Runder Tisch zu West Papua, 29.-30 november 2004, Berlin
3. Gesprächsrunde: Menschenrechte und staatlicher Terror TANTANGAN GEREJA DALAM MENSIKAPI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI PAPUA BARAT Gambaran Umum tentang Pelanggaran HAM Selama Hampir 40 Tahun Dan Dilema Peran Gereja Menghadapi Kondisi Sosial Politik di Papua Barat Oleh : Pastor Nato Gobay1) I.TITIK PANDANG PERMASALAHAN Pada tanggal 30 Mei - 4 ]uni 2000 lalu suatu pesta demokrasi bagi rakyat Papua diselesaikan secara damai dan mengesankan, yaitu Kongres Nasional Papua II. Setelah selama sekitar 40 tahun menentang pengabaian hak asasi orang Papua untuk menentukan nasib sendiri, maka Kongres Nasional Papua II ini patut disyukuri sebagai anugerah Tuhan. Betapa tidak, kegiatan besar yang diikuti langsung oleh sekitar 3.000 peserta aktif dan 21.000 masyarakat Papua yang mengikuti acara itu melalui pengeras suara di arena Kongres serta jutaan orang Papua yang mengikuti melalui siaran radio dapat berjalan aman dan sukses dengan pengamanan oleh masyarakat sendiri (Satgas Papua) dan mengeluarkan Resolusi Politik yang pada intinya menggugat proses sejarah yang telah mengakibatkan wilayah dan rakyat Papua menjadi bagian integral Republik lndonesia.. Pada hal selama sekitar 40 tahun, aksi protes Papua baik melalui aksi bersenjata, pengungsian ke luar negeri, demonstrasi, aksi pengibaran bendera maupun dialog damai selalu disertai korban jiwa manusia. Bila kita berkunjung ke pelosok-pelosok Papua, dengan gampang kita akan bertemu sejumlah masyarakat yang mengakui bahwa di hutan ini ayah, ibu beserta saudara-saudaranya dibantai oleh militer. Banyak yang diperkosa, disiksa, dihilangkan, ditangkap tanpa proses hukum serta berbagai bentuk penyiksaan di luar batas kemanusiaan. Kuburan massal bertebaran di mana-mana. Semua dilakukan oleh militer Indonesia berdasarkan tudingan (stigma) OPM. Tetapi bagi rakyat Papua, OPM adalah ideology perjuangan untuk memperoleh kebenaran. Rakyat Papua sedang memperjuangkan keadilan dan kebenaran baginya, namun banyak kali pemerintah mencurigai kegiatan itu sebagai kegiatan subversif. Banyak kali pemerintah menggunakan pendekatan militer. Gereja berada pada posisi serba salah. Hendak menghormati rakyatkah atau pemerintah? Tulisan ini mengajak kita mendiskusikan sikap gereja- gereja di Papua pada umumnya dalam dinamika social politik di Indonesia yang belum stabil. Mengapa rakyat Papua melawan pemerintah Indonesia? Study ELSHAM (Lembaga Study dan Hak Asasi Manusia) Papua Barat menunjukkan bahwa ada tiga permasalahan utama. Pertama, rakyat Papua menganggap bahwa Act of Free Choice 1969 yang dirubah di Indonesia menjadi Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai realisasi dari New York Agreement 1962 merupakan bentuk konkrit pengabaian dunia internasional dan pemerintah Indonesia atas hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri. Proses penyusunan New York Agreement sama sekali tidak melibatkan orang Papua. PEPERA dijalankan di bawah proses penuh intimidasi, larangan berkumpul dan berbicara, penghilangan orang, pembunuhan dan berbagai bentuk tindakan militer yang menistai demokrasi. Seluruh aktivitas yang menjauhkan orang Papua dari realisasi haknya untuk menentukan nasib sendiri dalam pandangan orang Papua jelas-jelas melanggar kententuan Resolusi PBB No. 1 514 dan 1 541 tentang proses dekolonisasi bagi bangsa-bangsa yang dijajah. Kedua, atas dasar status legal yang diberikan oleh PBB melalui Resolusi No. 2504/XXIV tahun 1969 yang mengesahkan hasil PEPERA maka secara de jure Irian Jaya menjadi wilayah kekuasaan Indonesia. Keberadaan Indonesia di Papua dilalui dengan penetapan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menunjang kebijakan pembangunan yang bertumpu pada strategy pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan, HPH, transmigrasi, pariwisata dan berbagai proyek pembangunan lainnya. Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada strategy pertumbuhan ekonomi itu berimplikasi pad aspek social budaya seperti perusakan lingkungan hidup, pengambilan tanah, penebangan hutan, pengrusakan dusun-dusun masyarakat, serta degradasi kebudayaan masyarakat setempat. Ketiga, gabungan kedua permasalahan di atas menciptakan krisis identitas bagi orang Papua. Krisis identitas nampak dalam aspek kebudayaan, ekonomi, birokrasi pemerintahan, dan sebagainya. Maka muncul tuntutan untuk menghormati kebudayaan, pengembangan kebudayaan Papua Melanesia, Papunisasi birokrasi, penguasaan sumber daya ekonomi, maupun tuntutan agar pemerintah mengakui keberadaan lembaga adat. II. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN: Bukan Sekedar Salah Urus Kesalahan sejarah (distorsi historis) yang terjadi melibatkan PBB dalam proses tranfer kewenangan dari Belanda ke Indonesia telah menjustifikasi negara Republik Indonesia untuk melakukan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat di Papua Barat. Pemerintahan Indonesia, terutama di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan pendekatan kekuasaan yang sangat represif dan meninggalkan kisah sejarah yang sangat memilukan di seantero tanah Papua. Akumulasi tiga persoalan besar di atas mendorong rakyat Papua melakukan protes dalam bentuk aksi bersenjata (OPM, sejak pemberotakan Ferry Awom di Manokwari, 28 Juli 1965), aksi penngungsian (terutama pasca PEPERA 1969 serta ketika terjadi sekitar 10.000 orang Papua mengungsi ke PNG pasca-pembunuhan Arnold Ap 1984), prokalamasi kemerdekaan Papua (versi Markas Victoria, 1 Juli 1971 maupun versi Thom Wanggai, 14 Desember 1988), demonstrasi mahasiswa, dan aksi pengibaran bendera Papua. Situasi bukan membaik. Kengerian makin bertambah ketika akumulasi protes diungkap, pemerintah menjawabnya dengan memberlakukan daerah operasi militer (DOM). Intervensi militer Indonesia secara besar-besaran bermula di tahun 1970-an. Kebijakan DOM memporak-porandakan seluruh pranata social yang mendukung kehidupan cultural dan ekonom rakyat. Secara sistematis terjadi pelanggaran HAM sangat berat yang memenuhi syarat untuk di katakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity). Ketika menyebut Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, maka pengertian yang saya maksud mengacu kepada Statute Mahkamah Internasional di mana Crime Against Humanity didefinisikan sebagai : " ... a ,,widespread or systematic attack aginst any civllian population, with knowledge of the attack". The specific acts listed include murder, extermination, enslavement, and deportation.... AIso imprisonment, torture, rape, and persecutions on polltical, raciaI, and religious ground. ,,(Lawywers Committee for Human Rights, FREQUENTLY ASKED QUESTION ABOUT THE INTERNATIONAL COUPT, December 1998, P 3.). Definisi Mahkamah Internasional mengantar kita keluar dari penyempitan pemaknaan kejahatan terhadap kemanusian, seolah kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi hanya ketika