Kik...kik...kik, tak tahu kapan berhenti sama bahaya dengan tak tahu kapan mulai.
Kik...kik...kik, yang paling sudah baru mulai udah berhenti, kata sebuah iklan:-) Salam hangat B. Samparan --- On Sun, 5/3/09, Dewa Gede Permana <dewagedeperm...@gmail.com> wrote: > From: Dewa Gede Permana <dewagedeperm...@gmail.com> > Subject: Re: [is-lam] Tiga Nenek Sihir: Politik itu seni dari segala > kemungkinan, JK-WIN ??? > To: is-lam@milis.isnet.org > Date: Sunday, May 3, 2009, 10:49 AM > Kalo dipikir-pikir lagi mungkin > bukan saja di ke-3 nenek sihir tetapi bisa seribu, sejuta, > atau hanya satu....Dan bisa singgah disetiap orang > tanpa peduli dikehendaki atau tidak.Dia singgah > di diri sang jendral, sang duncan, sang istri, sang nenek > sihir, kegelapan malam, desiran angin, dan bahkan di diri > Shakespeare... Dan hanya mau mengatakan > "Ini lho GUE... mosok elu-elu pada kagak bisa lihat > !!?" > :)salam hangat > > On May 2, 2009, at 10:31 PM, Alkhori M > wrote: > Politik itu seni dari > segala kemungkinanMemungkinkan kemungkinan > yang tidak mungkinDimungkinkan kemungkinan > yang bisa saja memungkinkan kemungkinan yang belum mungkin > (Bung Kanis, > 1982)JK-WIN telah mendeclare > sebagai Capre-cawapres,Bagaiamana siapakah > pasangan SBY, siapa pasangan Mega dan siapa pasangan > Probowo???Tiga Nenek SihirSenin, 27 April > 2009Tiga nenek sihir muncul di tepi > jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati > hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur . Mereka > dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang > berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka > terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu - tiga sosok yang > mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang > tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: > bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai > raja. Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, > masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah > puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan , > raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru > saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai > posisi itu, berada di kedudukan milik baginda? Bagi saya, > penting buat dicacat bahwa Macbeth, lakon Shakespare > yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir > itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari > tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa > diabaikan. Justru mereka > itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada - > dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib > yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat > yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk > mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut > itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya > guncang. Tapi bukan salah > para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan > yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth, begitu ia > merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera > menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu > sampai keberuntungan itu datang. Ia > bertindak menyingkirkan Duncan . Bukan > karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila > ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu > dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu > lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum > mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai > penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun > diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh > agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. > Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau "takdir", > bisa dikalahkannya. Tapi > dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan > perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada > artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia > terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan > tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah > sesuatu yang secara a priori > ditetapkan. Ia seperti kursi > kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. > Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, > akal, dan antagonisme manusia. Apalagi > yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak > pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis > tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas > dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 > Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal > itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu "imperfect speakers" yang > cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam > yang basah. Itu > sebabnya Macbeth bukan hanya > sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita > tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti - > dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu > jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan > kekerasan. Sebelum > akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia > berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan > nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam > bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia > menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia > mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. > Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa > Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang "tak > dilahirkan oleh perempuan," jenderal itu yakin tak akan > ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada > kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang > akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan > dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah > perut ibunya dibedah. Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi > yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia > tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus > olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah > bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. > Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk > itu. Juga rasa > bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa > tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa > membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang > dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah > itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas. Lakon Macbeth akhirnya > menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik > ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak > tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, > menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia > menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas > militer. Maka > biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, > menyiksa, menggertak - atau, sebaliknya membeli manusia > dengan uang - tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi > nenek-nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, > Tuan akan bertaut dengan mala - yang buruk, yang busuk, yang > keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan > sendiri.Alkhori > MAlkhor CommunityQatar > > _______________________________________________ > Is-lam mailing list > Is-lam@milis.isnet.org > http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam > > > -----Inline Attachment Follows----- > > _______________________________________________ > Is-lam mailing list > Is-lam@milis.isnet.org > http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam > _______________________________________________ Is-lam mailing list Is-lam@milis.isnet.org http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam