Sampai kini masih timbul polemik di kalangan sastrawan Islam tentang
seberapa jauhkah keidolaan Johann Wolfgang von Goethe terhadap Nabi
Muhammad. Memang ada yang bilang : cukup sekedarnya saja. Tapi juga yang
bilang : memang sangat serius.
     Selama karirnya sebagai sastrawan, orang Jerman sering heran melihat
tindak-tanduknya dalam berkarya, karena sering menyelipkan perilaku Nabi
Muhammad dalam karyanya, baik langsung maupun tersamar.
     Dalam salah satu puisinya, Goethe mengibaratkan Nabi Muhammad dengan
keindahan sungai yang tidak pernah kering sebentar pun. Sejak lama ia
terpesona untuk merenungi beragam perilakunya yang dianggap telah
berpengaruh dalam revolusi kepribadian yang ditransformasikan dalam
masyarakat serta berlangsung dari masa ke masa, seperti membentuk
kepribadian luhur, penampilan terpuji, dan kesucian tinggi. Ketika berusia
24 tahun, ia selain pernah membuat lagu, juga menyusun drama tentang
Rasulullah, meskipun tidak selesai akibat faktor tehnis.
     Malah oleh sebagian sastrawan Islam, ia pun dianggap sebagai pengagum
akidah, yang tampak dalam puisinya, yang jika direnungi, ternyata mirip
dengan kisah Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan, menasihati ayahnya untuk
tidak menyembah berhala, dan menasihati istrinya untuk tetap taqwa selama
tinggal di daerah yang sangat sepi serta gersang.
     Sebuah karyanya, West Ostlicher Divan, diilhami oleh pengamatannya
terhadap sejumlah pasukan muslim Rusia yang sedang sholat berjamaah di
Wiemar, l814. Mereka bersama pasukan Rusia yang non Islam sedang mengejar
pasukan Napoleon Bonaparte.
     Memang sejak tersentuh dengan Islam, Goethe berpaling ke dunia timur.
Tiap kali mendengar cerita tentang dunia timur, hatinya terenyah untuk
merasakannya. Saking dekatnya, sehingga merasa seperti orang timur, bahkan
tidak ambing pusing ketika banyak pihak menganggapnya telah jadi orang
timur. Justru ia merasa tidak terasing jika sedang berkumpul dengan orang
timur, karena termasuk dunia dan sahabatnyanya juga.
     Atensinya terhadap penyair Persia memang agak khusus. Ia melihatnya
secara mendalam sehingga dapat mengungkapkan tiap bait. Maksudnya,
menampilkan suasana alam dalam pengertian yang wajar dan orisinil, sekaligus
dapat dikompetisikan dengan nuansa yang terkandung dalam lukisan yang
bereputasi sejarah, seperti Monalisa.
     Karenanya ia menyenangi kehidupan petualangan ke timur tengah yang
penuh eskotik, baik langsung terjun mengamati maupun melalui penyair
orientalis dari sejumlah negara di Eropa. Karenanya ia jadi diangkat jadi
guru besar kesusasteraan timur di Universitas Wina, Austria. Dalam orasi
ilmiahnya, ia menyampaikan gagasan tentang menciptakan suasana saling
melengkapi antara "barat-timur", khususnya bidang kesusasteraan. Logislah
jika ia diangkat sebagai mediator mediator kedua blok tersebut untuk bidang
tersebut.
     Pengkajian dunia timur dilakukannya sejak 1773, yang sering
dilampiaskan melalui puisinya. Lalu tahun 1783 ia menterjemahkan karya
kesusasteraan Arab : "Mu'allaqat", yang ketike terbit mendapat sambutan
hangat dari masyarakat Jerman. Tahun 1799 ia pun mengkaji perjalanan kaum
Yahudi yang diusir dari Mesir akibat keonaran dan kelicikannya berupa
pelanggaran terhadap beberapa nasihat yang diberikan Nabi Musa.
      Ketika jatuh sakit, ia benar-benar pasrah dan sabar. Berbagai upaya
pengobatan sudah dilakukan, tapi tetap gagal. Sikap seperti itu banyak
disentuh oleh ajaran Islam yang sering dipelajarinya, termasuk tentang
"kasih Allah terhadap orang yang penyabar". Menjelang meninggal, ia sempat
menulis surat kepada sahabatnya yang isinya antara lain tentang bagaimana ia
mempraktekkan ajaran Islam dalam menghadapi sakit. Ia meninggal karena
penyakit kolera yang saat itu sedang melanda Jerman, sementara uji coba
pengobatan terhadap penyakit itu pun baru muncul beberapa dasawarsa kemudian
lewat tangan Robert Koch.



Salam,

Nasrullah Idris







Kirim email ke