Tengkyu bro atas usaha pencerahannya… J Lantas kalo dikaitkan dengan masalah diawal-awal topik semula terkait dengan unsur ribawi itu gimana Mas?
Taruhlah diasumsikan tercapai kondisi dimana emas telah menjadi standard moneter, apakah benar dikatakan ribawi akan hilang dengan sendirinya? Atau mungkin masih ada dinamika-dinamika yang lainnya lagi yang masih harus diperhitungkan? J Matur Nuwun From: is-lam-boun...@milis.isnet.org [mailto:is-lam-boun...@milis.isnet.org] On Behalf Of Bango Samparan Sent: Monday, March 09, 2009 7:51 PM To: Milis Is-lam Cc: Ekonomi Nasional Subject: [is-lam] Misteri JUB, Nilai Rupiah, Fiat Standard, dan Standar Emas Beberapa dari kita tampaknya seringkali kebingungan untuk memahami apa yang dimaksud dengan jumlah uang beredar (JUB), dan korelasinya dengan harga, sehingga seringkali bingung menyaksikan fenomena inflasi atau jatuhnya nilai uang suatu negara, apalagi yang ekstrem. Alih-alih mencoba mempelajari fenomena ini secara lebih mendalam, secara tergesa sebagian rekan – barangkali karena terlalu bersemangat – mencoba menampilkan standar emas sebagai alternatifnya. Benar, standar emas akan bisa menyelesaikan beberapa masalah, tetapi banyak juga masalah yang tetap harus dimanage secara piawai agar ekonomi tetap sehat atau stabil (pertumbuhan ekonomi sustainable, inflasi rendah, pengangguran rendah, dan kemandirian ekonomi terjaga). Tulisan ini semoga tidak menambah kebingungan akan hal itu, dan bisa menjadi bekal untuk mendiskusikan wacana standar emas sebagai solusi secara lebih elegan. Penciptaan Uang Dalam Perekonomian Modern Tahap 1 Pemerintah mencetak uang sebesar Rp. 1000 untuk membayar pegawainya si A. Pemerintah juga menentukan cadangan minimum perbankan adalah 10%, jadi bila perbankan menerima simpanan dari nasabahnya, 10% wajib disimpan sebagai cadangan, 90% sisanya boleh dipakai untuk menciptakan kredit/investasi. Cadangan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan transaksi harian nasabah. Dari informasi ini, bisa dibayangkan 90% uang yang tersimpan di perbankan bisa dimainkan untuk apa saja, sukses atau tidak sukses tidak terlalu masalah, selama kebutuhan nasabah masih bisa dilayani dengan cadangan yang 10%. Perbankan baru kelihatan belangnya dalam menangani uang nasabah, bila nasabah ramai-ramai (rushing) menarik dananya dari perbankan – wah ternyata duitnya nggak ada. Masih ingat kan krisis perbankan yang terjadi di Indonesia, sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan BLBI sebesar 600 trilyun. Enak sekali kan perbankan:-) Seenaknya sendiri memainkan uang nasabah, eee … giliran merugi karena asal-asalan saja menyalurkan kredit, dikasih dana talangan lagi sama pemerintah. Pada tahap ini JUB adalah Rp. 1.000, dalam bentuk uang kartal. Uang kartal adalah uang logam dan kertas yang dipegang oleh masyarakat. Tahap 2 Kita idealkan saja, si A menyimpan seluruh uangnya di bank 1. Maka neraca bank 1 akan mencatat transaksi ini sebagai berikut: Asset Liabilities Cadangan Rp. 1000 Deposito Rp. 1000 Total Rp. 1000 Total Rp. 1000 JUB masih Rp. 1000, tetapi berubah bentuk menjadi cadangan bank. Dalam ekonomi moneter cadangan bank + uang kartal disebut sebagai uang inti. Jadi, pengertian uang inti adalah uang logam dan kertas yang dipegang masyarakat dan perbankan. Dari Rp. 1.000 ini bank harus menyimpan 10% (Rp. 100) sebagai cadangan, Rp. 900 sisanya boleh diinvestasikan dari dijadikan kredit. Neraca bank 1 akan berubah menjadi: Asset Liabilities Cadangan Rp. 100 Deposito Rp. 1000 Kredit Rp.900 Total Rp. 1000 Total Rp. 1000 Misalnya pinjaman diberikan pada si B. Di sini JUB sudah menjadi 1.900. Gambarannya adalah si A punya uang Rp. 1000 karena gaji; si B punya uang 900 karena kredit. Tahap 3 Kita idealkan saja, si B menyimpan Rp. 900 ke di bank 2. Bank 2 akan menyimpan 10% (Rp. 90) sebagai cadangan, dan sisanya (Rp. 810) dijadikan kredit, misalnya kepada si C. Neraca bank 2 adalah sbb: Asset Liabilities Cadangan Rp. 90 Deposito Rp.900 Investasi/Pinjaman Rp.810 Total Rp. 900 Total Rp. 900 Sekarang JUB sudah menjadi Rp. 2.710. Gambarannya adalah si A punya uang Rp. 1000 karena gaji; si B punya uang Rp. 900 karena kredit, dan si C punya uang Rp. 810 karena kredit juga. Tahap 4 Kita idealkan saja, si C menyimpan Rp. 810 ke di bank 3. Bank 3 akan menyimpan 10% (Rp. 81) sebagai cadangan, dan sisanya (Rp. 729) dijadikan kredit, misalnya kepada