jiwa manusia terenggut. Sesungguhnya cakupan pengertian kejahatan kemanusiaan melampaui pembunuhan. Ternyata ,mandat' dunia internasional melalui PBB bagi Indonesia untuk mengambil-alih kekuasaan atas wilayah dan rakyat Irian Jaya telah melegitimasi Indonesia untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat selama kurun waktu 40 tahun. Pengalaman saya sebagai pastor, telah mengantar saya untuk mendampingi masyarakat korban sehingga dapat saya sebutkan dengan hati yang luluh betapa berat penderitaan yang dialami oleh umat, rakyat dan saya sendiri sebagai orang Papua. Di Biak, pada penghujung tahun 1998, saya bersama sejumlah relawan ELSHAM mendatangi beberapa kampung di Biak Barat selama beberapa jam dan kepada kami ditunjukkan sekitar 10 buah kuburan massal berisi antara 3 sampai 10 orang yang setiap kuburannya. Pada waktu itu saya mendapatkan data kasar tentang kurang lebih 2000 kasus pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan serta kasus ibu-ibu yang melahirkan karena perbuatan tentara. Data- data mana masih terus bertambah dan sedang dilakukan proses re-check tentang kebenarannya. Bahkan ketika angin reformasi berhembus, aksi damai rakyat pada bulan 2-6 Juli 1998 direspon dengan mengerahkan kekuatan POLRI dan militer dari darat maupun laut untuk menanganinya sehingga mengakibatkan sejumlah orang terbunuh, hilang, luka-luka parah dan sampai saat ini kami masih mencari kaitan antara operasi militer tanggal 6 Juli 1998 dengan penemuan sejumlah puluhan mayat misterius yang terdampar di Biak. Peristiwa ini dikenang sebagai Tragedi Biak Berdarah, 6. Juli 1998. Ketika masih bertugas sebagai Pastor Paroki Tiga Raja di Timika, saya aktif terlibat dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dalam wilayah penambangan PT Freeport (1995) di mana terjadi pembunuhan, penghilangan, serta penyiksaan penduduk secara sangat serius. Kasus Freeport terjadi sebagai reaksi militer untuk melindungi Freeport sebagai industri vital. Saya pun terlibat dalam mengungkapkan aksi militer yang dilakukan terhadap masyarakat sipil di kampung Bella, Jilla dan Allama pada tahun 1998. Selain dari fakta-fakta yang berhasil diungkapkan karena kerja sama antara ELSHAM dan pihak gereja (Katholik, GKII dan GKI di Irian Jaya) masih terdapat sejumlah data kasar yang pertu diverifikasi lagi tentang berbagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Baik dalam peristiwa operasi militer di Manokwari (1965 sampai 1980-an), kasus operasi militer di Wamena (1970-1980-an),kasus Paniai (1969), serta berbagai kasus terbaru sepanjang tahun 1999 seperti di Manokwari, Sorong maupun Timika dan Nabire. Pembunuhan, penghilangan orang, pemerkosaan, pembantaian, pengrusakan kebuadayaan, perusakan lingkungan menjadi catatan tersendiri orang Papua ketika hendak berbicara tentang Indonesia. Ada ingatan indifidu dan kolektif tentang sejarah penderitaan yang memilukan. Dan ada di se-antero Papua. Seringkali, pihak pemerintah Indonesia menyatakan kesalahan masa lalu sebagai akibat salah urus. Di pihak militer, disebut salah prosedur. Namun jika melihat polanya yang berjalan sistematik, terencana dan mencakup hampir seluruh wilayah Papua Barat, maka dapatlah disimpulkan bahwa apa yang berlangsung di Papua Barat bukanlah dampak negatif dari satu proses salah urus. Tetapi nyata-nyata adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan. III. PERUBAHAN SITUASI SOSIAL POLITIK 3.1. Perubahan Sosial Politik di Tingkat Nasional Indonesia : Ruang Politik Dibuka Broeder Theo van den Broek menunjukkan bahwa perubahan sosial politik di Indonesia antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 berjalan amat cepat2). Sebagai akibat situasi chaos di Jakarta pada bulan Mei 1998, apalagi didukung dengan aksi mahasiswa Indonesia, maka pada tanggal 21 Mei 2000 terjadi peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru Pimpinan Jenderal Besar Soeharto kepada rezim Reformasi yang bermula dengan kepemimpinan Presiden B. J. Habibie. Presiden B. J. Habibie setahun kemudian diganti oleh Presiden Abdurrachman Wahid dalam proses pemilihan umum di Indonesia yang paling demokratis sepanjang sejarahnya. Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru yang menancapkan kuku kekuasaannya di atas darah jutaan rakyat (baik oleh perisitiwa G. 30/S/PKI maupun penghilangan lawan-lawan politik serta pemadaman aksi kritis rakyat terutama di Aceh, Tim Tim dan Papua) ke rezim Era Reformasi dilatar-belakangi oleh krisis ekonomi serius, krisis birokrasi pemerintahan yang ber-KKN, konflik-konflik serta kekerasan di pelbagai daerah, tuntutan pemulihan kembali harga diri sebagai bangsa dan penegakkan hukum serta gerekan-gerakan memerdekakan diri beberapa daerah. Akumulasi berbagai persoalan yang tak kunjung diselesaikan itu memuncak dengan pendepakkan Soeharto dari kursi kepemimpinan. Masa kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Prof. Dr. Ir. B. J. Habibie yang berumur satu tahun. Rezim Habibie tercatat dalam sejarah terutama karena keberhasilannya menyelesaikan masalah Timor Timur sekalipun dengan meninggalkan catatan berdarah dari sisi pelanggaran HAM, juga dengan mempersiapkan dan menjalankan satu pemilihan umum di Indonesia yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Berdasarkan hasil pemilihan umum inilah maka Presiden Abdurrahman Wahid dapat naik ke panggung kekuasaan. Namun pada penghujung kekuasaan jaman Presiden Soeharto ke jaman Habibie, terjadi berbagai i bentuk konfrontasi berdarah. Baik konflik berdarah antara etnik Sambas dan Madura di Kalimantan Barat, konflik berdarah antara kaum Muslim dan Kristen di Ambon, pembakaran gereja, pemerkosaan terhadap perempuan dari etnik China serta politik pembumi- hangusan di Timor Timur yang meninggalkan catatan pelanggaran sejarah memilukan. Prestasi Abdurrahman Wahid mencuat ketika secara damai berusaha mengeluarkan militer (TNII dan POLRI) dari dominasinya di panggung politik selama ini. Juga dengan menegakkan supremasi hukum. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, sejumlah jenderal yang kebal hukum di jaman Soeharto dan Habibie dapat diajukan ke dalam proses-proses pro justicia. 3.2. Situasi Sosial Politik di Papua dalam Era Reformas : Otonomi vs Papua Merdeka Dinamika situasi sosial politik Indonesia demikian membuka ruang politik yang memungkinkan penyampaian berbagai bentuk aspirasi yang terpendam selama bertahun-tahun di Papua Barat. Pada bulan Mei 1998 di Papua Barat berlangsung berbagai bentuk demonstrasi. Lazimnya, dilakukan oleh mahasiswa tertuju ke intasnsi tertentu, misalnya militer dan DPRD, guna menuntut perhatian akan (a). Persoalan Hak Asasi Manusia; (b). Hak akan partisipasi dalam jenjang birokras pemerintahan (sering disebut Papuanisasi Birokrasi); (c). persoalan transmigrasi dan (e) persoalan hak ulayat tanah adat, dsb. Peran kemudian beralih dari mahasiswa ke masyarakat dengan bentuk demonstrasi yang juga mengalami