MANAJEMEN MESJID PROFESIONAL Mesjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, identitas umat dan symbol visual Islam tetapi juga sebagai suatu institusi publik. Tuntutan adanya manajemen mesjid moderen menjadikan mesjid sebagai institusi formal yang harus dikelola secara profesional. Implikasi sistemik dari peran formal ini adalah pada model organisasi yang akan dibangun. Platform kelembagaan ini termasuk struktur organisasi yang harus diisi oleh orang yang memenuhi syarat. Faktor esensial lainnya adalah pola-pola kultur manajemen profesional yang diharapkan dari prilaku pengurusnya. Manajemen mesjid professional harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi moderen yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan disini setidak-tidaknya pengurus mesjid harus dari kalangan sarjana "paripurna". Yakni mereka yang memiliki sekaligus pemahaman akan ilmu agama dan ilmu manajamen organisasi.
Idealnya suatu organisasi moderen harus menerapkan manajemen yang moderen pula. Prinsip manajemen moderen misalnya (1) adanya kesatuan perintah (unity of command) yang tegas, (2). Pelimpahan wewenang (delegation of authority) yang jelas, (3). Rentang kendali (span of control) yang tuntas dan (4). Pembagian kerja (division of work) yang khas. Apabila keempat prinsip dasar organisasi ini bisa diterapkan dengan baik (do right thing) dan benar (do thing right), maka efektifitas organisasi dan efisiensi manajemen akan dapat dicapai. Hasil akhir dari suatu manajemen mesjid yang profesional ditandai dengan (1). Jemaah mesjid yang semakin ramai sebagai dampak dari (2). Partisipasi aktif umat dalam pengembangan mesjid dan (3). Meningkatnya aktivitas sosio-religus mesjid dalam aktivitas di luar mesjid. (4). Utusan mesjid selalu memenangi berbagai kompetisi seperti MTQ, pawai ta'ruf, cerdas cermat, adrah/kompang, dll. (5). Kemampuan mengumpul dana umat. Dari "cost ke profit oriented management" Manajemen mesjid adalah salah satu prototype pengelolaan organisasi secara Islami. Saat ini pola manajemen tidak boleh dengan cara kerja tradisional, tertutup, terbatas, ekslusif, statis, kurang tanggap terhadap perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Perlu dikaji ulang sikap mempertahan "status quo" akibat konservatisme berpikir dan ketakutan akan penetrasi negative teknologi pada fundamentalisme agama. Pola-pola pengelolaan yang bersifat "inward looking" kurang memperhatikan situasi bahwa umat semakin dinamis tetapi pengurus mesjid semakin statis. Untuk menjadikan mesjid mandiri (self-sustained organization) ia harus berorientasi pada bisnis dan komersial. Dimensi ekonomi dari mesjid ini adalah dengan memanfaatkan sarana mesjid untuk dikomersilkan bagi kegiatan dunia yang berkorelasi positif dengan urusan akhirat. Katakanlah travel agent untuk haji plus dan umrah, Bank Muamalah, Tempat Pengajian Alqur'an, catering haji (manasik, debarkasi, embarkasi haji), klinik kesehatan, toko menjual kebutuhan busana dan keperluan Muslim/Muslimah, apotik, toko buku Islami, warung telepon, usaha simpan pinjam, usaha percetakan dan bisnis penerbitan, jasa pusat informasi bursa tenaga kerja, perpustakaan, galeri kaligrafi, pengelolaan jenazah dan mobil jenazah dll. Prinsip komersial ini tetap harus mengacu pada sistem ekonomi syariah. Untuk mewujudkan keuntungan, maka mesjid memiliki hak untuk membangun jejaring bisnis dan melakukan kontak dagang dengan mitra. Manajemen kebersamaan