Ass.Wr.Wb.
Siapa yang harus menyantuni Khaerunisa-khaerunisa yang lain ..........?
 
Wass / Jaerony.-
 
----- Original Message -----
From: Ambon

MEDIA INDONESIA
Kamis, 16 Juni 2005


Jakarta dan Kematian Khaerunisa
Endang Srihadi, peneliti The Indonesian Institute, Jakarta

'Air mata bercucuran peluh terus bersimbahan. Ayah dan abangmu akan mencari kuburan tapi tak akan ada kafan untukmu. Tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah hanya matahari mengikuti memanggang luka yang semakin perih tanpa seorang pun peduli. Aku pun bertanya sambil berteriak pada diri benarkah ini terjadi di negeri kami'? (Dikutip dari puisi Kisah dari Negeri yang Menggigil untuk adinda Khaerunisa karya penyair cilik Abdurahman Faiz)

Faiz dan kita memang tidak sedang bermimpi. Kisah pilu yang mengilhaminya menulis puisi tersebut terjadi pada Minggu 5 Juni 2005 lalu. Supriyono, seorang pemulung, harus menggendong jenazah Khaerunisa (putrinya yang berusia tiga tahun) menumpang kereta rel listrik jurusan Jakarta - Bogor karena tak mampu sewa mobil jenazah. Dia berniat memakamkan jenazah putrinya di Bogor karena tidak mampu membayar biaya pemakaman umum di Jakarta. Ketiadaan biaya untuk berobat di rumah sakit pula yang menyebabkan nyawa putrinya tidak terselamatkan.

Meskipun niat Supriyono akhirnya diurungkan, dan berkat bantuan warga jenazah putrinya dapat dimakamkan dengan layak, kisah ini kembali menyibakkan persoalan serius bahwa banyak rakyat miskin di negeri ini tidak memperoleh manfaat maksimal dari pelaksanaan pembangunan.

Pembangunan, logikanya memiliki dua implikasi: terkadang menyejahterakan rakyat dan terkadang sebaliknya. Problemnya, praktik pembangunan terutama di negara dunia ketiga, lebih banyak menyengsarakan dan memiskinkan masyarakat ketimbang menyejahterakan mereka. Problem ini dapat dipahami karena pembangunan lebih dominan dimaknai sebagai proses mekanis belaka. Mesti dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu untuk mencapai target-target tertentu pula.

Potret rakyat miskin yang terpinggirkan karena proses pembangunan jelas tampak dalam kisah Supriyono, dan berjuta rakyat miskin di negeri ini. Siapa yang seharusnya memberi perlindungan sosial kepada mereka di saat roda pembangunan terus menggilas?

Kebijakan perlindungan sosial negara ini tidak pernah tegas berpijak pada pendekatan jaminan sosial yang mana. Dalam UUD 1945 disebutkan, "Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara," seolah-olah negara ingin mewujudkan welfare state. Kenyataannya, kisah Supriyono, rangkaian kasus bunuh diri anak sekolah karena ketiadaan biaya pendidikan dan merebaknya kasus gizi buruk menjadi bukti bahwa negara tak jua menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Di sisi lain, negara justru berkehendak agar masyarakat dan sektor swasta lebih terlibat dalam jaminan sosial, berarti ada keinginan untuk mewujudkan welfare pluralism. Hal ini tampak dalam prosesi pemakaman mendiang Khaerunisa yang seluruh biayanya ditanggung oleh anggota masyarakat. Tidak tampak peran negara di dalamnya.

Bagi pemerintah, jaminan sosial sebatas dimaknai pada perlindungan terhadap sektor-sektor formal seperti jaminan sosial terhadap tenaga kerja, asuransi sosial dan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), asuransi kecelakaan penumpang dan lalu lintas dalam perjalanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), konteks jaminan sosial masih sebatas pada jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Padahal, dalam wacana tentang perlindungan sosial kontemporer semakin meluas mencakup isu di sekitar perlindungan terhadap sektor informal perkotaan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sehat, serta perumahan.

UU SJSN ini menjelaskan bahwa program jaminan sosial dijalankan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan pesertanya adalah setiap orang (pekerja formal) yang telah membayar iuran. Karena itu, setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Askes, Jamsostek, Taspen, Asabri, dan lain-lain) secara berkala.

Dalam hal kepesertaan umum bagi rakyat miskin, pemerintah berkewajiban membayar iurannya. Dalam Pasal 17 disebutkan bahwa iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Konsekuensinya, sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah untuk mendanai iuran rakyat miskin. Belum lagi, manfaat yang diperoleh rakyat miskin sebatas untuk program jaminan kesehatan. Itu pun harus melalui prosedur administratif yang lumayan merumitkan.

Melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM bidang kesehatan yang diintegrasikan menjadi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) pemerintah menjanjikan bahwa semua rakyat miskin akan memperoleh layanan kesehatan gratis di puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Untuk memperoleh manfaat program ini, setiap rakyat miskin harus tercatat sebagai peserta program dan terdaftar sebagai penduduk resmi yang ditandai dengan memiliki kartu tanda penduduk. Masalahnya, aparat di tingkat lokal memiliki kesulitan dalam menentukan warganya yang miskin karena belum ada indikator kemiskinan yang baku. Belum lagi, banyak individu miskin yang tidak tercatat sebagai penduduk resmi di negeri ini.

Akhirnya, mereka yang bernasib seperti Supriyono yang hanya mampu tinggal di jalan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap sangat memungkinkan tidak tercakup sebagai peserta program. Ketidakberdayaan dalam mengakses informasi seputar program perlindungan sosial yang menjadi hak rakyat miskin turut melengkapi persoalan. Yang terjadi kemudian, ketika berupaya mengobati penyakit anaknya, Supriyono tidak memenuhi persyaratan administrasi apa pun untuk mengakses pelayanan kesehatan gratis.

Jika kita merefleksikan kembali kisah Supriyono, harus diakui bahwa pemerintah gagal menyediakan perlindungan sosial bagi rakyatnya. Model jaminan sosial yang diusung pemerintah sebatas dimaknai pada tataran formal dan tidak mengedepankan nilai-nilai humanisme yang mampu mengalahkan batas-batas prosedural administratif yang menjadi hambatan rakyat miskin untuk memperoleh jaminan sosial.

Sejatinya, dengan mengutamakan nilai-nilai humanisme, kebijakan perlindungan sosial yang ada harus menyentuh kelompok masyarakat termiskin dari yang miskin. Karena bila rakyat termiskin seperti Supriyono tidak merasakan manfaat kebijakan tersebut, maka efektivitas kebijakan dikatakan minimal dalam hal pencapaian tujuannya.

Hal terpenting adalah bagaimana nilai-nilai humanisme terus melekat di setiap individu negeri ini, terutama para perumus dan pelaksana kebijakan publik. Selayaknya kita dapat belajar dari Abdurahman Faiz yang masih berusia delapan tahun, namun telah mampu menunjukkan bagaimana nilai-nilai humanisme tumbuh di hati setiap insan.***

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke