Assalamualikum,
Nama Gito Rollies sempat menjadi hit di blantika rock Indonesia. Hampir semua 
orang mengenalnya, bahkan anak2. Di akhir hayatnya ada perubahan yang total 
dalam hidupnya. Mengapa Sang Roker bisa berubah 180 derajat. Dia bilang 
menemukan kebahagiaan sejati yang tidak pernah dia dapatkan di musik, minuman 
keras, sex bebas dan materi lainnya. Kekuatan apa yang telah merubahnya... 
Bahkan dia meninggal di saat dakwah, dia sedang mengambil program khuruj 40 
hari, kemudian di hari ke 11 dia sakit, dibawa ke rumah sakit dan akhirnya 
menghembuskan nafas terakhirnya. Mati dalam dakwah.... hmmm cita-cita tertinggi 
para pegiat dakwah. Ya Alloh gunakan hidupku, keluargaku, anak keturunanku, 
hartaku untuk dakwah. Dan matikan aku di saat dakwah...Amiiin.

Wassalam,
M.K. Roziqin



Pondok Indah, SerpongKita.com-Innalillahi wa inna
ilaihi roji'un. Rocker legendaris yang kini aktif menjadi dai, Gito
Rollies, meninggal dunia hari Kamis (28/2) sekitar pukul 18.45 WIB, di Rumah
Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan. Pria berusia 60 tahun bernama lengkap
Bangun Soegito Toekiman ini menderita kanker kelenjar getah bening dan dirawat
di RS Pondok Indah sejak Rabu (27/02) kemarin. 
Gito Rollies lahir di Biak ,
1 November 1947. Ia bergabung dengan kelompok The Rollies sebagai vokalis. Band
ini terkenal dengan lagu-lagunya yang mencetak hits di era 1970-an dan 1980-an,
antara lain "Kemarau", "Astuti" dan "Burung
Pipit". Pada bulan September 2007 di tengah sakit yang dideritanya ia 
mengeluarkan
album religi berjudul "Kembali Pada-nya" berkolaborasi dengan grup
musik GIGI.

Di ujung perjalanan hidupnya yang diakuinya pernah kelam,
Gito mendapatkan hidayah dan memutuskan berdakwah. Ia aktif dalam komunitas
Jama'ah Tabligh.

Menurut sumber SerpongKita.com jenazah akan dimakamkan
seusai salat Jum'at sekitar pukul 13:00 WIB di TPU Tanah Kusir. Jenazah saat
ini di semayamkan di rumah duka di Komplek Mabad, Rengas, Bintaro. (che)
Jalan Taubat Sang Rocker 
http://www.dakwatuna.com/2008/jalan-taubat-sang-rocker/
Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

________________________________
 

Dakwatuna.com - Masih terngiang lirik lagu Cinta Yang Tulus yang
dinyanyikan Bangun Sugito alias Gito Rollies, yang popular di tahun 80an. Lagu 
yang pernah dipopularkan The Rollies
itu memang liriknya terkesan religius. Namun kesan itu menjadi paradoks ketika 
tahu sisi gelap dari kehidupan si
pelantun tembang tersebut. Penampilan Gito kala itu urakan dengan rambut
awut-awutan dan celana jin belel menghiasi kejayaan The Rollies Band di era
1980-an. Bahkan lagu-lagu cadas meluncur dari suara seraknya. Segudang
kendugalannya kerap dikupas dan menjadi langganan infotainment.
Sudah menjadi rahasia umum bila
dunia selebritis di mana pun berada selalu dekat dan akrab dengan dunia
gemerlap (dugem) yang kerap diselingi berbagai macam kesenangan sesaat seperti
narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya. Tak terkecuali pria kelahiran Biak,
1 November 1947 ini.
“Tiap Jumat siang kami berangkat
ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan narkoba,” Ungkap Gito dengan nada
sesal.
Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah
dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang
kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah
hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.
Bahagiakah hidup seperti itu?
Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab,
sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai. 
Pada akhirnya semuanya hanya
menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah.
Klimaks terjadi kala ia merayakan
ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya
untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya.
Dalam kerisauan panjang, beriring
desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat
rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi tempat menumpahkan penat,
mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat
bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu
mulai mekar membesar. Puncak
menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab segala kerisauan.
Saat itu hari Jumat siang. Pria
dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang
tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada
beberapa warga desa yang ramai menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun
kembali mengusik hati.
“Mereka dengan kesahajaan bisa
menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan?!” Pertanyaan itu
selalu mengusik Gito.
Sungguh pemandangan indah di hari
Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan
keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan
hatinya bagi pintu tobat.
Dicobanya untuk mendekati Masjid
itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba. 
Mungkin
di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan
kegelisahannya selama ini.
“Rasanya seluruh otakku tiba-tiba
dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan
melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,”
“Bukankah apa yang kulakukan
selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah 
bergelut dengan kesalahan
dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan
mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas bergelimang dalam
ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut seakan haus jawaban.
“Malam itu aku benar-benar tidak
dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini
urakan, permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku
mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat
kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.
“Selama hidupku, baru kali ini
aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai
memasuki dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat.
Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian.
Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun
masih banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau
pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya
berdiri dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni
dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”
Ketika mentari terbit, Gito
langsung mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di
sana, ia mengutarakan niatnya untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu.
Sejak saat itu, Gito resmi meninggalkan dunia kelam.
Satu yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle,
yang tak pantang habis.
“Saat aku sudah belajar agama,
aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri,
begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku
mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab. Padahal
aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik
yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.
Tobatnya Gito juga disyukuri oleh
sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda
keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan yang dialami Gito.
“Kata beliau, aku jadi lebih
kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi
menantu favoritnya lho,” tuturnya sambil terkekeh.
“Mengapa Allah memberikan hidayah
kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh
dosa ini?”
Gito mengaku harus merenung lama
untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan 
haji, jawaban itu baru mampir
di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah menciptakanku untuk menjadi manusia
baik. Semula mengikuti idolaku, Mick Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman
lalu mendapat honor. Tapi itu bukan kebahagiaan sepenuhnya buatku.”
“Mick Jagger itu dulu menjadi
idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang
aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara .”
Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini
memilih ke pintu pertobatan. Penampilan
Gito tak lagi urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula
pelantun lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan.
“Aku sudah mendapatkan banyak hal
di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi
hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam
hidupnya.
Artis kelahiran Biak , Papua, 1 November
1947 dengan nama bangun Sugito ini awalnya dikenal sebagai rocker. Dalam
perjalanan karirnya, ia juga dikenal sebagai aktor dan terakhir dalam kondisi
sakit ia menjadi penceramah agama.
Nama Gito terlihat diambil dari nama aslinya, sementara nama Rollies diambil
dari nama grup band asal Bandung, The Rollies yang pernah terkenal pada dekade
1960-an hingga 1980-an. Grup ini terdiri dari vokalis Gito, Uce F Tekol, Jimmy
Manoppo, Benny Likumahuwa, Teungku Zulian Iskandar.
Setelah bersolo karir, dia menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan
Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987), Air Api 
(1987) dan Tragedi Buah Apel (1987) dan Goyah (1987).
Sebagai aktor Gito memulai debutnya di dunia film lewat Buah Bibir (1973)
sebagai figuran. Setelah benar-benar
menjadi aktor ia bermain dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di
Ujung Malam (1979) dan Sepasang Merpati (1979), dan Permainan
Bulan Desember (1980), dan Kereta Api Terkahir (…). Namun
kekuatan aktingnya terlihat pada Janji Joni yang mengantarkannya meraih piala
Citra untuk kategori Aktor Pembatu Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia
tahun 2005.
Kang Gito, begitu sapaan akrabnya, memang bukan lagi Gito Rollies yang lama.
Sejak 10 tahun belakangan, hidupnya berubah 180 derajat. Kini, ia lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun,
mantan personel band The Rollies ini tak segan-segan menyerukan semua orang
untuk meninggalkan kehidupan yang dipenuhi alkohol dan obat-obatan terlarang.
“Dalam hidup ini -apa pun agamanya- adalah paling baik mengikuti ajaran
agama. Karena inilah yang akan membentengi kita -terutama anak-anak- dalam
menjalani cobaan hidup,” lanjut ayah tiga anak dari perkawinan dengan Michelle:
Puja, Bayu dan Bintang.
Toh, meski sudah berada di jalan
Allah, Gito tak pernah merasa dirinya yang paling benar. Ia selalu menolak jika
disebut kyai, atau diminta untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang
masih terus belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah
upayanya berbagi cerita.
Bahkan, Gito masih merasa belum cukup bertobat hingga akhir hayatnya. Tak
pernah sekalipun ia merasa dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam suatu
pengajian ia sempat bertanya kepada ustadz yang berceramah, apakah dosa-dosanya
di masa lalu bisa berkurang dengan perbuatannya saat ini.
“Tak hanya berkurang, namun dosa
Kang Gito bahkan sudah dianggap lunas. Kang Gito jangan berpikir perbuatan baik
saat ini untuk bayar dosa yang lalu. Sekarang Kang Gito tengah menabung untuk
masa depan,” jawab sang ustadz, yang disambut Gito dengan wajah sumringah.
Sejak 1990-an nama Gito hilang dari peredaran setelah dia menarik diri dari
dunia panggung musik rock maupun film. Khalayak pun tidak lagi menyaksikan
aksi-aksi penyanyi bersuara serak dengan gaya 
panggungnya yang atraktif. Beberapa tahun kemudian Gito muncul menjadi seorang
dai, yang kerap tampil dengan pakaian putih-putih.
Sejak 2005 Gito harus terbaring
lemah. Ia tak berdaya melawan kanker kelenjar getah bening yang dideritanya. 
Namun
kemudian ia justru terlihat banyak melakukan kegiatan dakwah. Bahkan sebelum
meninggal Gito masih sempat berdakwah di Padang, Sumatera Barat selama 11 hari.
Tahun-tahun belakangan memang terasa berat buat Michelle Sugito wanita asal
Kanada yang telah mendampingi hidupnya selama ini. Ia harus mendampingi
suaminya menjalani terapi pengobatan kanker kelanjar getah bening yang
dirasakan penyanyi rock ini, dua tahun terakhir.
Sosok Bangun Sugito yang atletis dan enerjik di panggung sudah menjadi
bagian masa lalu. Untuk berjalan pun
kini ia harus dibantu atau minimal menggunakan tongkat. Kadang ia memang
menolak untuk dibantu. “Maunya sih tidak dibantu. Tetapi karena aku selalu
bicara bahwa manusia harus saling membantu, ya aku juga harus mau dibantu orang
lain,” kata Gito.
Karena itulah ia juga tidak menolak ketika diminta ikut dalam acara
penggalangan dana buat korban gempa bumi Yogyakarta 
yang digagas orang tua murid tempat isterinya bertugas. Gito menganggap saat
ini sudah saatnya ia bernyanyi untuk berdakwah, sesuatu yang ia harapkan ada
manfaatnya buat para pendengarnya.
Sebab itu pulalah ia lebih memilih menyanyikan lagu-lagu bernuansa religius
ketimbang lagu-lagu nunasa masa lalu seperti,“Astuti…Tuti..Tuti…” 
Bersamaan dengan sumbangan yang
mengalir dari undangan, air mata Michelle Sugito makin deras mengalir.
Ya, Gito Rollies memang pribadi
yang penuh kenangan. Kehidupannya tersimpul dalam satu kalimat ‘Mantan lalim,
yang jadi orang alim’. Masa mudanya memang sangat dekat dengan miras, narkoba
dan hura-hura. Selama kurang lebih 23 tahun tidak menyurutkan niat rocker gaek
bernama lengkap Bangun Sugito ini untuk tobat dan mendalami agama.
Dialah satu-satunya Rocker yang
meninggal dengan tenang, indah dan tersenyum. Happy Ending. Seandainya Sid
Vicious meninggal dengan tenang di St Paul’s Cathedral, Kurt Cobain dan Jimmy
Hendrix meninggal mesra di St James Cathedral maka sepertinya tidak akan ada
stigma: Rocker mati konyol dengan mulut berbusa atau berlumuran darah
karena bertingkah bodoh akibat pengaruh narkoba. Dan mitos “Rocker
Legend mati muda” pun sudah mulai usang karena Legend kita yang satu ini
tutup usia di umur 61 tahun.
Gito menigggalkan seorang isteri
bernama Michelle dan lima anak, yakni Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu
Wirokarma, dan Puja Antar Bangsa.
Sebaik-baik usia tiap orang adalah
pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya
menjadi misteri, karena seringkali di sanalah Allah memberikan kesudahan yang
indah dari perjalanan taubat hamba-Nya.
Ila Robbika Muntahaha. Innama Anta Mundziru Man Yaghsyaha


      

Kirim email ke