si D. Neraca bank 3 adalah sbb: Asset Liabilities Cadangan Rp. 81 Deposito Rp.810 Investasi/Pinjaman Rp.729 Total Rp. 810 Total Rp. 810 Sekarang JUB sudah menjadi Rp. 3.439. Gambarannya adalah si A punya uang Rp. 1000 karena gaji; si B punya uang Rp. 900 karena kredit, si C punya uang Rp. 810 karena kredit, dan D punya uang Rp. 729 karena kredit. Tahap akhir Jika proses ideal dilakukan sampai akhir maka komposisi JUB adalah Rp. 10.000 dengan komposisi cadangan Rp. 1.000 dan kredit Rp. 9.000. Neraca perbankan secara total adalah sbb: Asset Liabilities Cadangan Rp. 1.000 Deposito Rp. 10.000 Investasi/Pinjaman Rp. 9.000 Total Rp. 10.000 Total Rp. 10.000 Rumus perhitungan adalah sbb: Rp. 1.000:10% = Rp. 10.000 Pembahasan Apapun bentuk uang yang dipakai, selama perbankan berhak menerima deposit dan berhak menciptakan kredit, maka mekanisme pelipatan uang seperti di atas akan terjadi. Oleh karena itu, di dalam ekonomi moneter dikenal istilah multiplier uang inti. Dalam realitasnya tentu saja pelipatan tidak terjadi sedemikian ideal. Banking habit , ketentuan cadangan minimum, permintaan kredit, iklim investasi, dll., akan sangat mempengaruhi besarnya pelipatan dus JUB. Bahkan, faktanya ketidakpastian pelipatan uang inti melahirkan masalah berkenaan dengan JUB yang optimal, yakni JUB yang menjamin kestabilan harga (ekonomi). Itulah mengapa ,ada yang disebut sebagai kebijakan moneter, yakni kebijakan untuk mengoptimalkan JUB. JUB dan Harga Berkenaan dengan hubungan JUB dan harga saya kutipkan dari Samuelson (1985): “The limitation in the supply of money is the necessary condition if money is to have value. If currency is so unlimited in amount as to become practically a free good, people would have so much of It to spend as to bid up all prices, wages, and incomes sky-high. For this reason, the power to control the money supply is reserved to gorverment.” Meskipun uang dibuat dari emas, hukum di atas juga berlaku. Contoh ekstremnya, Anda melintasi gurun pasir dengan membawa 100 kg emas murni, ditengah perjalanan Anda kehabisan air, dan hampir mati kehausan. Datang seorang pedagang membawa 5 botol Aqua besar, berapa Anda berani membayarnya? Bila si pedagang minta dibayar dengan 100 kg emas murni Anda, bagaimana? Nah, 100 kg emas murni hanya dihargai 5 botol Aqua:-) Fenomena Fiat Standar dan Rapuhnya Nilai Rupiah Hari ini standar moneter yang dipakai adalah Fiat Standar (Standar Kepercayaan). Jadi uang kertas memiliki nilai karena kepercayaan. Bagaimana kepercayaan ini terbangun? Kalau kita amati agak lebih mendalam, Fiat Standard sebenarnya dijamin dengan keseluruhan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. Perhatikan, pada negara-negara yang perekonomiannya telah maju, maka matauangnya cenderung menjadi hard currencies. Itulah mengapa rupiah kalah dengan ringgit, 1 ringgit harus harus ditukar dengan Rp. 3.250. Perekonomian Malaysia memang bisa lebih diandalkan dibanding Indonesia. Stabilitas harga dalam negeri, yang sangat berhubungan erat dengan persoalan memanage JUB secara optimal juga sangat berpengaruh terhadap kerapuhan/kekuatan suatu mata uang terhadap mata uang lain. Kenaikan harga dalam negeri, yang biasanya karena JUB terlalu banyak, cenderung akan menurunkan nilai mata uang suatu negara. Konsep JUB hanyalah veil (tudung) bagi nilai produksi barang dan jasa, barangkali bisa membantu membayangkan soal optimalitas ini. Tudung, agar jatuhnya enak, tentu saja tidak boleh berlebih atau kurang:-) Jadi, persoalan kacaunya nilai rupiah, bukanlah masalah yang bisa begitu saja diselesaikan dengan standar emas. Ada persoalan yang lebih besar dan prinsip, yakni ketidakbecusan kita mengelola perekonomian Indonesia secara baik. Potensi SDAE jika jelas di atas Malaysia, tetapi mengapa kita kalah dari Malaysia. Faktanya, SDAE kita justru banyak dikuasai pihak asing. Takutnya, saat kita beralih ke standar emas, eee… ternyata emas kita juga telah dikuasai oleh pihak asing, akhirnya kita jadi susah juga, harus hutang emas untuk membuat uang emas:-) Kalau toh kita berhasil memakai emas sebagai standar moneter, kita toh tetap harus menjaga JUB agar berada pada tingkat optimal, sehingga harga-harga tetap stabil! Semoga mencerahkan! Salam hangat B. Samparan
_______________________________________________ Is-lam mailing list Is-lam@milis.isnet.org http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam