'keresahan hati' den jiyo atawa den jiyo pulkam den jiyo, suaminya dik jinah itu mudik kemarin, numpak [red.: naik] bis maju lancar. kepulangannya ke wonosari karena pertama-tama kantornya den jiyo diliburken agar kalau kerusuhan di hotel ha i itu meluber, tidak membawa-bawa karyawan di kantornya den jiyo. alasan yang kedua, den jiyo mudik sekalian untuk berbagi rasa dengan sang belahan jiwa karena kantor koperasinya dik jinah mendapatken anugerah upakarti, gitu pesan pager yang cemanthel [red.: bertengger] di ikat pinggangnya den jiyo. 'lho...den jiyo.... kapan den, pulang?' gitu sapa yu senik melihat den jiyo kledang-kledang [red.: maaf pembaca, saya tidak tahu terjemahannya] memasuki 'tenda' nasgithelnya. sengaja kata 'tenda' ditaruh di antara tanda kutip karena memang tenda yu senik bukanlah tenda semacam yang dipakai oleh para selebritis yang membuka kafe tenda. kafe eh tenda yu senik sebenarnya cuma emperan seng depan warungnya bu darso dan di bagian depan warungnya ditutup dengan kain iklan rokok cap minakjinggo. 'tadi pagi, mbakyu,' begitu jawab den jiyo. yu senik tidak pernah mengerti kenapa sekulmet [schoolmate] nya ini sejak menyunting bunga kelas sosdor, begitu kelas sosial empat es em a nya dulu selalu disebut, selalu menyapanya dengan 'mbakyu' dan 'panjenengan'. menurut ngelmu bahasa yang dipelajarinya di jurusan bahasa di es em a nya dulu, pemanjang panjangan kata atau kalimat dalam bahasa jawa biasanya dilakukan oleh kelompok menak alias priyayi yang berbudaya adi luhung. barangkali den jiyo, cucunya eyang mantri guru darna ini, tengah mengamalken ngelmunya: menguri uri [red.: melestariken] daripada kebudayaan [priyayinya yang] adiluhung. sebaliknya, meskipun yu senik selalu memanggilnya dengan sebutan 'den', waktu sama sama di es em a dulu dia menyapanya dengan 'kowe'. ketika den jiyo menyunting bunga kelas sosdor, dia menyapanya dengan 'sampeyan'. di telinga yu senik, sapaan 'sampeyan' terasa lebih akrab dan hangat. 'kok pulang? apa sampeyan tidak memberikan dukungan moral babon sampeyan yang menjagoken diri jadi presiden?' 'ah... sudah jelas keok, gitu lho mbakyu. negara kita itu memang absurd kok mbakyu. lha rak ya baru di negara kita ini toh, pemenang pemilu hampir saja tidak mendapatken apa-apa? itu absurd, kan?' yu senik yang biasanya bisa ceplas ceplos sama terhadap 'keanehan' yang dia jumpai pada mas amatnya, kali ini mencoba menahan diri untuk tidak komentar. justru karena dia tengah bicara dengan den jiyo. 'absurd, ki ya gek panganan apa maneh seh.... [red.: absurd itu apa sih]', begitu komentar yu senik dalam hati. tapi dasar yu senik, usahanya untuk tidak mengusili den jiyo, bertransformasi ke bibir dan wajahnya. mendengar kata 'absurd', lambenya menjembrengkan [red.: merekah?] senyuman yang pelit nan mahal. 'tapi den, tadi pagi babon sampeyan itu katanya jadi orang nomer dua di respublik ini... lha nanti kalo sampeyan tiba-tiba ditelepon sama pak presiden atawa ibu wakil presiden untuk dijadiken daripada menteri, gimana?' 'ah...panjenengan ini lho. kok bisa bisanya. guyonan panjenengan yang kayak gini ini mengangeni tenan [red.: sungguh bikin kangen, rindu] lho mbakyu. kadang-kadang saya itu mikir lho: kok panjenengan mung trima jadi bakul nasgithel. kalau panjenengan itu ngikut dhagelannya sri mulat atau miing, kan panjenengan bisa jadi sripanggung [red.: primadona] toh?' 'walah... den, dhagelan pirang-pirang [red.: banyak sekali] pada bangkrut, kalah sama tok so [talk show], kok dipengini ....,' jawab yu senik. 