KOMPOR GAS YANG MEMBAKAR MALU Oleh Jojo Wahyudi
Tiba-tiba aku ingat “sajak” yang begitu kuat menggugah Sajak yang selalu tak bosan kudengar dari seorang “seniman” yang tak pernah lepas kukagumi Deddy Mizwar Bangkit itu……… SUSAH SUSAH melihat orang lain SUSAH SENANG melihat orang lain SENANG Bangkit itu…….. TAKUT TAKUT untuk Korupsi Takut mengambil yang bukan haknya Bangkit itu…….. MALU MALU menjadi BENALU MALU minta melulu Bangkit itu MENCURI MENCURI perhatian dunia dengan PRESTASI Bangkit itu……... MARAH MARAH bila Martabat Bangsa dilecehkan …………………………………………. Aku teringat “sajak” di atas karena MALU. Malu bukan karena menjadi benalu dan minta melulu, tapi karena MALU menjadi TAK MALU menerima sumbangan Kompor Gas gratis dari Pemerintah. Pada awalnya aku heran kenapa lingkungan perumahan tempatku tinggal mendapat bantuan kompor gas konversi minyak tanah tersebut. Sebab bila ditilik dari kemampuan warganya jauh dari “miskin” meski tak bisa dibilang kaya. Rumah standard keluarga sederhana, bahkan sebagian cenderung lebih, karena perumahan BTN sudah direnovasi demikian “mewah” mengikuti trend perumahan masa kini, model “minimalis” yang biaya pembuatannya tak lagi minimalis. Sepeda motor sudah menjadi kendaraan umum warga dan sebagian lagi bahkan menggunakan mobil. Apakah yang demikian ini patut menerima sumbangan konversi minyak tanah ke gas? Aku sendiri tidak yakin, karena demikian antusiasnya warga mengantri sumbangan tersebut. Apakah pemerintah sudah tepat sasaran memberikan “dana subsidi”nya pada warga miskin? Atau memang untuk hal konversi minyak tanah ini semua warga Negara berhak mendapatkannya? Termasuk warga lingkunganku yang tak lagi miskin dan perlu dana subsidi. Memang bila bicara mengenai “hak”, kita semua akan menuntutnya setengah mati. Apalagi “pajak” dari pemerintah adalah makanan kita sehari-hari, pajak penghasilan yang otomatis dipotong saat kita gajian, ppn saat kita membeli barang, pajak tanah, pajak rumah dan lain-lain. Kita akan merasa sangat berhak atas segala yang pemerintah kucurkan untuk rakyat, karena kita telah membayar pajak, termasuk subsidi BBM yang saya sangat yakin bila dinaikan menjadi sepuluh ribupun, kita masih sanggup untuk mengisi motor dan mobil kita. Aku jadi TAKUT, seperti nukilan “sajak” di atas, takut mengambil yang bukan “hak”nya. Aku juga menjadi MALU, malu karena seolah menjadi minta melulu, minta “hak” sebagai warga negara yang telah membayar pajak. Sementara saat tukang bubur ayam yang biasa lewat depan rumah kutanya “Apakah mas mendapat jatah kompor gas? Dia menjawab dengan lirih, ada kekecewaan di wajahnya “Tidak pak. Pendatang seperti saya tidak mendapat kompor gas. Istri di kampung bilang, kalau kompor gas dari pemerintah juga belum pernah di terima di sana” Kini aku merasa menjadi PENCURI, karena MENCURI sesuatu yang sebenarnya lebih dibutuhkan si tukang bubur itu. Terakhir, aku menjadi MARAH. Marah karena MARTABAT-ku merasa dilecehkan. Aku masih sanggup untuk membeli kompor gas sendiri. “ Pak Jojo, koq bengong, ini jatah kompor gasnya di ambil” kata petugas dari RW. Ternyata aku melamun sejak tadi, segera kuambil “jatah” dari pemerintah tersebut .......................................................................... Dan ternyata.... Kompor Gas telah membakar rasa MALU-ku (BDB2, Minggu 25 Mei 2008)