana ia masuk Department of Religion di Universitas
Baghdad dengan mengambil spesialisasi ilmu sastra dan humaniora. Dari
Baghdad, Gus Dur meneruskan pengembaraan akademisnya ke sejumlah negara
Eropa, dari satu universitas ke universitas lainnya. Terakhir, ia tinggal di
Belanda selama sekitar enam bulan, dan sempat mendirikan Perkumpulan Pelajar
Muslim Indonesia dan Malaysia.

Sekembalinya di Tanah Air, pada tahun 1971 Gus Dur bergabung dengan Fakultas
Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari. Di universitas kota kelahirannya itu,
Gus Dur mengajar teologi dan beberapa ilmu agama. Selanjutnya sejak tahun
1974 ia dipercaya sebagai sekretaris pesantren Tebuireng. Berbarengan dengan
itu, nama Gus Dur mulai dikenal orang melalui tulisannya di berbagai surat
kabar, majalah, dan jurnal.

Kiprahnya di dunia politik dimulai sekitar awal 1980-an, ketika ia mulai
banyak bersinggungan dan secara terbuka menawarkan ide-ide tentang
pluralisme, demokrasi, HAM, dan lain-lain. Tindakan politiknya semakin
kentara sejak ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di
Situbondo -- justru ketika NU ditetapkan kembali pada khittah 1926, yang
berarti NU menarik diri dari dunia politik praktis. Hal ini bisa terjadi
karena memang dengan khittah itulah hubungan NU dengan pemerintah Orde Baru
yang semula tegang menjadi cair. Melalui peran Gus Dur pula NU menjadi ormas
Islam pertama yang menerima pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kemudian hubungan Gus Dur
dengan pemerintah kembali merenggang karena sikap kritisnya terhadap
pemerintahan Soeharto, posisinya sebagai Ketua Umum PBNU tetap dapat
dipertahankannya selama dua kali muktamar berturut-turut, yaitu pada tahun
1989 dan 1994.

Oleh sebagian orang, gagasan-gagasan dan tindakan Gus Dur kerap dipandang
sebagai ide kontroversial dan mengejutkan, tak jarang pula melawan arus.
Sekali waktu, Gus Dur menggagas untuk mengganti salam assalamu'alaikum
dengan selamat pagi -- gagasan yang kontan mendatangkan sergahan dari umat
Islam. Pada lain waktu, Gus Dur mengejutkan banyak orang melalui
kunjungannya ke Israel pada tahun 1994, justru ketika masyarakat banyak
menyoroti kelicikan negeri tersebut terhadap nasib rakyat Palestina. Bahkan,
sepulangnya dari sana Gus Dur menyarankan agar pemerintah membuka hubungan
diplomatik dengan Israel. Belakangan, Gus Dur seolah memantapkan gelarnya
sebagai tokoh kontroversial ketika ia justru beberapa kali menyambangi
Soeharto setelah penguasa Orde Baru itu lengser. Kontroversi lainnya, ia
dicalonkan sebagai presiden bukan oleh PKB yang dideklarasikannya, tapi
justru oleh beberapa partai Poros Tengah.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 20 Oct 1999 jam 06:59:12 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke