Jumat, 03 Oktober 2008 06:30 WIB
Gus tf Sakai 
Dari Payakumbuh Melintas Batas Dunia 
Penulis : Hendra Makmur
 
 
PADANG--MI: Jika menyadari hidup dalam kampung global, tidak ada 
relevansinya jika kita mempertentangkan hidup di kota atau di pelosok 
desa. Lihat saja,  dari Payakumbuh, sebuah kota kecil sekitar 150 
kilometer di timur laut Kota Padang, Gus tf Sakai mampu menembus 
sekat-sekat Indonesia bahkan antar negara, melalui sastra. Karyanya 
berupa novel, cerpen dan puisi menjangkau atmosfer yang luas, bukan 
sekedar budaya habitatnya, Minangkabau. 

Penyair yang bernama asli Gustrafizal ini memutuskan hidup menjadi 
penulis setelah tamat dari Fakultas Peternakan Universitas Andalas, 
Padang pada 1994. Keputusan tersebut kemudian dibarengi dengan 
pilihannya untuk kembali tinggal di daerah asalnya yang acap disebut 
Luhak 50 Koto. 

Tinggal di kota kecil, malah mendukung kreatifitas Gus. Puluhan 
penghargaan ia peroleh sejak dari tingkat internasional hingga ke 
nasional. Antara lain, penghargaan sastra Lontar untuk kumpulan 
cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2001), Sih Award dari 
Jurnal Puisi untuk puisi Susi, 2000 M (2002), SEA Write Award dari 
Kerajaan Thailand untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan 
Buta (2004) dan Penghargaan Sastra Khatulistiwa untuk kumpulan cerpen 
Perantau (2007). 

Pada peringatan kemerdekaan Agustus lalu, pemerintah provinsi Sumbar 
memberi Anugerah Tuah Sakato untuk Gus bersama 13 orang lainnya. 
Sebuah penghargaan baru untuk menghargai tokoh Minang yang konsisten 
berkarya di bidangnya. 

Gus kaget atas penghargaan itu. "Semoga telah berubah. Orang 
Minangkabau biasanya lebih menghargai orang-orang yang tinggal di 
rantau," katanya kepada Hendra Makmur dari Media Indonesia, Kamis 
(2/10) lalu. 

Ia lalu bercerita banyak tentang proses kreatifnya, mainstream sastra 
dunia serta sastra Indonesia yang masih sering terjebak dalam konflik 
kelompok. Berikut petikan wawancaranya: 

Sudah puluhan penghargaan yang Anda terima hingga dua yang terakhir 
Khatulistiwa Literary Award dan Anugerah Tuah Sakato dari Gubernur 
Sumbar. Apa yang Anda rasakan? 

Saya tentu berterima kasih. Ada sesuatu yang beda. Sesuatu yang 
semoga telah berubah. Orang Minangkabau, Anda tahu, biasanya lebih 
menghargai orang-orang yang tinggal di rantau ketimbang yang tinggal 
menetap di kampung sendiri. 

Bagaimana proses pencarian ide Anda ketika berkarya? Apakah mengalir 
begitu saja? Ataukah butuh pemicu atau peristiwa sebagai pemantik? 

Saya kira kedua-duanya. Sangat banyak yang kita tak tahu. Dan mencari 
adalah suatu keharusan. Begitu kita menemukan sesuatu, keinginan 
menulis akan sangat besar. Tapi di sisi lain kita membutuhkan 
segalanya mengalir begitu saja agar apa yang kita tulis menjadi 
wajar, tak terkesan dibuat-buat atau dipaksakan. 

Bagaimana perbedaan proses pencarian ide untuk karya puisi dan prosa? 
Nama Gus tf dan Gus tf Sakai yang Anda bedakan untuk karya puisi 
maupun prosa, apakah berlatar belakang perbedaan yang mendasar ketika 
menghasilkan dua karya itu? 

Dulu, pada masa atau periode awal-awal menulis, memang ada semacam 
pertimbangan apakah suatu ide lebih cocok untuk puisi ataukah lebih 
cocok untuk prosa. Tapi sekarang rupanya tidak. Apa pun idenya, bila 
yang ada Gus tf, maka yang muncul adalah puisi. Bila Gus tf Sakai, 
yang muncul prosa. Jadi tak ada beda mendasar. Satu hal yang agak 
jelas: Gus tf sering muncul ketika sedang bepergian atau dalam 
perjalanan, sedangkan Gus tf Sakai ketika sedang menetap atau tinggal 
lama, membaca-baca, menyelidik, meneliti sesuatu tak ke mana-mana. 

Apa yang membuat Anda memutuskan berdomisili di Payakumbuh, sementara 
banyak sastrawan lain merasa perlu pindah ke Jakarta? 

Saya tak tahu apa pertimbangan sastrawan lain. Tetapi saya kira, 
dengan kemajuan dan segenap kemudahan yang disediakan teknologi, 
domisili tak lagi penting. Dunia telah mengecil. Anda bisa melompat 
dari suatu dunia ke dunia lain dalam hitungan detik 

Apakah Anda tidak merasa ketinggalan informasi dengan tinggal di kota 
kecil? 

Tidak. Bagaimana akan ketinggalan informasi bila suatu kejadian di 
suatu belahan dunia bisa dengan mudah hadir di hadapan kita, bahkan 
pada saat yang sama? 

Dengan memilih tinggal di Payakumbuh, pasti kota ini ada kelebihannya 
untuk Anda. Boleh tahu apa itu? 

Ya, saya kira ada. Kemudahan dan kebergegasan informasi membuat Anda 
berada dalam irama hidup yang cepat. Dan kota kecil semacam 
Payakumbuh, di mana segalanya masih berjalan relatif alami dan pelan, 
akan memberi Anda semacam keseimbangan. 

Sepertinya Anda menikmati betul tinggal di Payakumbuh. Apakah itu 
mempengaruhi proses Anda dalam berkarya? 

Ya saya kira juga. Selain keseimbangan tadi, di mana Anda bisa ulang-
alik antara kebergegasan dan kepelanan, lebih dari itu semua, saya 
tetap berada di dunia nyata. Maksud saya, saya tak berjarak dari 
atmosfer hidup yang melahirkan saya. Dengan kata lain, saya tak mudah 
tercerabut dari akar budaya, sesuatu yang sangat penting yang memberi 
kontribusi, sekaligus perbedaan, antara satu pengarang dengan 
pengarang lain. 

Dari banyak karya Anda, Anda dikatakan melintas batas-batas daerah 
dan bahkan dunia. Bagaimana Anda bisa menulis banyak tentang tempat 
lain, sementara Anda lebih banyak tinggal di Payakumbuh? Apa cukup 
dengan media massa dan internet saja? 

Sudah saya katakan, kemajuan teknologi telah memanjakan kita untuk 
bisa berada di mana saja. Kita bisa melintas, ulang-alik, dari satu 
belahan dunia ke lain belahan dunia. Bahkan dari satu masa ke lain 
masa. Tapi jangan lupa, karena kemajuan teknologi juga telah 
menyeragamkan banyak tempat di dunia, baiklah kita mengenali atau 
menyebut segala jarak tempat dan waktu itu sebagai khasanah. Hanya 
dengan begitu kita bisa melihat segalanya dengan berbeda, yang pada 
gilirannya memperkaya. Tapi pula, tentu selalu ada kasus di mana 
internet dan media massa saja tak cukup. Dan saya beruntung karena 
kadang diundang ke berbagai tempat. 

Apa kegiatan Anda selain menulis sekarang? 

Tak ada, atau mungkin belum ya? 

Apakah Anda sedang menyelesaikan karya baru? 

Ya, tapi selalu tak pernah selesai. 

Novel, cerpen, atau puisi? 

Ya semua. He he … 

Kalau boleh dapat bocoran, tentang apa? 

Novel, tentang sebuah kampung yang hilang. Cerpen dan puisi macam-
macam. 

Kapan rencananya akan terbit? 

Tak tahu kapan akan terbit. Ya karena itu tadi, tak pernah selesai-
selesai. He he … 

Bagaimana pendapat Anda tentang banyaknya penulis baru saat ini yang 
langsung melejit, terkenal, dan laku di masyarakat? 

Ya bagus. Mereka mestinya cerdas-cerdas ya? Mereka lahir dan tumbuh 
pada zaman di mana banyak hal datang dari segala arah. 

Apa ini hal positif? Atau ada tidak baiknya? 

Ya positif kalau mereka bisa memberdayakan itu semua. Tapi bisa pula 
negatif, karena banyak hal yang datang timpa-bertimpa itu membuat 
kita bisa terjebak dalam kedangkalan. Dan dalam masyarakat kita, 
Indonesia, yang amburadul dan direpotkan oleh banyak hal ini, sesuatu 
yang dangkal cenderung disukai. Maka yang melejit, terkenal, laku, 
sangat sering berkebalikan dengan kualitas. 

Menurut Anda, ke mana arah mainstream sastra dunia sekarang? 

Ke kesadaran betapa beragam sumber penciptaan. Kekayaan dari berbagai 
khasanah mulai jadi perhatian. Sastrawan dengan tradisi sastra yang 
kokoh seperti Eropa, untuk mempertahankan tradisi itu, mulai 
membongkar dan mendekontruksi tradisinya. Kita lihat sekarang 
penghargaan-penghargaan sastra internasional mulai banyak diperoleh 
oleh karya-karya sastra hibrida, yang pengarangnya berasal dari 
negara-negara kolonial atau bekas jajahan. 

Di Indonesia ke mana? 

Sepertinya masih meraba-raba. Kalau saja mereka tahu betapa kayanya 
sumber-sumber lokal. 

Mengapa seolah sastawan tak lepas dari intrik sejak dulu. Banyak 
perpecahan, misalnya adanya blok Utan Kayu, Horizon, dll. Bagaimana 
Anda memandangnya? Apakah ini tidak merugikan? 

Ya tentu saja merugikan. Selain tradisi sastra kita masih sangat 
muda, ini tak lepas dari sejarah awal kesusastraan kita yang tidak 
berfungsi atau diletakkan atas dasar kepentingan sastra, melainkan 
atas dasar kepentingan lain seperti politik. Sastra belum kita 
pandang sebagai suatu teks yang punya sifat dan ukuran-ukuran 
sendiri. Dan jejak itulah yang masih membekas sampai kini. 

Bagaimana solusinya ke depan menurut Anda? 

Tak lain,  marilah kita kembalikan ini semua. Mari kita lihat hanya 
teks sastra, kepentingan sastra. Jangan lagi kepentingan kelompok. 
Sastra yang karena ukuran-ukurannya bersifat menyatukan, kok malah 
menjelma jadi alat kepentingan kelompok yang sifatnya justru 
memisahkan. Sesuatu yang sangat bertolak-belakang, bukan? (Hrm/X-4) 



------------------------------------

-- 
www.itcenter.or.id - Komunitas Teknologi Informasi Indonesia 
Gabung, Keluar, Mode Kirim : [EMAIL PROTECTED] 

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ITCENTER/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ITCENTER/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke