Runder Tisch zu West Papua, 29.-30 november 2004, Berlin

3. Gesprächsrunde: 
Menschenrechte und staatlicher Terror

 

TANTANGAN GEREJA DALAM MENSIKAPI

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI PAPUA BARAT

Gambaran Umum tentang Pelanggaran HAM Selama Hampir 40 Tahun
Dan Dilema Peran Gereja Menghadapi Kondisi Sosial Politik
di Papua Barat

Oleh : Pastor Nato Gobay1)

 

I.TITIK PANDANG PERMASALAHAN

Pada tanggal 30 Mei - 4 ]uni 2000 lalu suatu pesta demokrasi bagi 
rakyat Papua diselesaikan secara damai dan mengesankan, yaitu Kongres 
Nasional Papua II. Setelah selama sekitar 40 tahun menentang 
pengabaian hak asasi orang Papua untuk menentukan nasib sendiri, maka 
Kongres Nasional Papua II ini patut disyukuri sebagai anugerah Tuhan. 
Betapa tidak, kegiatan besar yang diikuti langsung oleh sekitar 3.000 
peserta aktif dan 21.000 masyarakat Papua yang mengikuti acara itu 
melalui pengeras suara di arena Kongres serta jutaan orang Papua yang 
mengikuti melalui siaran radio dapat berjalan aman dan sukses dengan 
pengamanan oleh masyarakat sendiri  (Satgas Papua) dan mengeluarkan 
Resolusi Politik yang pada intinya menggugat proses sejarah yang 
telah mengakibatkan wilayah dan rakyat Papua menjadi bagian integral 
Republik lndonesia.. Pada hal selama sekitar 40 tahun, aksi protes 
Papua baik melalui aksi bersenjata, pengungsian ke luar negeri, 
demonstrasi, aksi pengibaran bendera maupun dialog damai selalu 
disertai korban jiwa manusia. Bila kita berkunjung ke pelosok-pelosok 
Papua, dengan gampang kita akan bertemu sejumlah masyarakat yang 
mengakui bahwa di hutan ini ayah, ibu beserta saudara-saudaranya 
dibantai oleh militer. Banyak yang diperkosa, disiksa, dihilangkan, 
ditangkap tanpa proses hukum serta berbagai bentuk penyiksaan di luar 
batas kemanusiaan. Kuburan massal bertebaran di mana-mana. Semua 
dilakukan oleh militer Indonesia berdasarkan tudingan (stigma) OPM. 
Tetapi bagi rakyat Papua, OPM adalah ideology perjuangan untuk 
memperoleh kebenaran.

Rakyat Papua sedang memperjuangkan keadilan dan kebenaran baginya, 
namun banyak kali pemerintah mencurigai kegiatan itu sebagai kegiatan 
subversif. Banyak kali pemerintah menggunakan pendekatan militer. 
Gereja berada pada posisi serba salah. Hendak menghormati rakyatkah 
atau pemerintah? Tulisan ini mengajak kita mendiskusikan sikap gereja-
gereja di Papua pada umumnya dalam dinamika social politik di 
Indonesia yang belum stabil.

Mengapa rakyat Papua melawan pemerintah Indonesia? Study ELSHAM 
(Lembaga Study dan Hak Asasi Manusia) Papua Barat menunjukkan bahwa 
ada tiga permasalahan utama. Pertama, rakyat Papua menganggap bahwa 
Act of Free Choice 1969 yang dirubah di Indonesia menjadi Musyawarah 
Penentuan Pendapat Rakyat sebagai realisasi dari New York Agreement 
1962 merupakan bentuk konkrit pengabaian dunia internasional dan 
pemerintah Indonesia atas hak orang Papua untuk menentukan nasib 
sendiri. Proses penyusunan New York Agreement sama sekali tidak 
melibatkan orang Papua. PEPERA dijalankan di bawah proses penuh 
intimidasi, larangan berkumpul dan berbicara, penghilangan orang, 
pembunuhan dan berbagai bentuk tindakan militer yang menistai 
demokrasi. Seluruh aktivitas yang menjauhkan orang Papua dari 
realisasi haknya untuk menentukan nasib sendiri dalam pandangan orang 
Papua jelas-jelas  melanggar kententuan Resolusi PBB No. 1 514 dan 1 
541 tentang proses dekolonisasi bagi bangsa-bangsa yang dijajah.

Kedua, atas dasar status legal yang diberikan oleh PBB melalui 
Resolusi No. 2504/XXIV tahun 1969 yang mengesahkan hasil PEPERA maka 
secara de jure Irian Jaya menjadi wilayah kekuasaan Indonesia. 
Keberadaan Indonesia di Papua dilalui dengan penetapan Papua menjadi 
Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menunjang kebijakan pembangunan 
yang bertumpu pada strategy pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan, 
HPH, transmigrasi, pariwisata dan berbagai proyek pembangunan 
lainnya. Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada strategy 
pertumbuhan ekonomi itu berimplikasi pad aspek social budaya seperti 
perusakan lingkungan hidup, pengambilan tanah, penebangan hutan, 
pengrusakan dusun-dusun masyarakat, serta degradasi kebudayaan 
masyarakat setempat.

Ketiga, gabungan kedua permasalahan di atas menciptakan krisis 
identitas bagi orang Papua. Krisis identitas nampak dalam aspek 
kebudayaan, ekonomi, birokrasi pemerintahan, dan sebagainya. Maka 
muncul tuntutan untuk menghormati kebudayaan, pengembangan kebudayaan 
Papua Melanesia, Papunisasi birokrasi, penguasaan sumber daya 
ekonomi, maupun tuntutan agar pemerintah mengakui keberadaan lembaga 
adat.

 

II. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN: Bukan Sekedar Salah Urus

Kesalahan sejarah (distorsi historis) yang terjadi melibatkan PBB 
dalam proses tranfer kewenangan dari Belanda ke Indonesia telah 
menjustifikasi negara Republik Indonesia untuk melakukan berbagai 
bentuk pelanggaran HAM berat di Papua Barat. Pemerintahan Indonesia, 
terutama di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan pendekatan 
kekuasaan yang sangat represif dan meninggalkan kisah sejarah yang 
sangat memilukan di seantero tanah Papua.

Akumulasi tiga persoalan besar di atas mendorong rakyat Papua 
melakukan protes dalam bentuk aksi bersenjata (OPM, sejak 
pemberotakan Ferry Awom di Manokwari, 28 Juli 1965), aksi 
penngungsian  (terutama pasca PEPERA 1969 serta ketika terjadi 
sekitar 10.000 orang Papua mengungsi ke PNG pasca-pembunuhan Arnold 
Ap 1984), prokalamasi kemerdekaan Papua (versi Markas Victoria, 1 
Juli 1971 maupun versi Thom Wanggai, 14 Desember 1988), demonstrasi 
mahasiswa, dan aksi pengibaran bendera Papua. Situasi bukan membaik. 
Kengerian makin bertambah ketika akumulasi protes diungkap, 
pemerintah menjawabnya dengan memberlakukan daerah operasi militer 
(DOM).

Intervensi militer Indonesia secara besar-besaran bermula di tahun 
1970-an. Kebijakan DOM memporak-porandakan seluruh pranata social 
yang mendukung kehidupan cultural dan ekonom rakyat. Secara 
sistematis terjadi pelanggaran HAM sangat berat yang memenuhi syarat 
untuk di katakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime 
Against Humanity). Ketika menyebut Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, 
maka pengertian yang saya maksud mengacu kepada Statute Mahkamah 
Internasional di mana Crime Against Humanity didefinisikan 
sebagai : " ... a ,,widespread or systematic attack aginst any 
civllian population, with knowledge of the attack". The specific acts 
listed include murder, extermination, enslavement, and 
deportation.... AIso imprisonment, torture, rape, and persecutions on 
polltical, raciaI, and religious ground. ,,(Lawywers Committee for 
Human Rights, FREQUENTLY ASKED  QUESTION ABOUT THE INTERNATIONAL 
COUPT, December 1998, P 3.). Definisi Mahkamah Internasional 
mengantar kita keluar dari penyempitan pemaknaan kejahatan terhadap 
kemanusian, seolah kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi hanya 
ketika jiwa manusia terenggut. Sesungguhnya cakupan pengertian 
kejahatan kemanusiaan melampaui pembunuhan.

