Masihkah Ada Ahli Kitab?
Penulis:Herlini Amran

Di Ummi edisi No. 10/XIV Februari-Maret 2003 hal. 29 dituliskan bahwa “Pernikahan seorang laki-laki yang mukmin dengan seorang wanita ahlul kitab diperbolehkan oleh Islam”. Ahli kitab di masa Rasulullah adalah orang yang memegang teguh keyakinannya terhadap kitab injil/ taurat yang waktu itu isinya masih murni. Sedangkan sekarang, injil isinya sudah disesuaikan dengan kebutuhan orang-orang gereja seperti yang terungkap dalam revolusi Inggris. Yang ingin saya tanyakan:
1.Apakah di zaman sekarang ini masihkah ada ahli kitab? Bolehkah menikahi wanitanya?.
2.Pernikahannya Yassir Arafat dengan seorang Nasrani (ahli kitab), apakah itu sah?
3.Bagaimana dengan kasus pernikahan lain agama yang ada di masyarakat kita sekarang?
Mohon penjelasannya, jazakumullah khairan katsiran.
Farichah H, Jawa Tengah

Jawab :
Ukhti Farichah yang sholihah, pertanyaan tentang siapa sebenarnya ahli kitab itu memang telah menjadi topik pembicaraan yang tidak pernah habis-habisnya dibahas sejak dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Sebab ini terkait dengan masalah pernikahan dan makanan mereka, apakah halal ataukah haram bagi umat Islam.

1. Pernyataan ukhti bahwa “ahli kitab di masa Rasulullah adalah orang yang memegang teguh keyakinannya terhadap kitab injil/taurat yang waktu itu isinya masih murni” tidak sepenuhnya benar. Bukankah di masa Kenabian Muhammad SAW ahli kitab tersebut (yahudi dan nasrani) sudah menyimpang dari ajarannya disebabkan kitab suci mereka yang tidak murni lagi.

Salah satu contoh mereka memang sudah ‘menyimpang’ di masa Kenabian dapat dilihat dari asbabun nuzulnya surat Ali-Imran ayat pertama sampai sekitar ayat delapan puluhan. Saat itu orang-orang Nasrani dari Najran dengan pendetanya datang kepada Nabi Muhammad SAW menanyakan persoalan Nabi Isa AS. Bahkan mereka menentang Islam dengan berkata kepada Nabi SAW: Kami telah Islam sebelum kamu. Lalu Rasulullah SAW pun menjawab : Kalian pendusta, ada tiga perbuatan kalian yang bertentangan dengan Islam, pertama yaitu ucapan kalian yang mengatakan Allah memiliki anak, kedua kalian makan daging babi, dan yang ketiga kalian bersujud (menyembah) patung. Mereka kemudian bertanya : Lantas siapa ayah Isa ? Maka turunlah ayat 58,59,60 dari surat Ali-Imran. Ini menunjukkan bahwa pada saat itu mereka memang sudah menyimpang.

Bila ahli kitab yang telah menyimpang ada pada masa Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan masa sekarang, apakah masih ada ahli kitab tersebut. Terlebih lagi dengan adanya firman Allah yang menghalalkan makanan dan menikahi perempuan mereka, sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5: “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal pula bagi mereka. Juga dihalalkan menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian. Ini jika kalian telah membayar maskawin kepada mereka”.

Tidak dipungkiri, terdapat perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya menikahi wanita ahli kitab. Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I membolehkan menikahi wanita yahudi dan nasrani yang menjaga kehormatannya berdasarkan ayat diatas. Para sahabat antara lain Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir dan Khuzaefah juga telah menyatakan dihalalkannya menikahi wanita ahli kitab, begitu juga para tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Thawus dll. Namun sebaliknya Ibnu Umar ra pernah ditanya mengenai menikah dengan wanita ahlul kitab, maka beliau menjawab : Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman dan aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih berat (dosanya) pada kemusyrikan, dari pada seorang wanita yang mengucapkan : Tuhanku adalah Isa. Karena Isa termasuk salah satu dari hamba Allah SWT (HR.Bukhari).

Dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai hal ini maka al-khuruj minal khilaf amrun mubah (keluar dari permasalahan khilafiyah adalah boleh dan baik dilakukan). Kita tinggalkan perbedaan pendapat tentang boleh atau tidaknya menikahi wanita ahli kitab, lebih baik kita memfokuskan pembicaraan mengenai tujuan pernikahan. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk memilih calon istri berdasarkan agamanya (kesholehannya), agar terbentuknya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, sehingga dari ibu yang sholehah akan terlahir keturunan yang menjadi qurrota a’yun, generasi yang membawa kebahagiaan dunia akhirat.

Pendidikan anak sedari dini tidak akan mendapatkan hambatan bila diasuh oleh seorang ibu muslimah yang sholehah. Bandingkan bila anak diasuh oleh ibu yang masih ahli kitab, lantas ketika kita menginginkan anak itu mendirikan sholat, ternyata ia mendapatkan ibunya tidak sholat, tentu suasana rumah tangga seperti ini jauh dari ketentraman, apalagi sang anak lebih tertarik pada agama ibunya. Oleh karenanya sebagaimana pesan DR.Yusuf Qordhowi dalam Halal dan Haram menyatakan bahwa : Ada peringatan yang harus kita ungkapkan, yaitu seorang muslimah betapapun keadaannya adalah lebih baik bagi seorang muslim, dari pada wanita ahli kitab. Bahaya akan terjadi pada masyarakat Islam apabila laki-laki muslim menikahi ahli kitab dengan meninggalkan wanita-wanita muslimahnya.

2. Bila merujuk pada pendapat yang membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, tentu saja bagi pandangan ini pernikahan Yaser Arafat sah. Perlu juga kita ketahui bahwa sahabat di masa Nabi SAW yang menikahi wanita ahli kitab, mereka kemudian menjadi seorang muslimah, misalnya Utsman bin Affan yang menikahi Na’ilah binti Farafadhah al-Kalabiyah yang nasrani kemudian setelah menikah masuk Islam.

3. Kasus pernikahan lain agama yang ada pada masa kita sekarang tentu saja sangat berbeda dengan pernikahan lain agama yang terjadi pada masa sahabat ra. dan salafus sholeh terdahulu. Mereka menjadikan pernikahan dengan wanita ahli kitab sebagai salah satu cara perluasan dakwah Islam, sehingga tidak hanya istri mereka saja yang menjadi muslimah, bahkan sanak kerabat merekapun menjadi Islam. Pada masa sekarang ini hawa nafsu lebih mendominasi, pertimbangan untuk kepentingan masa depan sering terabaikan. Tak jarang setelah menikah pihak suami yang muslim kemudian beralih agama mengikuti jejak agama istrinya. Kalaupun sang suami masih muslim, namun anak-anak mereka cendrung mengikuti jejak ibunya. Ayah ibu yang masih satu agama saja (islam) masih mengalami kesulitan untuk mencetak keturunan yang sholeh sholehat, bagaimana lagi dengan ayah ibu yang berbeda keyakinan. Mudah-mudahan hal ini menjadi pertimbangan bagi laki-laki muslim dalam memilih pendamping hidupnya, hendaknyalah faktor agama dan kesholehan menjadi prioritas utama. Kelak setelah mereka meninggal, doa dari anak yang sholeh/at mengalir untuk orang tuanya yang ketika hidupnya telah mendidik putra putrinya dalam suasana rumah tangga yang islami.



Do you Yahoo!?
New and Improved Yahoo! Mail - 100MB free storage!

///// MEDIA JIM: Memurnikan Tanggapan Umum Melalui Penyebaran Ilmu dan Maklumat
//////////////////////////////////

Nota: Kandungan mel ini tidak menggambarkan pendirian rasmi Pertubuhan
Jamaah Islah Malaysia (JIM) melainkan yang dinyatakan sedemikian.

Berminat menjadi ahli JIM? Sila isi borang keahlian "online" di: http://www.jim.org.my/forms/borang_keahlian.htm

Langganan : Hantar E-mail kosong ke 
            [EMAIL PROTECTED]
Unsub     : Hantar E-mail kosong ke 
            [EMAIL PROTECTED]



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke