Banyak orang pragmatis serta sukses dalam karir ekonomi di tanah air
memandang imajinasi dengan sebelah mata. Malah terkadang dianggapnya sebagai
dunia mimpi alias sosok tidak realisitis menghadapi kenyataan.
     Pokoknya ada kecenderungan pada mereka untuk merasa di atas angin
meskipun mungkin saja tidak diungkapkannya. Secara sopan-santun dengan
memandangnya sebagai nilai filosofi.
     Iklim cara pandang itu rupanya terus berlanjut pada krisis moneter
sekarang ini. Penyataan demi pernyataan masih kurang menyentuh upaya
melibatkan serta mengapresiasikan dan memobilisasi faktor imajinasi dalam
berbagai antisipatif.
      Apa mereka nggak tahu bahwa munculnya krisis moneter dadakan di
Indonesia serta dampaknya - termasuk sosial dan politik - masih terasa
sampai sekarang tidak terlepas dari permainan orang asing.    Antara lain -
yang dianggap menonjol - apalagi kalau bukan spekulan George Soros.
      Apa mereka nggak tahu pula bahwa untuk memainkan ekonomi suatu negara
oleh pihak luar diperlukan strategis ampuh.
     Sedangkan untuk membuat strategis itu untuk mencapai sasaran diperlukan
berbagai disain faktor seperti "Disain Operasional Informasi". Ini
diperlukan imajinasi bukan? Tidak sekedar mengandalkan data kongkrit.
     Karena dengan cara itulah  maka  peluang negara itu untuk menankal atau
mengantisipasinya semakin sangat kecil.
     Jadi mau nggak mau harus diakui bahwa yang dinamakan imajinasi itu
telah mempengaruhi kalangan praktis yang sampai sekarang masih memandang
imajinasi dengan sebalah mata

Salam,

Nasrullah Idris



Kirim email ke