Ternyata ,mandat' dunia internasional melalui PBB bagi Indonesia   
untuk mengambil-alih kekuasaan atas wilayah dan rakyat Irian Jaya 
telah melegitimasi Indonesia untuk melakukan kejahatan terhadap 
kemanusiaan di Papua Barat selama kurun waktu 40 tahun. Pengalaman 
saya sebagai pastor, telah mengantar saya untuk mendampingi 
masyarakat korban sehingga dapat saya sebutkan dengan hati yang luluh 
betapa berat penderitaan yang dialami oleh umat, rakyat dan saya 
sendiri sebagai orang Papua. Di Biak, pada penghujung tahun 1998, 
saya bersama sejumlah relawan ELSHAM mendatangi beberapa kampung di 
Biak Barat selama beberapa jam dan kepada kami ditunjukkan sekitar 10 
buah kuburan massal berisi antara 3 sampai 10 orang yang setiap 
kuburannya. Pada waktu itu saya mendapatkan data kasar tentang kurang 
lebih 2000 kasus pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan 
serta kasus ibu-ibu yang melahirkan karena perbuatan tentara. Data-
data mana masih terus bertambah dan sedang dilakukan proses re-check 
tentang kebenarannya. Bahkan ketika angin reformasi berhembus, aksi 
damai rakyat pada bulan 2-6 Juli 1998 direspon dengan mengerahkan 
kekuatan POLRI dan militer dari darat maupun laut untuk menanganinya 
sehingga mengakibatkan sejumlah orang terbunuh, hilang, luka-luka 
parah dan sampai saat ini kami masih mencari kaitan antara operasi 
militer tanggal 6 Juli 1998 dengan penemuan sejumlah puluhan mayat 
misterius yang terdampar di Biak. Peristiwa ini dikenang sebagai 
Tragedi Biak Berdarah, 6. Juli 1998. Ketika masih bertugas sebagai 
Pastor Paroki Tiga Raja di Timika, saya aktif terlibat dalam 
pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dalam wilayah 
penambangan PT Freeport (1995) di mana terjadi pembunuhan, 
penghilangan, serta penyiksaan penduduk secara sangat serius. Kasus 
Freeport terjadi sebagai reaksi militer untuk melindungi Freeport 
sebagai industri vital. Saya pun terlibat dalam mengungkapkan aksi 
militer yang dilakukan terhadap masyarakat sipil di kampung Bella, 
Jilla dan Allama pada tahun 1998.

Selain dari fakta-fakta yang berhasil diungkapkan  karena kerja sama 
antara ELSHAM dan pihak gereja (Katholik, GKII dan GKI di Irian Jaya) 
masih terdapat sejumlah data kasar yang pertu diverifikasi lagi 
tentang berbagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Baik dalam 
peristiwa operasi militer di Manokwari (1965 sampai 1980-an), kasus 
operasi militer di Wamena (1970-1980-an),kasus Paniai (1969), serta 
berbagai kasus terbaru sepanjang tahun 1999 seperti di Manokwari, 
Sorong maupun Timika dan Nabire. Pembunuhan, penghilangan orang, 
pemerkosaan, pembantaian, pengrusakan kebuadayaan, perusakan 
lingkungan menjadi catatan tersendiri orang Papua ketika hendak 
berbicara tentang Indonesia. Ada ingatan indifidu dan kolektif 
tentang sejarah penderitaan yang memilukan. Dan ada di se-antero 
Papua.

Seringkali, pihak pemerintah Indonesia menyatakan kesalahan masa lalu 
sebagai akibat salah urus. Di pihak militer, disebut salah prosedur. 
Namun jika melihat polanya yang berjalan sistematik, terencana dan 
mencakup hampir seluruh wilayah Papua Barat, maka dapatlah 
disimpulkan bahwa apa yang berlangsung di Papua Barat bukanlah dampak 
negatif dari satu proses salah urus. Tetapi nyata-nyata adalah suatu 
kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

III. PERUBAHAN SITUASI SOSIAL POLITIK

3.1. Perubahan Sosial Politik di Tingkat Nasional Indonesia : Ruang 
Politik Dibuka

Broeder Theo van den Broek menunjukkan bahwa perubahan sosial politik 
di Indonesia antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 berjalan amat 
cepat2). Sebagai akibat situasi chaos di Jakarta pada bulan Mei 1998, 
apalagi didukung dengan aksi mahasiswa Indonesia, maka pada tanggal 
21 Mei 2000 terjadi peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru Pimpinan 
Jenderal Besar Soeharto kepada rezim Reformasi yang bermula dengan 
kepemimpinan Presiden B. J. Habibie. Presiden B. J. Habibie setahun 
kemudian diganti oleh Presiden Abdurrachman Wahid dalam proses 
pemilihan umum di Indonesia yang paling demokratis sepanjang 
sejarahnya.

Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru yang menancapkan kuku 
kekuasaannya di atas darah jutaan rakyat (baik oleh perisitiwa G. 
30/S/PKI maupun penghilangan lawan-lawan politik serta pemadaman aksi 
kritis rakyat terutama di Aceh, Tim Tim dan Papua) ke rezim Era 
Reformasi dilatar-belakangi  oleh krisis ekonomi serius, krisis 
birokrasi pemerintahan yang ber-KKN, konflik-konflik serta kekerasan 
di pelbagai daerah, tuntutan pemulihan kembali harga diri sebagai 
bangsa dan penegakkan hukum serta gerekan-gerakan memerdekakan diri 
beberapa daerah. Akumulasi berbagai persoalan yang tak kunjung 
diselesaikan itu memuncak dengan pendepakkan Soeharto dari  kursi 
kepemimpinan.

Masa kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Prof. Dr. Ir. B. 
J. Habibie yang berumur satu tahun. Rezim Habibie tercatat dalam 
sejarah terutama karena keberhasilannya menyelesaikan masalah Timor 
Timur sekalipun dengan meninggalkan catatan berdarah dari sisi 
pelanggaran HAM, juga dengan mempersiapkan dan menjalankan satu 
pemilihan umum di Indonesia yang paling demokratis sepanjang sejarah 
Indonesia. Berdasarkan hasil pemilihan umum inilah maka Presiden 
Abdurrahman Wahid dapat naik ke panggung kekuasaan. Namun pada 
penghujung kekuasaan jaman Presiden Soeharto ke jaman Habibie, 
terjadi berbagai i bentuk konfrontasi berdarah. Baik konflik berdarah 
antara etnik Sambas dan Madura di Kalimantan Barat, konflik berdarah 
antara kaum Muslim dan Kristen di Ambon, pembakaran gereja, 
pemerkosaan terhadap perempuan dari etnik China serta politik pembumi-
hangusan di Timor Timur yang meninggalkan catatan pelanggaran sejarah 
memilukan. 

Prestasi Abdurrahman Wahid mencuat ketika secara damai berusaha 
mengeluarkan militer (TNII dan POLRI) dari dominasinya di panggung 
politik selama ini. Juga dengan menegakkan supremasi hukum. Pada era 
Presiden Abdurrahman Wahid, sejumlah jenderal yang kebal hukum di 
jaman Soeharto dan Habibie dapat diajukan ke dalam proses-proses pro 
justicia.

3.2.  Situasi Sosial Politik di Papua dalam Era Reformas : Otonomi vs 
Papua Merdeka

Dinamika situasi sosial politik Indonesia demikian membuka ruang 
politik yang memungkinkan penyampaian berbagai bentuk aspirasi yang 
terpendam selama bertahun-tahun di Papua Barat. Pada bulan Mei 1998 
di Papua Barat berlangsung berbagai bentuk demonstrasi. Lazimnya, 
dilakukan oleh mahasiswa tertuju ke intasnsi tertentu, misalnya 
militer dan DPRD, guna menuntut perhatian akan (a). Persoalan Hak 
Asasi Manusia; (b). Hak akan partisipasi dalam jenjang birokras 
pemerintahan (sering disebut Papuanisasi Birokrasi); (c). persoalan 
transmigrasi dan (e) persoalan hak ulayat tanah adat, dsb. Peran 
kemudian beralih dari mahasiswa ke masyarakat dengan bentuk 
demonstrasi yang juga mengalami perubahan. Pada tahun 1999, 
demonstrasi berubah menjadi pemalangan sejumlah kantor instasnsi-
instansi penting seperti Kantor Kehutanan (di Jayapura), kantor Dinas 
Pendapata Daerah di Biak, dan di Sorong berlangsung pemalangan kepada 
hampir semua  perusahaan  seperti  Perusahaan  Pertamina,  Usaha 
Mina  (Perusahaan Pertambangan) maupun Perusahaan Tambang. Namun pada 
tahun 2000, demonstrasi massa berali ke pemalangan fasilitas publik 
seperti pemalangan sumber air minum (di Waena- Port Numbay), 
pemalangan Kantor Telkom, pemalangan Rumah Sakit Pembantu di Abepura -
 Jayapura.

Pada bulan Juli 1998 terjadi perubahan drastis, setelah terjadi 
perisitiwa penaikkan bendera Papua antara lain di Biak, Sorong dan 
Wamena. Didorong oleh kemarahan akibat penanganan secara militer 
terhadap peristiwa penaikkan bendera Bintang Kejora di Biak pada 
tanggal 6 Juli 1998 yang mengakibatkan berbagai bentuk pelanggaran 
HAM berat3) (antara lain terdapat korban meninggal dunia). Penggunaan 
kekerasan militer ini dianggap tidak sejalan dengan semangat 
demokrasi yang coba dibentuk dalam era reformasi. Apalagi kekerasan 
militer itu dilakukan untuk menghadapi aksi damai rakyat sipil tidak 
bersenjata. Maka dibentuklah FORERI untuk memfasilitasi dialog damai 
dengan pemerintah RI dalam rangka penyampaian aspirasi politik 
masyarakat Papua yang diwakil oleh Tim 100. Pernyataan   Tim 100 
mengejutkan banyak pihak sebab secara terang-terangan menyatakan 
kehendak untuk merdeka dan berdiri sejajar dengan bangsa lain di muka 
bumi di hadapan para petinggi Jakarta pimpinan Presiden Habibie pada 
tanggal 26 Februari 2000. Sep- ulangnya ke Papua, Tim 100 memperoleh 
sambutan hangat dari ribuan masyarakat Papua di setiap kabupaten.   
Sambutan rakyat ini menunjukkan bahwa aspirasi rakyat yang 
sesungguhnya sudah dinyatakan. Dalam konteks ini dapat dimengerti 
bahwa kelompok pejuang kemerdekaan ini menolak segala bentuk dialog 
mengenai ,,soal pembangunan" karena menurut mereka permasalahan-
permasalahan di tingkat itu tidak sama dengan permasalahan yang 
sebenarnya.

Pasca pernyataan Tim 100 kepada Presiden Habibie, masih terjadi 
berbagai bentuk demonstrasi pro Papua Merdeka yang menuntut jawaban 
pemerintah. Sampai menjelang 1 Desember 1999, terjadi berbagai bentuk 
ketidak-pastian politik serta tuntutan yang mengarah kepada  upacara 
pengibaran Sang Bintang Kejora di seluruh pelosok Tanah Papua untuk 
menuntut pengakuan kedaulatan Negara Papua yang diyakini pernah 
didirikan pada tanggal 1 Desember 1961 namun dianeksasi melalui 
Trikora yang dikumandangkan oleh Presiden Soekarno 19 Desember 1962 
di Yogyakarta. Aksi pengibaran bendera berhasil menarik perhatian 
Indonesia ke Papua dan memungkinkan dialog-dialog dengan pemerintah 
Jakarta untuk melaksanakan Kongres Nasional Papua II pada tanggal 29 
Mei - 4 Juni 2000.

 

IV. PERAN GEREJA DALAM SITUASI SOSIAL POLITIK YANG BERUBAH

Peran gereja mengalami dinamika sesuai dengan perubahan sosial 
politik di Papua. Baik pada jaman Orde Baru, Awal Era Reformas tetapi 
juga terutama dalam masa yang akan datang.

4.1.1. Peran Gereja Pada Jaman Orde Baru

Ketika rezim Soeharto masih berjaya dan DOM begitu keta diberlakukan 
di Irian Jaya, sehingga segala bentuk sikap kritis terhadap masalah-
masalah pembangunan di Papua selalu dengan gampang dicap dengan 
Stigma OPM. Suatu Stigma yang nyaris sama seperti hukuman mati bagi 
setiap orang yang dikenai stigma tu. Oleh sebab itu, baik masyarakat 
maupun gereja mengalami kesulitan antara memberitakan kebenaran 
dengan menghadapi ancaman militer. Gereja begitu kesulitan untuk 
melakukan peran kenabian dan hanya bisa melakukannya melalui khotbah-
khotbah di minibar. Kecaman-kecaman terhadap kebijakan militer dan 
pembangunan cenderung dilakukan secara tertutup, melalui komunikasi 
antar pribadi ataupun melalul khotbah-khotbah.

Pada pertengahan tahun 1995, gereja melakukan suatu gebrakan berani 
dengan tampilnya Uskup Munninghoff, OFM melaporkan terjadinya 
pelangaran HAM berkaitan dengan protes masyarakat Amung-me atas 
kehadiran dan perilaku menejemen Pl Freeport. Laporan yang 
menyentakkan dunia internasional itu, makin memberanikan 
pimpinanpimpinan gereja untuk meningkatkan peran dalam melaporkan 
berbagai bentuk ketidakadilan. Baik menyangkut kasus Mapnduma, Bela, 
Jila dan Alama (1998) maupun kasus-kasus lain yang berlangsung 
berikutnya. Baik kasus Biak Berdarah (1998), kasus Sorong, Merauke, 
Timika, Nabire dan sebagainya. Baik oleh Gereja Katholik, GKI di 
Irian Jaya, maupun GKII.

4.2.  Peran Gereja Pada Awal Era Reformasi

4.2.1. Gereja Berperan Melalui FORERI

Era Reformasi membuka ruang politik di Indonesia, juga di Papua, kian 
lebar. Masyarakat menggunakan kesempatan untuk menyatakan aspirasi 
politik Papua Merdeka sambil menolak tegas opsi otonomi. Dalam ruang 
politik demikian sebagai institusi gereja secara aktif turut berperan 
mengungkapkan kebenaran tentang hak-hak orang Papua secara damai. 
Inisiatif untuk mendirikan lembaga FORERI merupakan keputusan 
strategis untuk menyalurkan aspirasi merdeka masyarakat tanah Papua 
secara damai. FORERI kemudian menjadi mediator aspirasi politik yang 
sengan sukses menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah untuk 
mengungkangkapkan aspirasi politik masyarakat. Baik melalui mediasi 
bagi terlaksananya Dialog dengan Presiden Habibie (Februar  1999), 
berlangsungnya upacara pengibaran bendera Bintang Kejora secara damai 
di Port Numbay (Desember 1999), Musyawarah Besar Papua (Febrauri 
2000) maupun Kongres Nasional Papua II (Juni 2000).

4.2.2. Gereja Berperan Melalui Keterlibatan Pimpinan Umat

Beberapa pimpinan umat, baik Pastor, Pendeta dari GKI Irja maupun 
Pendeta GKII di Irja4) melibatkan diri bersama umat dalam aktivitas 
bernuansa politik. Memang aktivitas demikian kemudian menimbulkan 
dilema berdasarkan anggapan umum bahwa gereja sebaiknya tidak 
berpoIitik. Namun demikian, peran ini dijalani terutama untuk 
menunjukkan bahwa keadilan dan kebenaran sedang mengalami ujian dalam 
kasus Papua. Terdapat berbagai bentuk pelanggaran HAM sebagaimana 
sudah disebutkan di atas yang melatarbelakangi terjadinya protes dan 
penyampaian aspiras politik merdeka. Lebih dari itu, peran gembala 
terhadap umat menjadi penting untuk menjaga agar perjuangan politik 
di Papua bisa berjalan dalam damai tanpa pertumpahan darah.

Dalam pandangan kami, sepanjang keterlibatan gembala umat bukanlah 
untuk pamrih politik tertentu, apalagi untuk mencari jabatan politik, 
melainkan semata untuk menegakkan kebenaran serta mengarahkan 
perjuangan politik di Papua Barat dalam bingkai keadilan, kebenaran 
dan perdamaian maka peran kenabian gereja dimungkinkan bahkan 
dibutuhkan. Firman Allah berkuasa atas segala aspek kehidupan 
manusia, juga dalam aspek politik.

4.2.3. Peran Gereja Melalui Surat Penggembalaan dan Rekomendasi

Gereja juga dalam berbagai momen politik memberikan kontribus melalui 
siaran pers sebagai siaran pastoral. Terutama menjelang kegiatan 
kegiatan-kegiatan politik yang melibatkan massa dalam jumlah besar 
gereja menyerukan agar segala aktivitas politik dilakukan secara 
damai. Surat Pastoral dalam bentuk siaran pers cukup efektif untuk 
mengajak umat berdialog dalam damai untuk mengungkapkan kebenaran. 
Namun pada saat yang bersamaan, gereja juga memberikan rekomendasi 
kepada pemerintah untuk memberi perhatian khusus bagi aspirasi umat 
tanpa menggunakan kekerasan.

Beberapa rekomendasi yang dikeluarkan gereja di Papua memiliki 
subsatansi yang sama seperti yang disampaikan kepada Presiden 
Abdurrahman dalam kunjungannya ke Papua Barat pada tanggal 31 
Desember 1999. Pada ketika tu, pimpinan gereja-gereja yaitu Uskup 
Jayapura Dr. Leo Laba Ladjar, Ketua Sinode GKI di lrja Pdt. Herman 
Saud, MTh., Ketua GKII Wilayah Irja Pdt. John M. Gobay, STh, 
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Baptis Sofyan Yoman, STh., BSc., 
Ketua Sinode Gereja Bethel Penthakosta Demianus Karubaba, STh., Ketua 
Sinode GIDI di Irian Jaya Pdt. Mestian Towolon, STh. Menyampaikan 
kepada Presiden dalam dialog pada jamuan malam tertutup suatu 
rekomendasi yang berisi sebagai berikut: 

a. Meminta jaminan keamanan dari pemerintah, sipil maupun militer, 
terutama agar tidak mengeksploitasi aspirasi  politik di Papua 
menjadi konflik horisontal sebagaimana yang terjadi di Maluku.

b. Meminta agar pemerintah mengakui eksistensi aspirasi Papua Merdeka 
secara demokratis. Misalnya dengan memungkinkan pendirian satu partai 
politik yang dapat secara sehat dan damai memperjuangkan aspirasi 
Papua Merdeka.

c. Mendesak pemerintah dan umat agar meneruskan dialog berkelanjutan 
dan semua tingkatan dalam penangangan masalah Papua Barat.

d. Mendesak pemerintah agar mengakui kesalahan di masa lalu serta 
meminta maaf, baik secara verbal di muka umum, maupun dengan 
mengajukan ke muka pengadilan semua pelaku kejahatan kemausiaan di 
Papua serta merehabilitasi nama para korban serta diuberikan ganti 
rugi.

e. Pemerintah sebaiknya mengoreksi kebijakan pembangunan di Papua 
yang bertumpu pada strategy pertumbuhan serta digantikan dengan 
strategy pembangunan yang menghormati HAM, lingkungan hidup, serta 
mengakui hak-hak masyarakatseperti hak atas tanah, hutan, laut serta 
menjaga kelestarian budaya. 

4.3. Tantangan Bagi Gereja

Dalam dinamika situasi sosial politik dan peran gereja sepert 
digambarkan di atas, terjadi beda pendapat yang memungkinkan 
terjadinya konflik dalam tubuh gereja. 

a. Gereja sering diibaratkan seperti berada antara moncong bedil dan 
ujung panah5). Jika gereja terlampau memihak aspirasi Papua Merdeka  
maka gereja akan menghadapi kekuasaan pemerintah yang diibaratkan 
sebagai moncong bedil Namun jika gereja memihak pemerintah maka 
selain menghadapi ancaman fisik dan masyarakat Papua yang diibaratkan 
sebagai ujung panah, tetapi juga rakyat akan mencari jawaban teologis 
atas permasalahannya dalam agama-agama suku. Seperti yang terjadi di 
Biak maupun Sorong dalam bentuk upaya menghidupkan kembali KORERI.

b. Gereja memiliki umat yang sangat beragam dari segi etnik dan 
aspirasi politik. Aspirasi politik umat terentang antara pro otonomi 
(umumnya di kalangan umat Kristen dari luar Papua), kelompok bingung 
(baik karena trauma terhadap stigma OPM maupun karena dalam keadaan 
bingung tidak memahami apa itu merdeka atau otonomi) serta kelompok 
yang secara tegas menghendaki Papua Merdeka lepas dari Indonesia. 
Seringkali sikap keberpihakan gembala umat menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan dan diskusi serlus tentang posisi politik gereja.

c. Terdapat persoalan dan konflik dalam dir Gembala Umat, khususnya 
yang berasal dari Papua dan terlibat dalam kehidupan umat, untuk 
membebaskan diti dari perasaan  sebagai  korban.  Secara ideal, 
seorang  gembala seharusnya menyampaikan visi gereja dalam 
menghadirkan Kerajaan Allah di Bumi (adil, benar dan damai). Namun 
sebagai korban, ada gembala yang entah saudara, suami, istri, anak 
atau keluarganya pernah menjadi korban kekejaman militer. Dalam 
situasi demikian peran seorang gembala bagi umat sering kali sulit 
untuk dibebaskan dari luapan kerinduan seorang korban kekejaman 
militer Indonesia yang sedang merindukan kemerdekaan dalam makna 
bebas dari Indonesia. Terjadi konflik peran. 

Maka, tepatlah kesimpulan yang dibuat oleh para pendeta GKI di Irian 
Jaya ketika mereka berupaya mencari jawaban atas konflik dalam tubuh 
gereja sebagai akibat perbedaan persepsi politik. Dalam konven 
pendeta yang berlangsung antara tanggal 11 -29 Mei 2000 di Jayapura, 
Biak dan Sorong para pendeta mencoba memberikan rumusan visi bagi GKI 
Irja menghadapi situasi politik dengan rumusan demikian : ,,rakyatlah 
yang berkedaulatan rnenentukan nasib sendiri entah rnemilih merdeka 
atau otonomi; gereja akan tetap mewartakan Firman Allah dan melayani 
umat entah dalam merdeka atau otonomi6).

 

V. REKOMENDASI : Catatan untuk Sebuah Diskusi

Bila seminar ini hendak merumuskan dukungan konkrit untuk melawan 
kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang mendorong lahirnya 
perjuangan politik di Papua Barat, maka kami merekomendasikan 
beberapa catatan berikut untuk didiskusikan:

Pertama, semua pihak sebaiknya mendorong pemerintah Indonesia untuk 
tetap membuka peluang bagi kelanjutan dialog mengenai masalah Papua 
Barat. Terutama agar pemerintah tidak menciptakan konflik horisontal 
(antara masayarakat dengan masyarakat) atau konflik vertikal (antara 
masyarakat dengan pemerintah khusunya militer) baik secara langsung 
melalui kekerasan militer maupu dengan mengembangkan kekuatan-
kekuatan baru seperti milisi Merah Putih di Fakfak.

Kedua, semua pihak sebaiknya mendorong terjadinya rekonstruksi 
sejarah untuk melihat secara jernih akar permasalahan di Papua Barat 
secara benar, adil dan damai. Sebuah upaya untuk membuktikan tuduhan 
rakyat Papua bahwa telah terjadi pengkhianatan Indonesia dan dunia 
internasional terhadap hak menentukan nasib sendir bangsa Papua pada 
saat PEPERA 1969, segala akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan DOM 
serta kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu pada strategy 
pertumbuhan serta krisis identitas yang dialami orang Papua serta 
berbagai bentuk proses genoside harus bisa diungkap secara objektif. 
Perlu dibentuk Komis Independen Pencari Fakta, sebaiknya di bawah 
pemantauan dunia internasional untuk menjamin kejujuran, dalam 
mengungkapkan tiga persoalan utama di Papua Barat.

Ketiga, atas dasar rekonstruksi sejarah itu maka diperlukan dukungan 
selanjutnya dari semua pihak untuk melakukan proses menciptakan rasa 
adil bagi masyarakat Papua. Proses menciptakan rasa adil ini hanya 
dapat dilakukan jika terjadi proses hukum yang adil terhadap pelaku 
kejahatan kemanusiaan di Papua serta ada rehabilitasi nama baik para 
korban serta ganti rugi yang layak bagi korban. Proses memberi rasa 
adil bagi rakyat diharapkan akan memberi kemungkinan bagi rakyat 
Papua untuk membebaskan diri dari perasaan benci, amarah dan dendam 
sebagai pra syarat untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Keempat, baru sesudah membebaskan rakyat dari ingatan penderitaan 
yang dialami itu maka rakyat dapat diajak untuk mendiskusikan secara 
rasional kemungkinankemungkinan rencana yang perlu dilakukan demi 
masa depan yang labih baik. Suatu skenario building masa depan papua 
bisa dibuat.

Dalam langkah demikian kita memenuhi pesan Kristus ketika 
berkata ,,Marilah kepada-Ku,hai kamu yang berbeban berat. Aku akan 
memberikan kelegaan kepadamu." Dan sesudah Yesus mengangkat beban dan 
memberikan kelegaan, barulah Yesus bersabda : Kasihilah sesamamu 
manusia seperti dirimu sendiri: Tanpa memberikan kelegaan bagi orang 
Papua dari ingatan penderitaan akibat kejahatan kemanusiaan di Papua, 
baik secara individu dan kolektif, maka sangat sulit mengharapkan 
kasih benar-benar menjadi nyata dalam perdamaian di Papua.

  

Pastor Paroki Santa Maria - Biak, Papua Barat, Indonesia. TeIp./Fax 
(0981) 21 .029. 
Seiengkapnya tentang bagian ini dapat dibaca dalam Seri Memoria 
Passionis No. 6: ASPIRASI MERDEKA MASYARAKAT TANAH RAPUA DAN 
PERJUANGAN DEMOKASI BANGSA INDONESlA AWAL TAHUN 2000 : SUATU PETA 
SOSI0 POLITIK, Sekretariat Keadilan dan Perdamalan Keuskupan 
Jayapura, Mei 2000 Version, disampaikan dalam rangka Konven dan 
Pelatihan Conflict Resolution, 
GKI Jayapura, Mei 2000 
Selengkapnya tentang aspek ini dapat dibaca dalam Laporan Lembaga 
Study dan Hak Asasi Manusia (ELSHAM) berjudul: PUSARA TANPA NAMA, 
NAMA TANPA PUSARA, Laporan Pelanggaran HAM di Biak Juli 1998. 
Beberapa nama pendeta dapat disebutkan di sini sepert Pdt. Herman 
Awom, STh (Wakil Ketua Badan Pengurus Am Sinode GKI di Irja) maupun 
Pdt. Dr. Benny Giay (Kepala Litbang GKII di Irian Jaya) terlibat 
langsung dalam kegiatan Presidium Dewan Papua sebagai Mediator, juga 
peran saya (Nato Gobay) sebagai peserta Dialog Nasional dengan 
Presiden Habibie maupun sebagal anggota Panel Presidium Papua. 
Seperti diungkapkan oleh Pdt. Drs. Max Demetouw, Ketua Sinode GPI, 
kepada Tim Ahil Menteri Negara Urusan HAM di Jayapura awal ]uni 2000. 
Menggalang Keaadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Melalui 
Panyadaran dan Kebersamaan Pelayanan Gereja dalam Menegakkan 
HakAzasiManusia : PENDAMPINGAN GKI DI IRIAN JAYA, Peran Advokasi, 
Transformasi dan Rekonsiliasi,  Laporan Hasil Pelatihan Resolusi 
Konflik dan Konvent Pendeta GKI di Irian Jaya, 11 - 29 Mei 2000 di 
Jayapura, Biak dan Sorong 
 
 
 
 
 ko responden yosep gobai
       
  
 





-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: jesus-net@yahoogroups.com

Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED]
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke