Almasdi Rahman wrote: > Kayaknya artikelnya pro ke pemeritah ya Om?................ > wassalam /al
Ya, mungkin karena beliau anggota Badan Hisab Rukyat, Depag RI, ini artikel lainnya yang 2007. -- A. Yahya Sjarifuddin, ----- Original Message ----- From: "T. Djamaluddin" <[EMAIL PROTECTED]> Media Indonesia, 10 Oktober 2007 Menuju Titik Temu Menentukan 1 Syawal Penulis: T Djamaluddin, Peneliti Utama Astronomi Astrofisika, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan, Bandung, Anggota Badan Hisab Rukyat, Depag RI Ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari, sebagai bagian astronomi, bukanlah ilmu langka. Kini banyak yang menguasainya, termasuk ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis. Bahkan dengan banyaknya program komputer, siapa pun yang bisa mengoperasikannya dengan mudah dapat menghitung posisi bulan dan matahari. Masalahnya, tidak semua orang mengerti arti angka dalam penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya dalam penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Kini, dengan metode astronomi yang sama, bahkan dengan program komputer, hasil hitungan pasti akan sama. Tidak peduli siapa yang menghitung, apakah Muhammadiyah, NU, Persis, atau orang awam. Terlalu naif, ada yang merasa hasil hisabnya lebih unggul dan seolah metodenya beda dengan metode ormas lain yang menggunakan rukyat. Padahal tidak ada bedanya, semua ormas bisa menghitung dengan hasil yang sama. Dalam astronomi, yang menjadi induk ilmu hisab dan rukyat, tidak ada dikotomi hisab (perhitungan) dan rukyat (observasi). Keduanya saling mendukung dan tidak bertentangan. Kekisruhan yang terjadi dalam perbedaan penentuan Idul Fitri semata-mata lebih bernuansa kesalahpahaman hisab rukyat yang diperparah dengan ego keormasan. Kalau kita kaji akar masalahnya, sebenarnya sederhana solusinya. Samakan kriterianya dalam menafsirkan angka-angka hasil hisab. Banyak yang pesimistis menyatukan pendapat antara Muhammadiyah dan NU, karena berbeda keyakinan dalam memahami dalil syariat. Banyak juga yang mengira sumber perbedaan adalah pertentangan antara kubu hisab dan rukyat. Belajarlah dari ilmu induknya, astronomi, untuk menafsirkan makna angka-angka hasil hisab yang seharusnya tidak bertentangan dengan hasil rukyat. Penyatuan hasil hisab dan rukyat dalam menyimpulkan masuk awal bulan atau belum, terletak pada kriteria awal bulan. Kini ada dua kriteria yang digunakan dua ormas yang sering menimbulkan kesimpulan berbeda ketika posisi bulan di Indonesia berada pada ketinggian di antara dua kriteria tersebut, seperti terjadi pada 2006 dan 2007. Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (bulan telah wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (berlaku di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan hukum). Sementara itu, NU menggunakan ketinggian minimal 2 derajat dengan prinsip menunggu hasil rukyat. Kedua kriteria itu adalah kriteria lama yang secara astronomi dianggap ketinggalan zaman. Sebenarnya sangat memalukan bila masih ada pihak yang tetap mempertahankannya. Apalagi bila dianggapnya sesuatu yang qath'i (mutlak benarnya) secara hukum. Kita bisa bersatu kalau kita menyempurnakan kriteria kemudian menyepakatinya sebagai kriteria hisab rukyat yang baru. Dalam konsep ini, bukan meminta yang satu naik yang lain turun, tetapi mengajak semua pihak sama-sama maju selangkah. Muhammadiyah Bagaimana Muhammadiyah harus melangkah tanpa meninggalkan keyakinannya bahwa hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan. Kita coba pendekatan lain menuju titik temu. Tidak menggunakan alur lama ketika membahas dalil, tetapi alur alternatif untuk mencari titik temu. Secara ringkas, alur alternatif itu; Dalam Alquran (QS) 2:185 diperintahkan berpuasa bila telah menyaksikan syahr (bulan kalender,month, bukan moon). Apa tandanya syahr QS 2:189 menjelaskan tentang hilal sebagai penentu waktu bagi manusia dan penentu pelaksanaan ibadah haji. Bagaimana memanfaatkan hilal untuk penentu syahr? Muhammadiyah biasanya menggunakan QS 36:39-40 yang menjelaskan bahwa matahari tidak mungkin mengejar bulan dan malam pun tidak mungkin mendahului siang. Tafsir singkatnya, syahr dapat ditentukan ketika matahari mulai mengejar bulan (mendahului terbenam) pada peralihan siang dan malam, yaitu kriteria wujudul hilal. Ini adalah kriteria paling sederhana, tetapi mengabaikan aspek rukyat. Untuk mencari titik temu, alurnya diubah ke dalil lain yang juga kuat. Apakah tandanya syahr, Rasulullah SAW menjelaskan secara eksplisit, "Berpuasalah bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila melihatnya." Maka hilal sebagai penentu syahr adalah yang terlihat. Dengan perkembangan ilmu, posisi bulan bisa dihitung dengan ilmu hisab. Lalu apa syaratnya agar terlihat? Ini dirumuskan dengan suatu kriteria imkan rukyat (kemungkinan rukyat) atau kriteria visibilitas hilal yang didasarkan pada pengalaman rukyat jangka panjang dan dihitung dengan ilmu hisab. Banyak ahli hisab yang terkesan antikriteria imkan rukyat, dengan ungkapan "Kalau sudah menghisab, mengapa harus membahas rukyat." Kepada mereka perlu dijelaskan, angka-angka hasil hisab tidak bisa langsung ditafsirkan menjadi awal bulan Qamariyah tanpa menggunakan kriteria. Kriteria itu bisa sekadar wujud di atas ufuk (wujudul hilal) dan bisa juga kemungkinan untuk dirukyat. Komunitas astronomi merujuk pada kemungkinan untuk dirukyat (imkan rukyat atau visibilitas hilal). Untuk mencapai titik temu, kriteria yang harus dipilih adalah kriteria imkan rukyat. Inilah yang disebut maju selangkah, memilih kriteria yang menuju titik temu. Muhammadiyah nantinya perlu merumuskan bersama kriteria imkan rukyat yang bagaimana yang diusulkan. Apakah berdasarkan rukyat lokal atau hasil analisis internasional. NU NU pun harus maju selangkah, tanpa harus mengubah keyakinan, rukyat yang menentukan. Kriteria imkan rukyat yang selama ini digunakan perlu diubah. Kriteria 2 derajat berasal dari data pengamatan yang menyatakan hilal terendah yang berhasil diamati ketinggiannya 2 derajat. Dalam kompilasi hasil sidang isbat Depag memang ada data pada 16 September 1974 dilaporkan rukyat berhasil dilihat di 3 lokasi dengan jumlah saksi 10 orang, tanpa gangguan Venus. Hasil analisis hisab menunjukkan tinggi bulan 2,19 derajat. Setelah itu tidak ada lagi data yang cukup meyakinkan mendukung ketinggian 2 derajat. Analisis yang dilakukan Lapan dari kompilasi hasil sidang isbat 1962-1997 itu dijumpai kenyataan, pada umumnya tinggi bulan yang rendah hanya dilaporkan dari 1 atau 2 lokasi pengamatan dari sekian banyak titik pengamatan. Hal itu menunjukkan besarnya kemungkinan salah lihat objek bukan hilal. Bahkan sebagian di antaranya mengindikasikan pengamat terkecoh cahaya planet Venus (bintang Kejora) yang posisinya dekat posisi bulan. Dari analisis itu diusulkan kriteria imkan rukyat dengan ketinggian bulan yang tergantung beda azimut (beda jarak horizontal di kaki langit) antara bulan dan matahari. Bila jaraknya jauh dari matahari, ketinggian minimal 2 derajat, tetapi makin dekat dengan matahari ketinggiannya harus makin tinggi, tidak pukul rata 2 derajat seperti kriteria lama. Bila bulan tepat berada di atas matahari, saat matahari terbenam ketinggiannya perlu lebih dari 8,3 derajat. Kriteria itu masih bisa dikaji ulang. Kalau kriteria limit Danjon (batas minimal jarak bulan-matahari) diperhitungkan, kriterianya akan makin mendekati kriteria internasional dengan ketinggian minimal 3 derajat. Bila nanti kriteria imkan rukyat sudah ditetapkan, masalah lain yang harus diselesaikan adalah bila hilal sudah di atas kriteria imkan rukyat, tetapi tidak ada kesaksian hilal. Demi mencapai titik temu, Fatwa MUI 1981 dapat digunakan, seperti halnya saat sidang isbat penetapan awal Ramadan 1407/1987. Salah satu butir fatwa itu menyatakan bila ahli hisab telah sepakat bahwa malam itu sudah imkan rukyat tetapi hilal tidak dapat dilihat karena terhalang, keesokan harinya dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru. Artinya, kriteria imkan rukyat cukup menentukan. NU harus maju satu langkah dengan memperbaiki kriteria imkan rukyat dan menerima fatwa MUI 1981 tersebut. Bila masih keberatan dengan fatwa MUI tersebut, perlu juga diingat bahwa kriteria imkan rukyat juga didasari pada hasil rukyat masa lalu. Jadi pada dasarnya menggunakan kriteria imkan rukyat dalam mengambil keputusan tidak berarti mengabaikan rukyat pada saat itu. Dengan kriteria imkan rukyat dapat juga ditolak kesaksian yang di bawah kriteria karena kemungkinan terkecoh objek bukan hilal, kecuali bila dilaporkan dari banyak tempat dan tidak ada pengganggu dari planet Venus atau Merkurius. Bersatu ber-Idul Fitri Tampaknya, kalau pun Muhammadiyah dan NU mau maju satu langkah menunjuk titik temu kriteria imkan rukyat yang baru, implementasinya tidak bisa dilaksanakan untuk mengubah potensi perbedaan Idul Fitri 1428 H. Mekanisme organisasi tampaknya akan menghambatnya. Muhammadiyah tetap akan ber-Idul Fitri 12 Oktober dan NU ber-Idul Fitri 13 Oktober. Persis yang mendasarkan pada hisab, tetapi dengan kriteria imkan rukyat yang disederhanakan menjadi wujudul hilal di seluruh Indonesia, juga sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh 13 Oktober 2007. Pertanyaan, dengan perbedaan itu mungkinkah merayakan Idul Fitri bersama? Jawabnya, mungkin dengan menunda salat ied agar bersama. Dalam salah satu kesempatan rapat Badan Hisab Rukyat, wakil dari Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia menyampaikan berdasarkan saran dari ulama di Arab Saudi, mendahulukan ukhuwah (persaudaraan) yang wajib lebih utama daripada salat id yang sunah. Karenanya menunda salat id keesokan harinya demi menjaga ukhuwah sangat dianjurkan, walaupun pada 12 Oktober sudah tidak berpuasa. Menunda salat id dalilnya merujuk pada hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Al-Nasai, dan Ibn Majah. Diriwayatkan Rasulullah SAW tidak melihat hilal Syawal sehingga pada hari ke-30 Ramadan itu mereka masih berpuasa. Namun, kemudian pada penghujung siang (menjelang zuhur) datanglah rombongan yang mengabarkan mereka melihat hilal. Maka, Rasul segera menyuruh mereka untuk berbuka pada hari itu dan menunaikan salat id pada keesokan harinya. Dalil ini diperdebatkan untuk menunda salat id untuk alasan lain selain terlambat melihat hilal. Tetapi dari riwayat diketahui bahwa rombongan yang melihat hilal pun ikut menunda salat sampai melaporkannya kepada Rasul dan kemudian diperintahkan untuk salat id keesokan harinya. Alangkah indahnya kalau saudara-saudara kita yang sudah meyakini Idul Fitri jatuh 12 Oktober membatalkan puasa pada hari itu, tetapi menunda salat idnya bersama saudara-saudara yang ber-Idul Fitri 13 Oktober. Ini bersifat ijtihadiyah. Kalau pun salah, setelah dikaji matang-matang, tidaklah berdosa. Namun, tujuan menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan memperkuat syiar tercapai dengan bersalat Idul Fitri bersama. Langkah menyatukan Idul Fitri bisa dimulai dengan bersama salat id, walau berbeda keputusan mengakhiri Ramadan. Kelak, setelah kriteria imkan rukyat yang baru dapat disepakati, kita dapat mengakhiri Ramadan dan ber-Idul Fitri benar-benar bersama. Kalender Islam pun mendapatkan kepastian dan keseragaman. Kita bisa bersatu. -- -- Achmad Y. Sjarifuddin. E-mail: abu [at] lathiifa.com Website: http://www.lathiifa.com ------------------------------------------------------------------ - Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 - - Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com - Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga. (Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)