Umat Mesjid tetap eksis dan semakin berkembang adalah karena tempat ibadah ini memiliki dua fungsi. Pertama "peran territorial" bahwa tumbuhnya rasa saling memiliki mesjid secara spasial dalam skala radius tertentu di suatu permukiman. Kedua mesjid dibangun atas dasar kebersamaan umat. Sarana saling mengenal (ta'aruf), agar tumbuh saling memahami antar umat (tafa'hun) untuk saling membantu (ta'awun), sehingga saling menanggung (taka'ful). Jadi ada "peran fungsional" kenapa mesjid perlu dibangun. Mesjid dalam konteks territorial-fungsional menjadi simbol pemersatu umat. Ia berfungsi sebagai locus (tempat) ibadah dan sekaligus focus aktivitas sosial. Dimensi vertikal (hablum'minallah) dikombinasikan dengan fungsi horizontal (hablum'minannas). Untuk mencapai sisi integral baik "ibadah-amaliah vertikal" maupun "ukuwah Islamiyah-horizontal" dituntut dua peran antara manajemen mesjid professional diurusan dunia dan peningkatan kegiatan iman-amaliah didimensi religus-spiritual. Sebagai organisasi otonom umat yang diamanahkan kepada manajemen mesjid, maka penguruas mesjid dituntut dua hal pertama bertanggung-jawab (internal responsibility) atas amanah ummat dan kemudian mempertanggung-jawabkan (external accountability) atas amanah tersebut. Kepengurusan mesjid yang professional dengan spirit ke-Islaman tidak harus meninggalkan sifat kolektifitas. Kemitraan dengan umat/jemaah harus terus dibangun. Misalnya generasi muda (remaja mesjid), kaum wanita (majelis taklim), dan kelompok tua (penasehat mesjid). Kemitraan dalam pengembangan umat juga masuk ke kegiatan UPZ (Unit Pengumpulan Zakat), Lembaga Penyantun Kematian (Ba'abul Khairat), administrasi non Muslim yang masuk Islam (mualaf), lembaga qurban, Baitul Maal Wat-Tamwil (BMT). Mesjid juga harus dijadikan basis "bank data" segala informasi yang berkaitan dengan dunia Islam, umat Islam, jemaah disekitarnya. Manajemen kebersamaan umat di mesjid (collective management) dapat membantu PHBI (Panitia Peringatan Hari Besar Islam). Institusi mesjid yang terhimpun dalam Pimpinan Pusat Dewan Mesjid Indonesia (DMI) yang memiliki kepengurusan di Kelurahan (Pimpinan Ranting), Kecamatan (Pimpinan Cabang), Kota/Kabupaten (Pimpinan Daerah) dan Propinsi (Pimpinan Wilayah) harus sekuat seperti perhimpunan DPRD Kabupaten/Kota (ADEKSI), asosiasi Pemerintah Kota (APEKSI), pemerintah kabupaten (APKASI), apalagi jika diparalelkan dengan organisasi yang berkaitan dengan binis-komersial seperti KADIN, APINDO, HKI, REI, PHRI, dll.? Lembaga mesjid ini sesungguhnya bisa kuat, karena ganjaran yang didapat tidak hanya keberhasilan di dunia tetapi kebahagian di akhirat. Di Kota Batam saja terdapat 539 mesjid dan musholla dengan 1 mesjid agung dan 8 mesjid jami yang tersebar di 8 Kecamatan. Misalnya di Kecamatan Belakang Padang (25 buah), Kecamatan Batu Ampar (107 buah), Kecamatan Bulang (26 buah), Kecamatan Galang (49 buah), Kecamatan Lubuk Baja (42 buah), dan Kecamatan Nongsa (78 buah), Kecamatan Sei Beduk (93 buah) dan Kecamatan sekupang (110 buah). Dengan jumlah yang signifikan yang melayani hampir 82 % penduduk Muslim dari 655.700 jiwa penduduk Batam, sesungguhnya kekuatan Mesjid ada pada kombinasi kepengurusan dan ummat. Sehingga lemahnya mesjid dapat ditemukan indikator pada kedua atau salah satu kelamahan tadi yakni antara pengurus mesjid dan jemaah mesjid itu sendiri. Untuk itu kita tidak perlu mencari kelemahan dari yang lain lagi.! www.syamsulbahrum.web.id