'ya... jangan gitu. tok so itu kan sebenarnya bukan budaya kita. dan acara kayak gitu memperkeruh suasana dan membingungken daripada rakyat kita yang harus kita akui belum siap untuk menyikapi daripada perbedaan pendapat secara dewasa dan bijaksana. dan kalau hal hal yang demikian diterus terusken niscaya akan menimbulken daripada pertentangan terbuka dan pada gilirannya mengancam daripada integrasi bangsa dan negara. padahal, bagaimana pun juga kan kita perlu memelihara daripada kesatuan dan persatuan dan merawat daripada kesenian adi luhung kita, termasuk dagelan itu. jadi, ya...jangan sampe kita, selera kita itu dibentuk untuk lebih menyukai kebudayaan ngak ngik ngok yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional kita.' begitu kata den jiyo berapi api, melebihi pak camat ketika berada dalam acara temu wicara sambung sara. yu senik mendomblong, lidahnya mencoba berdecak tapi nggak bunyi. karena mendomblongnya itu dan decakannya tak berbunyi, kita tidak tahu apakah yu senik tengah terpesona oleh, atau meledek, tetangganya itu. sebaliknya, den jiyo merasa kata katanya terlalu sulit dan gagasannya terlalu tinggi untuk yu senik. maka dia kemudian mengalihkan pembicaraan. 'wah... jan warung panjenengan renes mbakyu? eh.... malah ngadhep gudheg barang. ini yang di pot ini apa mbakyu?' komentar den jiyo mengalihken daripada pembicaraan. 'walah... ya untuk genap genap toh den.... wo.... yang sampeyan tudingi eh sampeyan tunjuk itu bukan pot den. itu namanya 'kuwali'. we... lha moderen tenan sampeyan sekarang den.... pot dipake wadah sayur asem...' 'lho jangan salah mengerti, panjenengan mbakyu. maksud saya 'pot' itu bukan pot bunga seperti yang panjenengan mengerti, tapi alat untuk masak. bisa panci bisa juga kuwali alias 'terracota pot'... ya... bukan maksud saya untuk sok moderen mbakyu.... ya... karena saya lupa namanya saja. oh.... jadi ini sayur asem toh? wah... kalau gitu tiwas kebeneran [red.: kebetulan]. mbok... saya takmencicipi sayur asem panjenengan'. 'ini lidah sampeyan nggak kesleo toh? mosok priyayi seperti sampeyan trima makan sauer pejetabel [maksudnya: sour vegetable alias sayus ayem]'. yu senik memencongkan bibirnya ketika mengucapken daripada 'sauer pejetabel'. 'kalau nanti lidah sampeyan yang lebih terbiasa dengan kentaki prait ciken itu keseleo, saya tidak bertanggung jawab lho ya....' begitu ujar yu senik sembari meracikken daripada pesanan kang jiyo: nasi ayam pake sauer pejetabel. 'eh... den ... jauh-jauh pulang dari mbetawi dan belum lagi sehari, lha kok sudah nglencer sendiri itu, apa kangen kangenannya sama permaisuri sampeyan udah kelar?' gitu kata yu senik sembari meletakken daripada pesanan den jiyo dihadapannya. 'wo ala... mbakyu. orang kojur itu tidak seperti saya... terlantar wis...' kata den jiyo sembari mencicipi the sauer pejetabel. 'kenapa toh den?' 'lha ya itu ... mbakyu. mboknya astuti kemarin kan majer [maksudnya mengirimken daripada pesan lewat pesawat pager] saya. katanya koperasi 'setia' tempatnya kerja dapet award upakarti. nah... eh...mumpung saya ya libur. katanya, sebagai kontinjensi plen [maksudnya contingency plan]. kalau tiba tiba meledak kerusuhan dan anak buahnya mega melakukan hal hal yang absurd, kami para pegawai kantor tidak terjebak dalam riots. nah... sisan sisan gawe [sekalian], orang saya ya sudah kangen sama mboknya astuti, saya langsung pesen tiket maju lancar yang langsung, nggak perlu oper. tadinya saya cuma mau naik yang ekonomi. kan ya nggak etis toh kalau tetangga tetangga kita tengah terkena dampak krisis ekonomi kita naik yang eksekutip. tapi ya... dasar sial. tiket yang ekonomi katanya habis. ya... terpaksalah naik yang eksekutip,' den jiyo membetulken krah baju arrownya, yang sebenarnya nggak berpindah dari tempatnya; garis seterikaannya pun tidak. 'sampai di sini? diyah katanya kemping dengan sekolahnya. tutik sibuk kerja, membantu simboknya untuk resepsi award upakarti. ya.... jadinya nglencer sendiri. dan ini tadi, saya baru saja niliki [red.: menjenguk] bekas kampus kita dulu... terus kata dik amat, panjenengan sekarang bukak dasar di sini. ya...daripada pulang juga nggak ada siapa siapa, sesudah ngobrol dengan dik amat saya ke sini'. 'mbok nggak gaya.... memangnya di kota sampeyan sini ada kampus?' yu senik nggak bisa mengampat eh menahan usilnya. 'lho yang di dekat pegadaian itu?' 'wo.... maksud sampeyan sekolah es em a kita dulu?' 'dulu tempat kayak gitu namanya sekolah... sekarang diganti menjadi kampus,' den jiyo menjelaskan. 'wah... mbakyu, saya senang mendengar mbakyu melestariken trade mark kota kita: nasgithel. bagus ini mbakyu. sayang kan kalau warung nasgithel asli wonosari ini musti minggir karena kafe tenda? saya doaken wabah kafe tenda tidak akan melanda wonosari yang pada gilirannya menggusur rejeki panjenengan. tapi saya dengar dari dik amat sampeyan katanya malah akan mengupgrade warung ini menjadi ti korner? ya... seandainya memang harus begitu, ya... jangan sampelah simbol simbol tradisional wonosari kita panjenengan gusur begitu saja. sebagai generasi penerus, kita kan perlu toh mbakyu memelihara daripada kebudayaan nenek moyang kita?' 'den. makannya disambi [red.: maaf nggak tahu terjemahannya]. nanti keburu dingin lho'. yu senik mengingatken den jiyo, sekaligus membelokkan arah bicaranya. 'wah... maaf den, saya sampe lupa sambalnya. sebentar, ya, saya ambilken...' 'ya... begini lah mbakyu. kalau saya sudah mulai ngomong, lupa segalanya,' den jiyo menyendok daun so dan posol jagung ke dalam piringnya. 'saya itu kalau mikir awak saya sedih....', kata den jiyo waktu yu senik meletakkan sambal di hadapannya, 'mau ketemu dan kangen kangenan sama anak isteri, eh.... semuanya sibuk. wah jan terlantar saya... jadi... ya akhirnya, saya lontang lantung kesepian gini.' 'lho den.... itu namanya emansipasi. katanya, mbok yao wong wedok itu ndak hanya di rumah saja. gitu kata sampeyan waktu pulang dulu. eh.... sekarang sang prameswari sibuk di luar, "wah terlantar saya".....' 'iya... benar... tapi kan ya..... mosok suami pulang dijarna [red.: dibiarken] saja. saya sampe di rumah tadi pagi, mboknya astuti baru saja turun boncengan bebeknya anaknya wedok, pulang dari salon diawan. nyanggul rambut. saya keluar dari kamar mandi, langsung dipamiti. "sori ya pak, aku pergi dulu ke kantor. nanti pulangnya agak malam. ada penerimaan award upakarti diterusken dengan resepsi organisasi perempuan untuk merayaken kemenangan babon sampeyan menjadi wapres. itu sudah dibuatken kopi anak sampeyan, di meja. tutik bantu aku. dyah pergi kemping dengan sekolahnya. bye bye, honey" gitu mboknya. lalu ditiruken anak perempuannya, "bye bye dad". maksud saya itu ya mbakyu, lha mbok sesudah penerimaan award itu pulang dulu, atau gimana...e.... terus resepsi perayaan kemenangan babon. kemarin dulu, di pager dia bilang "honey, kantorku dapet award. pulang dong, aku pengin kamu ikut merasakan kebahagiaanku. atas doronganmu dan kerja kerasku, kantorku dapet award upakarti. pulang dong yang...oke?" begitu saya sampai di rumah....ditinggal nggeblas. saya kira kalau ada undangan khusus untuk saya. ternyata tidak.' 'ala.... begitu saja.... nanti kalau sudah selesai resepsinya kan ya dik jinah pulang. sampeyan ini kan sedang tidak mengungkapken sujana [red.: cemburu] sampeyan toh den? dan sampeyan juga ndak sedang perang baratayuda dengan dik jinah toh?' 'ah.... orang sudah tua gini kok perang baratayuda. nyebut....anaknya sudah gede gede. kalau baratayuda kan jadi memberi contoh yang nggak baik pada anak anak toh?' 'tapi....kok nadanya itu.... gimana gitu. sepertinya sujana. ala.... den mbok ngaku saja. cem cem ... gitu. ya, kan?' 'sumprit mbakyu. mosok sudah lewat jam dua belas gini [maksudnya: sudah tua] cemburu. saya percaya dua ratus persen kok sama mboknya astuti dan diyah itu. kalau nggak percaya cek rekening saya.' 'iya. iya. wah.... sampeyan ternyata juga lucu loh den. cemburu kok dihubungken dengan rekening. sampeyan ini jangan jangan terlalu banyak mengikuti serial "baligate"'. 'eh...mbakyu...ini dari hati ke hati ya...', den jiyo meletakkan sendoknya, membetulken tempat duduknya dan wajahnya diserius seriusken. yu senik, geleng geleng kepala melihat kelakuan mantan sekulmetnya ini. 'terus terang waktu saya lihat mboknya tuti jaritan ndhithing dan sanggulan minting minting tadi pagi, hati saya trataban. jangan-jangan dia berdandan untuk pil...' 'apa itu pil?' 'priya idaman lain...' yu senik tidak bisa mengampat ketawanya. ih hik ih hik ih hik, gitu tawa yu senik. 'lha rak tenan. den, semuanya baik baik saja. dik jinah itu biasanya juga jedal jedul kemari kalau nggak pas sibuk'. 'sendiri?' 'ya kadang kadang sama anak wedok.' 'nggak maksud saya bukan itu. maksud saya, ke sini dengan teman kantornya atau gimana gitu lho....' 'sendiri. malah kalau sampeyan lama nggak pulang itu, sering ngrasani sampeyan. "kok bapaknya tutik nggak pulang pulang ya yu. saya itu khawatir je. gimana tidak kawatir, kantornya bapaknya tutik itu kan nggak jauh dari tempat yang sering dijadikan arena balang balangan molo itu"...' 'molo... apa itu molo?' 'itu lho kang... botol yang diisi bensin, disumpeli kaos terus dilempar lemparken ke soldadu.' 'o....molotop.' 'iya. itu.' 'wo...jadi keselamatan saya masih dikawatirkan toh sama mbokne tutik' den jiyo cerah. ego kelelakiannya mekar. 'ternyata aku masih dirinduken', begitu katanya di dalam hati. 'lho sampeyan itu gimana toh den? namanya saja sigaraning nyawa, belahan jiwa. jangan-jangan malah sampeyan yang suka lagu potong bebek...' 'maksudnya?' 'serong ke kanan serong ke kiri tra la la la la la la la...' 'ah.... panjenengan itu bisa bisa aja... e.... anu mbakyu.... ceretnya kan sudah umob [mendidih] toh? nyuwun pangapunten ya.... panjenengan punya ti beg [maksudnya: tea bag] lipton?', begitu kata den jiyo sembari menggerujukken daripada sauer pejetabelnya ke piring nasi. 'den.... mbok sampeyan itu jangan aneh aneh. ti beg lipton itu ya..gek apa sih?' 'itu lho teh celup merek lipton.... moderen sedikit kenapa sih mbakyu?' 'wo...lha yang moderen moderen itu di sini tidak ada. sejak dulu saya nggak pernah ngadhep apa itu? lintong?' 'lipton!' 'iya. lipton.... di sini adanya ya kebo njerum'. 'ya... sudah. kebo njerum ya ndak pa pa'. yu senik lengser dari hadapan den jiyo untuk membuatken daripada nasgithel untuk den jiyo.