Memerangi ekstrimisme di dua negara

Sama-sama menghadapi persoalan ekstremisme, Indonesia dan Pakistan dinilai
mendapatkan hasil yang sangat berbeda setelah melancarkan upaya
penanggulangan masing-masing.

Dalam edisi khusus Newshour BBC, mantan tokoh kelompok militan, pejabat dan
pengamat melihat akar masalah dan penanganan ekstrimisme di kedua negara.
Perbedaan pendekatan yang ditempuh di kedua negara saat menanggulangi
ekstrimisme juga menyebabkan perbedaan keberhasilan di Pakistan dan
Indonesia. Sampai dengan tahun ini, aparat di Indonesia sedikitnya telah
menangkap 300 tersangka pelaku aksi teror, berasal dari kelompok ekstremis,
di Indonesia. Dua pertiga di antaranya sudah dijatuhi hukuman dari beberapa
tahun penjara hingga eksekusi mati. Sisanya masih menunggu proses peradilan
tetap. Adapula, seperti gembong aksi teror asal Malaysia Dr Azahari, yang
tewas dalam ledakan saat dikepung polisi di Malang Jawa Timur tahun 2005.
Tiga yang paling banyak diberitakan, adalah bagian dari kelompok pelaku bom
Bali yaitu Amrozi, Imam samudra dan Muklas, dieksekusi akhir tahun lalu.
Meski sebelumnya banyak kritik meragukan kemampuan aparat dan kesungguhan
pemerintah Indonesia, rangkaian aksi penangkapan dan pengadilan terhadap
pelaku terorisme ini membuat Indonesia dianggap cukup berhasil memerangi
terorisme. Ini pujian yang cukup langka, karena Indonesia Indonesia lebih
sering dihubungkan dengan lemahnya upaya penegakan hukum.

Faktor konflik

Menurut Internasional Crisis Group, keberhasilan Indonesia mengatasi
ekstremisme terutama berasal dari penyelesaian konflik antara agama di
Maluku dan Poso. Konflik Maluku dan Poso berlangsung antara 1999-2002 dan
telah menjadi alasan sejumlah orang untuk bergabung dengan gerakan
ekstremisme, atas nama agama. "Dua konflik itu menjadi motor utama untuk
proses radikalisasi dan rekrutmen ekstremis baru,' kata Sidney Jones,
penasehat senior ICG untuk kawasan Asia. ICG menggaris bawahi, Indonesia
dianggap berhasil karena dalam upaya menumpas ekstremisme, dipakai
pendekatan hukum dan penghargaan kemanusiaan bahkan terhadap pelaku
ekstremisme. "Pertama, mereka dengan segera diadili dalam sidang terbuka.
Kedua, divonis dengan akses penuh pada keluarga dan pengacara dan ketiga,
dibebaskan kalau periode hukuman sudah selesai.'' kata Sidney. Ini sangat
berbeda dengan penanganan pelaku ekstremisme di Mesir misalnya, tambah
Sidney, dimana siksaan dan kondisi tahanan di penjara mendorong yg ditahan
menjadi lebih radikal lagi.

Perlakuan mengagetkan

Nasir Abas mengakui bagaimana perlakuan aparat di Indonesia telah mengubah
jalan hidupnya. Nasir adalah warga Malaysia pengikut kelompok Jamaah
Islamiyah, jaringan ekstremisme paling radikal di Asia dalam sepuluh tahun
terakhir, yang pernah menduduki salah satu jabatan puncak sebagai Ketua
Mantiqi III JI untuk wilayah meliputi sebagian Malaysia, Indonesia Timur,
hingga Mindanao di Filipina Selatan. Nasir pernah berlatih militer di kam
milik pejuang Taliban di perbatasan Afghanistan-Pakistan dari tahun 1987
hingga 1992, bersama sejumlah orang yang kemudian menjabat sebagai pucuk
pimpinan JI. Waktu Nasir ditangkap pada tahun 2003, seorang aparat polisi
beragama kristen menjadi perwira yang menyelidiki keterlibatannya dalam
jaringan JI. Polisi itu menurut Nasir sangat mengagetkan dirinya, karena
tidak pernah memperlakukan dirinya sebagaimana layaknya seorang teroris
dengan kekerasan, perlakuan yang sebelumnya dianggap anggota JI merupakan
standar aparat jika mereka tertangkap. "Tidak pernah satu hari pun saya
dengar kata-kata kasar atau kotor. Sangat sopan. Tidak menyalahkan umat
muslim atau ajaran Islam. Saya mulai bertanya, jangan-jangan ada yang salah
dalam apa yang saya percayai," kata Nasir. "Akibat perlakuan itu, saya
mengubah cara pandang bukan dengan jalan paksaaan atau doktrin tetapi dengan
suka rela." Nasir kemudian benar-benar memperbarui kepercayaannya dengan
bekerja untuk aparat, melacak jaringan JI lainnya dan mengungkap pelaku
berbagai aksi kekerasan di Indonesia. Polisi berhasil menjaring ratusan
pelaku teror, sebagian besar berasal dari organisasi radikal dan ekstrem
yang terjun ke daerah konflik di Poso, Sulawesi Tengah serta Ambon Maluku.
Pengalaman ini sangat berbeda dengan Pakistan. Koresponden koran The New
York Times di Islamabad Jane Perlez kepada BBC mengatakan pengalaman
berurusan dengan polisi biasanya berakhir dengan menjadi korban. "Dalam
insiden di tengah peperangan di Swat 10 hari lalu seorang laki-laki -
benar-benar warga biasa yang tidak bersalah - ditembak tentara. Kemudian 25
pegawainya - pembantu, pekerja ladang - ditangkap dan dipukuli
berhari-hari."

Membandingkan Pakistan

Baik Indonesia maupun Pakistan, kini memegang rekor sebagai negara dengan
populasi muslim terbesar di dunia. Indonesia, dengan 230 juta penduduk, 90
persen di antaranya diperkirakan memeluk Islam. Sementara Pakistan memiliki
160 juta warga, hampir seluruhnya adalah pemeluk Islam. Sidney Jones
mengatakan, situasi kedua negara menyangkut upaya memerangi ekstrimisme
tidak bisa dibandingkan begitu saja. "Pertama karena di Indonesia tidak ada
peperangan besar yang sedang berlangsung. Kemudian upaya melawan ekstremisme
juga lebih berbentuk penegakan hukum, bukan upaya militer besar-besaran."
"Sementara Indonesia juga tidak terancam oleh masuknya militan dari negara
lain," tambah Sidney. Dalam kasus Pakistan, sumber pasukan Taliban justru
berasal dari luar, yakni Afghanistan. Namun menurut Perlez, situasi Pakistan
juga jauh tidak menguntungkan dibanding Indonesia.

"Pakistan dikuasai oleh beberapa keluarga feodal dimana reformasi pertanahan
tidak terjadi. Juga ada proses islamisasi. Ini merupakan dua hal yang sangat
meracuni Pakistan." Militer Pakistan sekarang tengah berupaya keras menumpas
militan dari Lembah Swat yang sudah dikuasai Taliban sejak beberapa bulan
terakhir. Perang besar menurut PBB telah memaksa sekitar dua juta warga
setempat untuk mengungsi. Koresponden BBC di Pakistan Owen Benneth Jones
mengatakan sikap publik terhadap Taliban berubah drastis di Pakistan
beberapa pekan terakhir. Saat Jones mengikuti rangkain pengungsi yang
mencoba menyelamatkan diri keluar dari Swat menuju Peshawar, mereka
mengutarakan kemarahan pada Taliban. "Mereka menembak, memenggal, menculik
anak-anak. Bahkan anak laki-laki, tidak tahu untuk apa. Katanya untuk
tebusan, mungkin juga untuk dijadikan pengikut," kata seorang pengungsi.
Pengungsi lain mengaku telah mengubur jenazah 18 orang korban kekejaman
Taliban. Upaya Pakistan memerangi militan di negeri itu dan dari
Afghanistan, terutama dimotori oleh bantuan dana besar dari Amerika Serikat.
Sejak serangan 9/11, bantuan AS kepada negara itu diperkirakan sedikitnya
mencapai US$12 miliar.

Pengalaman Indonesia

Sejak aksi pemboman Bali kedua, 2005, Indonesia relatif lebih aman dari aksi
kelompok ekstremisme. Menurut mantan petinggi JI Nasir Abas, ini terjadi
antara lain akibat ramainya upaya berbagai pihak untuk mendidik masyarakat
untuk memhami isu pluraisme. "Jadi bukan cuma kerja polisi saja. Saya lihat
banyak seminar, mencoba mengajak muslim awam untuk bicara tentang isu
radikal, juga moderat." "Memang harus melibatkan juga warga kebanyakan,
bukan hanya menyentuh para pelakunya," kata Nasir. Yang mungkin menarik,
perkembangan ini diikuti dengan arus kebebasan berekspresi dan menyebarkan
informasi dalam bentuk yang sebelumnya tidak terjadi.

Di sejumlah toko buku besar di Jakarta misalnya, sangat mudah ditemui
buku-buku tentang para pelaku ekstremisme. Beberapa yang terbaru diterbitkan
oleh kelompok Ar-Rahman, yang menurut ICG terkait dengan kelompok JI.

Tiga buku terbaru disebuah toko buku kawasan Kwitang Jakarta Pusat, memuat
wajah para pelaku bom Bali yang telah dieksekusi sebagai sampul buku. Foto
ketiga pelaku, yakni Imam Samudra, Muklas dan Amrozi, pasca eksekusi juga
dimuat dihalaman belakang, dengan kalimat yang menyatakan mereka sebagai
'syahid' atau martir. Manajer toko buku Walisongo Joko Hartono mengatakan,
buku-buku serupa biasa dijual disana. "Selama tidak ada larangan dari aparat
atau Departemen Agama, kami bisa menjual bebas buku-buku seperti ini."
Menurut Sidney Jones, ini perkembangan yang relatif positif karena kelompok
ekstremis nampaknya mengalihkan upaya mereka dari garis perjuangan dengan
kekerasan bawah tanah, menjadi operasi penyebaran informasi yang lebih
terbuka. Meski mengakui ancaman munculnya kembali jaringan JI dan kelompok
ekstremisme masih ada, Sidney melihat upaya demokratisasi di Indonesia mulai
dipakai kelompok ekstrem untuk menyalurkan aspirasi mereka lewat jalur
politik. Sementara politik di Pakistan, sejauh ini menurut Jane Perlez masih
dikuasi segelintir keluarga feodal.

"Siapapun pemenang dalam pemilu di Pakistan pada akhirnya akan menggunakan
posisi politiknya untuk keuntungannya sendiri baik secara politis maupun
ekonomi. Mereka juga membiarkan hidup rakyat menderita."

Pelajaran berharga

Membandingkan pengalaman Indonesia dan Pakistan, menurut Menteri Pertahanan
Indonesia Juwono Sudarsono, harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.
Kalau ada yang bisa dijadikan contoh, menurut Juwono, adalah bagaimana
aparat di Indonesia berupaya keras menolak campur tangan berbagai pihak.
"Apa yang terjadi pada 2002-2005 adalah menolak keras tekanan dari berbagai
negara asing termasuk AS, Inggris, Australia dan Singapura. "Mereka
menginginkan hasil yang cepat dari polisi Indonesia." Juwono juga menekankan
"Lebih baik gagal pada mulanya, tapi berhasil dalam jangka panjang. Daripada
menuntaskan dalam waktu singkat hanya karena tekanan pihak asing." Upaya
memerangi ekstremisme di Pakistan sejauh ini masih sangat tergantung pada
peran pemerintah AS. Dibawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, setelah
rencana penarikan mundur pasukan dari Irak, AS menjadikan Afghanistan dan
Taliban sebagai fokus militernya di luar negeri.

Alkhori M

Alkhor Community

Qatar

 

_______________________________________________
Is-lam mailing list
Is-lam@milis.isnet.org
http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam

Reply via email to