PENENTUAN IDUL ADHA - 2007/11/26 17:42 PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN 
RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH
Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru'yat 
yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi'i menganut ru'yat lokal, yaitu mereka 
mengamalkan ru'yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan 
Hanbali menganut ru'yat global, yakni mengamalkan ru'yat yang sama untuk 
seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru'yat telah terjadi di suatu bumi, maka 
ru'yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri 
tidak dapat meru'yat.

Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya 
ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) telah sepakat 
mengamalkan ru'yat yang sama untuk Idul Adha. Ru'yat yang dimaksud, adalah 
ru'yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, 
yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru'yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada 
hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak yang 
mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa 
Khulafa' Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma'luumun minad diini bidl 
dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), 
anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani 
membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai 
satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. 
Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari pertama dari Hari 
Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada yaumun-nahr atau hari 
penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).

Kewajiban kaum muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang 
sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara'. Di antaranya adalah 
sebagai berikut :

(1) Hadits A'isyah RA, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :

"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berkata. Dan Idul Adha 
adalah hari orang-orang menyembelih kurban." (al-fithru yauma yufthiru al-naasu 
wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu} HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai 
hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 
2000], hal. 697, hadits no 1305).

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA 
dengan lafal :
"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah 
hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih 
kurban."(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa al-adh-ha 
yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 
2000], hal. 697, hadits no 1306)

Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul 'ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini 
dengan menyatakan :
"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama 
jama'ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian 
besar orang."(innama ma'na haadza ash-shaum wa al-fithr ma'a al-jamaah wa 
'azhiim al-nas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 
2000], hal. 699)

Sementara itu Imam Badrudin Al-'Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata:
"Orang-orang (kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika 
Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka 
wajib pula berbuka."

Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beridul 
Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits : an-naas), 
yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya, baik tatkala mereka hidup 
bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu, maupun tatkala hidup 
bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan seperti saat ini setelah 
hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.

Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka 
sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus 
berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum muslimin pada umumnya.

(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata : "Sesungguhnya Amir 
(Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
"Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji 
berdasarkan ru'yat. Jika kami tidak berhasil meru'yat tetapi ada dua saksi adil 
yang berhasil meru'yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan 
kesaksian keduanya." ('ahida ilaynaa rasulullah SAW an nansuka li al-ru`yah 
fa-in lam narahu wa syahida syaahidaa 'adlin nasaknaa bi-syahadatihimaa) (HR 
Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni 
berkata,'Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.' 
Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, 
hadits no 1629)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari 
pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah 
oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir 
(Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru'yat. 
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik 
haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar 
jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ru'yat penduduk Makkah sendiri, bukan 
berdasarkan ru'yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri 
Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan 
waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari 
kalangan kaum muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara'. 
Dalam keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha 
pada yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di 
Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan 
keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.

(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah" 
(nahaa rasulullah SAW 'an shaumi 'arafata bi-'arafaat) (HR. Abu Dawud, An 
Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 
[Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).

Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi'i berkata :
"Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang 
bukan jamaah haji."
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban 
penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib 'ain atas seluruh kaum 
muslimin. Sebab, jika disyari'atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari 
Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari 
Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.

Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa Arafah 
justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang 
sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada 
hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Sholat 
Idul Adha di luar waktunya dan malahan sholat Idul Adha pada tanggal 11 
Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid'ah yang munkar (bid'ah 
munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa 
takut kepada Allah dan azab-Nya!

Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits :
"Berpuasalah kalian karena telah meru'yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), 
dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru'yat hilal. Dan jika 
terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !"

Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan 
hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk 
membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru. Kekeliruannya 
dapat ditinjau dari beberapa segi :

Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut 
perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya 
menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat 
beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha 
berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan 
mathla' (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, 
mathla' hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di 
langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku 
untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan 
ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang 
sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.

Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri 
berdasarkan ru'yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut 
tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang membolehkan pengalaman ilmu 
hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan 
hadits Nabi yang berbunyi : "(..jika pandangan kalian terhalang), maka 
perkirakanlah hilal itu !" maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, 
melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya'ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, 
bila kesulitan melakukan ru'yat.

Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Idul 
Adha dengan jalan Qiyas -padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, 
karena ibadah bersifat tauqifiyah-- maka hadits tersebut justru akan 
bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat 
khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah 
memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru'yat bagi 
bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru'yat 
penduduk Makkah (bukan ru'yat kaum muslimin yang lain di berbagai negeri Islam).
Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari 
negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Indonesia 
tidak boleh menentang ijma' (kesepakatan) seluruh kaum muslimin di seantero 
pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di 
tetapkan berdasarkan ru'yat penduduk Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi 
ijma' kaum muslimin itu, selain Indonesia !

Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma' tersebut 
dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin ? Apakah 
Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang mempelopori suatu tradisi 
yang buruk (sunnah sayyi'ah) sehingga para umaro' dan ulama di Indonesia akan 
turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari 
Kiamat nanti?

Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini 
sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia Islam, 
yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang 
direkayasa oleh kaum penjajah yang kafir. 

Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia 
Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. 
Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia serta akan 
memimpin kaum muslimin untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat 
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat 
terwujud tidak lama lagi !

Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !
Legal disclaimer
-------------------------
This email may contain confidential and/or legally privileged information. 
If you are not the intended recipient (or have received this email by error), 
please notify the sender immediately and delete this email. 
Any unauthorized copying, disclosure, or distribution of the material in this 
email is strictly forbidden.

Kirim email ke