Jumat, 21 Juli 2006

Bersahabat dengan (Bencana) Alam

Oleh : Zaim Uchrowi

Ketika (sekali lagi) ribuan keluarga harus terempas kehidupannya, kehilangan orang-orang yang dicintainya, bahkan kehilangan jiwanya sendiri akibat bencana, apa yang harus kita sikapkan?

Cukupkah kita mengeluh. "Mengapa kita beruntun terkena bencana?" Atau kita, untuk kesekian kalinya, mengutip lagu lama Ebiet. "Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa ...." Ataukah, kita akan mengkaji kembali seluruh sikap kita pada ayat-ayat kauniyah atau realitas berupa alam sekitar milik Sang Mahaagung yang selama ini cenderung kita anak tirikan di hadapan ayat-ayat qauliyah? Lagu lama pendekatan keagamaan akan mengatakan bahwa bencana adalah musibah atas kehendak Allah. Musibah bisa merupakan cobaan, seperti yang diberikan pada orang-orang salih terdahulu. Namun, dapat juga merupakan hukuman seperti yang ditimpakan pada kaum-kaum sesat di masa lampau.

Bila musibah adalah cobaan, cara tepat buat menyikapinya adalah "bersabar" dan "berserah diri". Bila bencana adalah hukuman, kita harus mengucap "istighfar" dan mengubah perilaku. Dengan perspektif inilah para ulama tak henti mengingatkan betapa banyak perilaku maksiat yang bertebaran di sekitar kita. Rentetan bencana alam, dalam perpektif seperti ini, sangat mungkin disebabkan perilaku kita yang "semakin jauh dari Allah".

Pandangan itu benar. Kerusakan moral bangsa ini telah sedemikian serius. Ada yang menyebutkan bahwa "mayoritas bangsa ini sudah tidak waras, baik penguasa, pengusaha, rakyat jelata, cendekia, bahkan tokoh-tokoh agama. Semua telah menjadi sangat materialistis". Tapi, memadaikah mengaitkan bencana ini semata dengan persoalan moral?

Realitas mengajarkan bahwa bangsa kuat umumnya adalah bangsa yang mampu mengelola alamnya yang garang. Bangsa-bangsa Barat dan Asia Timur menjadi kuat karena tempaan iklim ekstrem. Musim dingin telah memaksa mereka berdisiplin mengelola hidup dan lingkungannya. Hingga kini, hampir setiap keluarga Barat, masih terlatih untuk mengantisipasi masa-masa sulit. Termasuk menyediakan kotak makanan dan kebutuhan darurat sewaktu-waktu keadaan tak terduga terjadi.

Kaum Qurais mampu hidup di Makkah ribuan tahun sejak masa Nabi Ibrahim karena kemampuannya menghadapi alam yang keras. Sebagaimana digambarkan dalam Alquran, di saat Makkah sangat dingin, mereka umumnya pergi ke Yaman yang lebih panas. Di saat Makkah sangat panas, mereka pun pergi ke Syria yang lebih dingin. Itu yang membuat mereka menjadi pribadi sekaligus pedagang kuat hingga sekarang. Daulah Abbasiyah berjaya di Abad ke-8 karena kepiawaiannya mengelola. Mereka mengirim tim peneliti untuk tinggal dua tahun penuh di wilayah bekas kekuasaan Persia, mencatat keadaan cuaca, aliran air, bahkan angin setiap hari untuk membangun kota baru Baghdad yang mencengangkan dunia saat itu.

Para tokoh besar masa lampau adalah ahli ayat-ayat realitas yang luar biasa. Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, dan banyak lainnya adalah 'profesor' ayat-ayat realitas alam terbaik di dunia pada masanya. Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Batutah, dan banyak lainnya adalah 'profesor' ayat-ayat realitas sosial kelas dunia yang tak terbantahkan. Mereka menunjukkan bahwa orang beriman akan selalu mendalami dan memegang teguh ayat-ayat Alquran-hadis dan ayat-ayat realitas alam-sosial secara bersama. Dengan menggenggam kedua jenis ayat tersebut sekaligus, mereka terbukti mampu mengukir peradaban dunia.

Seruan moral memang penting. Dorongan untuk lebih taat beribadah dan menjauhi maksiat harus pula ditingkatkan. Memperbanyak istighfar serta zikir sungguh beharga.

Namun, seperti ditunjukkan para ulama terdahulu, agama tidak hanya menyangkut ritual ibadah dan berperilaku baik. Agama juga menyangkut kemampuan untuk mengelola alam dan sosial. Termasuk mengelola bencana alam yang kini semakin menjadi keseharian kita. Untuk itu, kita perlu memperdalam pula penguasaan ayat-ayat Allah berupa ayat-ayat realitas. Kita harus malu mengaku beragama namun tidak tahu apa-apa dalam mengelola bencana, lantaran kita memang tak mau mendalami ayat-ayat kauniyah berupa ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang universal.

Gunung masih akan meletus. Bumi masih akan bergetar. Gelombang seperti tsunami juga masih akan menerjang. Bila memegang ayat kauniyah sama teguh dengan ayat qauliyah dalam beragama, kita akan menjadi akrab dan bersahabat dengan realitas itu. Kemungkinan korban jatuh dan kerusakan akan dapat ditekan. Sebaliknya, kita akan menjadi bangsa yang kuat. Bangsa yang tidak gampang meratap, dan malu bila mengeluh pada nasib.

-----------------------------------------------------------------------------
Rabu, 19 Juli 2006

Ya Allah, Cukuplah Sampai di Sini ...

Oleh : Asro Kamal Rokan

Ya Allah, kami takut lelah atas musibah demi musibah ini. Kami takut, musibah yang beruntun ini sebagai suatu yang biasa, sehingga kami kehilangan rasa cinta, dan tak hendak lagi tolong-menolong. Kami takut kehilangan pegangan, kehilangan rasa kemanusiaan, lelah berharap, panik, dan menjadi putus asa.

Ya Allah, kami yang bodoh dan hina ini tidak ingin berprasangka buruk, tak ingin lagi bertanya, apakah segala bencana ini tanda cinta atau kemurkaan-Mu? Bantulah kami memahami semua yang terjadi dan hentikan ketakutan kami.

Cukuplah kaum Nabi Nuh as, kaum Nabi Luth as merasakan kepedihan karena ingkar, jangan lagi timpakan kepada kami bencana. Cukupkan ya Allah, cukupkan sampai di sini.

Belum kering tanah makam saudara-saudara kami di Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum tumbuh pohon-pohon di pusara, belum lekang ingatan kami jerit perih bayi dan anak-anak akibat gempa teknonik. Belum mengatup luka di tubuh saudara-saudara kami. Kini, 17 Juli, Senin sore yang cerah, gempa diikuti gelombang pasang telah pula melanda Pangandaran, Ciamis, Cilacap, dan Tasikmalaya.

Lebih seratus orang tewas, ratusan orang lagi luka-luka. Rumah-rumah roboh. Sebagian besar mereka adalah orang-orang miskin. Dan, perahu-perahu nelayan itu, ratusan jumlahnya, semula mengapung dalam ayunan ombak, tiba-tiba terpelanting dan pecah. Sebagian nelayan-nelayan itu tidak diketahui nasibnya, tak sempat berkata apa-apa, tak sempat berpamitan untuk selamanya.

Ya Allah, musibah datang silih berganti, sangat cepat. Belum sempat kami menghitung jarak hari dari satu musibah ke musibah lainnya. Belum sempat kami memahami apa yang terjadi. Kami takut Kau marah, seperti terhadap kaum Nabi Nuh, yang ingkar dan menyekutukan-Mu.

Ya, Allah ... telah begitu banyak kesesatan terjadi dan sebagian dari kami melihatnya sebagai suatu yang biasa. Bahkan, bencana yang bertubi-tubi inipun tak membuat kami benar-benar sadar dan mengubah tingkah laku kami. Kami lebih suka berdebat -- termasuk tentang berbagai bencana ini, apakah atas kehendak-MU atau gejala alam biasa -- kami lebih suka mencari-cari penyebab dan saling menyalahkan, padahal semua yang terjadi ada dalam firman-MU. Kami lupa kembali pada firman-firman suci itu. Kami merasa mengetahui semuanya, berkehendak atas semuanya. Kami merasa kematian tidak pernah datang tiba-tiba, tapi mengikuti keinginan dan khayalan kami.

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): 'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.' (QS Hud: 25-26)

Jangan jadikan kami kaum Nabi Nuh. Orang-orang kaya, bangsawan, dan terpandang mengusir orang lemah, orang-orang miskin, atas nama persamaan dan menantang kekuasaan-MU. Jangan biarkan kami menyekutukan-MU, membiarkan kami melambai-lambai perahu Nuh yang menjauh dalam arus air bah yang semakin besar.

Jika bencana demi bencana ini merupakan peringatan dari-MU, maka tolonglah kami: Janganlah Engkau masukkan kami dalam golongan bangsawan dan putra Nuh yang durhaka itu, tapi masukkan kami dalam perahu Nuh, bersama puluhan pasang hewan-hewan itu. Ya Allah, kami sangat takut. Cukupkanlah sampai di sini.

Ujian Kehidupan

Oleh : Witra Moerad

Dalam menjalani kehidupan, manusia selalu menghadapi dua keadaan yang saling bergantian. Suatu ketika merasakan duka, pada saat lain bertukar dengan suka. Pada saat duka seringkali manusia berkeluh kesah, seolah penderitaan tiada pernah berakhir. Sebaliknya, jika ia merasakan kebahagiaan, menjadi lupa.

''Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, bila ia mendapat kebaikan dia menjadi kikir.'' (QS Al-Ma'arij [70]: 20-21). Ujian merupakan alat ukur keimanan dan ketakwaan seseorang, sampai di mana taraf keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

''Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.'' (QS Al-Mulk [67]: 1-2).

Perasaan senang karena mendapatkan suatu karunia, baik berupa harta, pangkat, jabatan, anak, prestasi, atau prestise, juga salah satu ujian. Janganlah kita menjadi lupa bahwa karunia tersebut merupakan anugerah dari Yang Maha Penyayang, karena saat kita hadir di dunia tiada mempunyai apa-apa, baik ilmu apalagi harta.

''Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.'' (QS An-Nahl [16]: 78).

Keuletan, ketelitian, dan keteguhan perlu dimiliki oleh mereka yang ingin agar hidupnya berhasil mendapatkan kebahagiaan. Selaku manusia yang beriman kepada Allah SWT ujian kehidupan disikapi dengan tawakal, tidak panik, putus asa, lupa diri yang akan berakibat bagi kestabilan jiwanya.

Mengembalikan segala permasalahan kepada Allah SWT rasanya akan lebih menunjukkan bahwa memang manusia sangat membutuhkan pertolongan-Nya, serta meyakini bahwa di balik setiap kesulitan akan muncul kemudahan. Bersyukur terhadap segala pemberian Allah SWT, banyak maupun sedikit, besar maupun kecil akan membuat hati menjadi tenang dan tidak tergiur angan-angan. ''Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin, karena segala urusan dipandang baik. Dan tidak ada keadaan yang demikian itu kecuali hanya bagi seorang Mukmin. Apabila dia merasakan kesenangan, maka dia bersyukur. Apabila merasakan kesusahan, maka ia bersabar.'' (HR Muslim).

Semoga setiap menghadapi masalah kita dapat lebih sabar, arif, dan berusaha mencari solusi dengan bertawakal kepada Allah SWT, sebagai bukti keimanan kepada-Nya. Bukan mencari sesuatu yang tidak diridhai Allah SWT. Hasbiyallahu laa ilaaha illaahu 'alaihi tawakkaltu wa huwa Rabbul 'arsyil 'azhiim.



www.republika.co.id

Kirim email ke