Copas dari Harian Jogja: Hikayat rem dan gas
Minggu, 17 Mei 2009 11:10:43 Angkringan Lik No sore itu tak seperti biasanya. Dari jarak 5 meteran sudah terdengar adu argumentasi beberapa pengunjung setianya. Biasanya, obloran baru gayeng, setelah pukul 18.00 WIB. "Wah, SBY akhirnya jadi juga ngajak Boediono sebagai calonnya untuk bertarung dalam pemilihan presiden mendatang. Memang telat sih dibandingkan dengan pasangan JK-Win, tetapi masih lebih kenceng ketimbang Mega-Pro," kata Noyo. "Sampeyan ini ngomongin politik apa otomotif, Kang Noyo... Jadi bingung aku mendengarnya," kata Dadap. "Ya jelas politik lah Kang. Masak, hare gene ngomongin otomotif yang pasarnya masih lesu... buang-buang energi," Noyo menukas pembicaraan Dadap. "Lha kok ada Win, ada Mega-Pro segala... itu kan merek montor tho," ujar Dadap masih penasaran. "Aduuh... makanya Dap, perbanyak piknik atau seringlah baca koran... JK-Win ini merek jualan untuk kampanye pasangan Capres-Cawapres Jusuf Kalla dan Wiranto. Kalo Mega-Pro itu pasangan Megawati dan Prabowo," Noyo menjelaskan. "Oo... gitu to... Kirain, sampeyan ki ngelantur," kata Dadap. "Ngelantur gundulmu itu... Tapi, Dap, memang ada kesamaannya sih dengan soal otomotif, termasuk..." belum sempat Noyo menyelesaikan kalimatnya, dia terkaget karena bahunya ditepuk dari belakang. "Sedang ngegosip apaan kalian... Tumben Dap, kamu juga ada di sini... Eh, Lik No, aku mau teh jahe hangat juga ya, seperti punya Noyo ini," kata Suto sambil mengempaskan dirinya ke kursi kayu, menyebelahi Dadap. "Boleh, mase... Mau makan atau sekadar jajanan," ujar Lik No sambil membalik-balik sate telor di tunggu kayu miliknya. "Minta kopi tubruk saja," sahut Suto. "Ya sudah, itu saja... nggak pakai lama lho," ujar Suto sambil terkekeh. "Bikin kaget saja, Kang... Bukan ngegosip, ini nih sedang jelasin kepada Dadap soal kesamaan politik dan otomotif. Ibarat otomotif, pasangan capres-cawapres seharusnya bertindak seperti pedal gas dan pedal rem," kata Noyo berusaha menjelaskan. "Aku kok makin bingung, Kang Noyo, gimana ceritanya kok bisa gitu," Dadap menatap Suto sambil keheranan. "Gini... Ketika memerintah selama ini, pasangan SBY dan JK itu sepertinya terbalik. Pak SBY lebih seperti pedal rem, sedangkan Pak JK pedal gasnya. Idealnya, presiden itu pedal gas, yang menjadikan sebuah mobil bisa bergerak, sedangkan wakilnya adalah pedal rem yang berfungsi untuk mengamankan sistem pemerintahan agar tidak kebablasan," Noyo memaparkan. "Boleh juga analisismu, Yo... Kalau pasangan JK-Win, SBY Berbudi, dan Mega-Pro gimana menurut pendapatmu," ujar Suto, sambil mengaduk teh tahe hangatnya. "Pasangan JK-Win tampaknya pas, pedal gas dan pedal rem. Kalau SBY Berbudi, sepertinya kok pedal rem dan pedal rem. Pak SBY terlalu berhati-hati, sehingga terkesan lamban atau malah peragu, sedangkan Pak Boed juga terlalu kalem, jadi agak sulit bergeraknya..." Noyo menerangkan. "Lha kalo Mega-Pro gimana Kang," ujar Dadap sambil tidak sabaran. "Mega merupakan figur yang dapat diibaratkan seperti pedal rem, sedangkan Prabowo pedal gas, tapi mobil balap... jadi maunya ngebut wae..." kata Noyo sambil tertawa. Tak pelak, kedua rekannya juga turut tergelak. "Tapi..." Dadap menyela pembicaraan setelah tawa mereka reda, "karena mereka diibaratkan otomotif, tidak heran jika harganya mahal Kang." "Mahal gimana Dap..." sergah Suto. "Biasa, Kang, fulful... alias fulus fulitik yang juga ruaaar biasa..." Dadap berusaha meyakinkan. "Ah, yang bener... ojo ngarang lho kamu," ujar Noyo. "Yaa... Memang tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya sih... Konon, untuk dapat menjadi calon wakil presiden, ada capres yang menentukan besarnya 'setoran gizi' lho, Kang. Jumlah setorannya pun tidak kira-kira, bisa untuk modal bikin belasan bank baru..." "Emang berapa modal disetor untuk bikin bank baru," kata Suto. "Ya, kira-kira cepek em lah... seratus miliaran rupiah, Kang..." Dadap memaparkan. "Weleh-weleh... akeh banget... Itu duit semua," komentar Noyo. "Lha iya lah, masak lha iya dong. Ya duit beneran tentunya... Malah, kabarnya, ketika 5 tahun lalu ada bursa pemilihan internal capres dari satu partai, yang pada mau maju capres itu bawa uangnya tunai... ratusan miliar rupiah diangkut pakai beberapa mobil boks," Dadap menceritakan dengan raut muka meyakinkan. "Edan tenan.. buat apa saja uang sebanyak itu," ujar Suto bernada keheranan. "Untuk dibagi-bagikan kepada delegasi dari daerah agar mau memilih yang berani bayar, gitu aja kok repot... Tapi kalo untuk cawapres yang diceritakan Dadap tadi, dana itu untuk disalurkan ke cabang dan ranting partai untuk dana kampanye di daerah dan seterusnya," Noyo berupaya menjelaskan. "Lha kalo yang setor nggak terpilih sebagai presiden dan wakil presiden nanti, uang segede gajah itu dikembalikan nggak," Suto bertanya. "Wes-ewes-ewes... bablas duite... Dikembalikan dari mana? Dari Hong Kong? Duit itu kan untuk modal kampanye, untuk fulful tadi..." ungkap Dadap. "Edan tenan... udah seperti itu ya permainan uang di kancah perpolitikan kita," kata Suto. "Walah, nggak usah heran, Kang... Ini pemilihan presiden lho, untuk Indonesia Raya... Lha wong untuk menjagokan diri sebagai gubernur di sebuah provinsi di Sumatera saja, seorang calon menyiapkan dana setidaknya lima ratus miliar rupiah kok," Noyo berusaha menjelaskan. "Itu duit milik para calon sendiri, atau..." Suto masih keheranan. "Biasanya sih enggak semuanya. Kan banyak cukong yang bersedia mendanai. Jadi nanti kalo jagonya menang, dia akan nuntut kemudahan berupa berbagai konsesi...Misalnya, mau ngurus izin mendirikan perusahaan yang sebenarnya masuk daftar negatif investasi, si cukong bisa dengan mudah minta aturan itu diubah..." "Oo... pantesan kalau si jago kemudian bisa berkuasa, mereka ini berusaha melakukan perubahan aturan ini aturan itu... Jadi, itu sebagai balas jasa bagi si cukong ya," ujar Suto bernada tanya. "Begitulah, Kang... Tapi, itu bukan hanya di negeri kita ini deh, kayaknya. Sudah unipersal, wis umum" kata Dadap. "Pantesan, kita sering menghasilkan figur pemerintah yang busuk ya... Mungkin karena mereka berangkat dari hal busuk juga sih..." tutur Noyo. Ketiganya pun terdiam, seolah-olah larut memikirkan nasib bangsa... Oleh Ahmad Djauhar KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA Alkhori M Alkhor Community Qatar
_______________________________________________ Is-lam mailing list Is-lam@milis.isnet.org http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam