Howdy,

Sebuah sandal jepit dari situs:
  http://artikel.isnet.org/Sufi/Kang%20Sejo/SandalJepit.html
silakan dipakai jika pas:-), sebagai ganti sepatu yang tidak sreg.

Howgh!
--                                       Djoko Luknanto-Jack la Motta
                                               http://fly.to/la_Family

        SANDAL JEPIT KESEDERHANAAN

        Mungkin ada pesona tertentu yang menghubungkan  rohani  para
        penyair.  Setahu  saya,  ada dua penyair yang terpesona pada
        kesederhanaan. Yang satu Taufiq Ismail. Yang satu lagi  Emha
        Ainun Nadjib.

        Bulan  Juni,  1979,  ketika  Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo
        meninggal dunia, Taufiq terharu. Ia  merasa  kehilangan.  Ia
        lalu  menulis sajak, buat mengenang orang tua sederhana tapi
        memancarkan kewibawaan itu.

        Yang paling pertama ia ingat tentang  orang  tua  itu  ialah
        sandal   jepitnya,  yang  selalu  berbunyi  soh,  soh,  soh,
        menggosok debu Jakarta, menggosok debu Indonesia.

        Di rumahnya, Taufiq mencari sepatu lari,  yang  ia  beli  di
        negara  dunia  kesatu.  Harganya, tentu saja, mahal. Dan itu
        membuat Taufiq malu mengenang kesederhanaan Ki Mohamad Said.
        Penyair ini silau melihat kehidupan orang tua itu.

        Ketika  Mohamad  Kasim  Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15
        tahun "menghilang" di Waimital, P.  Seram,  kembali  ke  IPB
        dengan  kisah  suksesnya  membantu  petani  transmigran yang
        miskin, Taufiq juga terharu. Kasim, sahabatnya  itu,  meraih
        keberhasilan  dengan swadaya, tanpa sepeser pun bantuan dana
        dari pemerintah.

        Begitu melihat dirinya sendiri, seorang  dokter  hewan  yang
        hanya  bersyair-syair  saja  kerjanya  (begitulah  diakuinya
        dalam sajaknya untuk mengenang  Mohamad  Kasim  Arifin),  ia
        merasa  perlu  menyembunyikan  wajahnya  menyembul  di  kali
        Ciliwung itu. Kasim yang hidupnya tak  gemerlapan  itu  pun,
        seperti  halnya  Ki  Mohamad  Said,  membuatnya merasa malu,
        risi, dan bersalah.

        Getaran apakah yang  membuat  kita  bisa  merasa  risau  dan
        terpojok  tak  berdaya  seperti  itu?  Mungkin  cuma  Taufiq
        sendiri yang tahu jawaban persisnya.

        Tapi, saya kira Taufiq mengharapkan agar  kita  punya  lebih
        banyak  lagi tokoh seperti Ki Mohamad Said dan Kasim Arifin.
        Ia, dengan kata lain, tak  ingin  melihat  Ki  Mohamad  Said
        berangkat meninggalkan kita.

        Kematian memang sering bisa memberikan kenangan seperti itu.
        Dan, celakanya, kita seperti baru sadar, bahwa orang seperti
        itu penting dan kita perlukan.

        Dalam  "Sajak-sajak Sederhana"-nya, nampak bagaimana penyair
        Emha Ainun Nadjib gandrung pada kesederhanaan itu.

        "Tuhanku" katanya.

        "Ambillah aku sewaktu-waktu.

        Kematianku kehendak sederhana saja.

        Orang-orang  menguburku  hendaknya  juga  dengan   sederhana
        saja."

        Barangkali,  ini pesan Emha. Tapi barangkali juga salah satu
        cermin dari pergulatan  batinnya  sebagai  seorang  seniman.
        Seperti   Taufiq   Ismail,   Emha  Ainun  Nadjib  juga  kuat
        memperlihatkan   pada   kita   pemihakannya    pada    nilai
        kesederhanaan.

        Ketika   Soedjatmoko  meninggal  dunia,  Emha  juga  menulis
        kenangan. Ada sesuatu yang ia kagumi pada  diri  intelektual
        beken   itu.   Oleh   karena  itu,  tak  segan  ia  menyebut
        Soedjatmoko sebagai ulama.  Benar,  kata  Arab  itu  artinya
        memang persis mencerminkan kehidupan Soedjatmoko: orang yang
        banyak ilmu. Tapi pemberian gelar ulama itu  jelas  memiliki
        konotasi lebih: bahwa almarhum bukan cuma berilmu tapi juga,
        dan ini yang lebih penting, mampu  memberikan  teladan  laku
        bagi siapa saja.

        Goenawan  Mohamad  bahkan  menyebut  Soedjatmoko  bukan cuma
        teladan  ilmu,   melainkan   juga   teladan   "laku".   Bagi
        Soedjatmoko,  apa yang dikatakan dan yang ditulis tidak cuma
        cermin ketangkasan  berolah  pikir,  melainkan  juga  cermin
        pergulatan batinnya.

        Orang  bilang,  keteladanan  adalah sesuatu yang hilang dari
        kita. Kita tak lagi punya sesuatu yang kita  banggakan.  Tak
        ada lagi sosok pribadi yang layak kita jadikan teladan.

        Tampil secara sederhana saja misalnya, juga sesuatu yang tak
        mudah. Imbauan untuk menyederhanakan  hidup  sebetulnya  pas
        buat  kita.  Ia  bukan  cuma  problem  bagi  orang kaya yang
        cenderung hidup gemerlapan. Orang miskin pun,  entah  berkat
        rangsangan virus apa, banyak yang tak mau tampil apa adanya.
        Mereka tidak gemerlap,  mungkin  juga  memperlihatkan  sikap
        anti  pada gaya hidup itu, barangkali hanya karena belum ada
        kesempatan.

        Benar kekaguman Taufiq pada Ki Mohamad  Said,  karena  orang
        itu  telah  membuktikan  dalam hidupnya. Ia bukan cuma orang
        sederhana, melainkan mungkin kesederhanaan itu sendiri.

        ---------------
        Mohammad Sobary, Jawa Pos 12 Januari 1992

Kirim email ke