perubahan. Pada tahun 1999, demonstrasi berubah menjadi pemalangan sejumlah kantor instasnsi- instansi penting seperti Kantor Kehutanan (di Jayapura), kantor Dinas Pendapata Daerah di Biak, dan di Sorong berlangsung pemalangan kepada hampir semua perusahaan seperti Perusahaan Pertamina, Usaha Mina (Perusahaan Pertambangan) maupun Perusahaan Tambang. Namun pada tahun 2000, demonstrasi massa berali ke pemalangan fasilitas publik seperti pemalangan sumber air minum (di Waena- Port Numbay), pemalangan Kantor Telkom, pemalangan Rumah Sakit Pembantu di Abepura - Jayapura. Pada bulan Juli 1998 terjadi perubahan drastis, setelah terjadi perisitiwa penaikkan bendera Papua antara lain di Biak, Sorong dan Wamena. Didorong oleh kemarahan akibat penanganan secara militer terhadap peristiwa penaikkan bendera Bintang Kejora di Biak pada tanggal 6 Juli 1998 yang mengakibatkan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat3) (antara lain terdapat korban meninggal dunia). Penggunaan kekerasan militer ini dianggap tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang coba dibentuk dalam era reformasi. Apalagi kekerasan militer itu dilakukan untuk menghadapi aksi damai rakyat sipil tidak bersenjata. Maka dibentuklah FORERI untuk memfasilitasi dialog damai dengan pemerintah RI dalam rangka penyampaian aspirasi politik masyarakat Papua yang diwakil oleh Tim 100. Pernyataan Tim 100 mengejutkan banyak pihak sebab secara terang-terangan menyatakan kehendak untuk merdeka dan berdiri sejajar dengan bangsa lain di muka bumi di hadapan para petinggi Jakarta pimpinan Presiden Habibie pada tanggal 26 Februari 2000. Sep- ulangnya ke Papua, Tim 100 memperoleh sambutan hangat dari ribuan masyarakat Papua di setiap kabupaten. Sambutan rakyat ini menunjukkan bahwa aspirasi rakyat yang sesungguhnya sudah dinyatakan. Dalam konteks ini dapat dimengerti bahwa kelompok pejuang kemerdekaan ini menolak segala bentuk dialog mengenai ,,soal pembangunan" karena menurut mereka permasalahan- permasalahan di tingkat itu tidak sama dengan permasalahan yang sebenarnya. Pasca pernyataan Tim 100 kepada Presiden Habibie, masih terjadi berbagai bentuk demonstrasi pro Papua Merdeka yang menuntut jawaban pemerintah. Sampai menjelang 1 Desember 1999, terjadi berbagai bentuk ketidak-pastian politik serta tuntutan yang mengarah kepada upacara pengibaran Sang Bintang Kejora di seluruh pelosok Tanah Papua untuk menuntut pengakuan kedaulatan Negara Papua yang diyakini pernah didirikan pada tanggal 1 Desember 1961 namun dianeksasi melalui Trikora yang dikumandangkan oleh Presiden Soekarno 19 Desember 1962 di Yogyakarta. Aksi pengibaran bendera berhasil menarik perhatian Indonesia ke Papua dan memungkinkan dialog-dialog dengan pemerintah Jakarta untuk melaksanakan Kongres Nasional Papua II pada tanggal 29 Mei - 4 Juni 2000. IV. PERAN GEREJA DALAM SITUASI SOSIAL POLITIK YANG BERUBAH Peran gereja mengalami dinamika sesuai dengan perubahan sosial politik di Papua. Baik pada jaman Orde Baru, Awal Era Reformas tetapi juga terutama dalam masa yang akan datang. 4.1.1. Peran Gereja Pada Jaman Orde Baru Ketika rezim Soeharto masih berjaya dan DOM begitu keta diberlakukan di Irian Jaya, sehingga segala bentuk sikap kritis terhadap masalah- masalah pembangunan di Papua selalu dengan gampang dicap dengan Stigma OPM. Suatu Stigma yang nyaris sama seperti hukuman mati bagi setiap orang yang dikenai stigma tu. Oleh sebab itu, baik masyarakat maupun gereja mengalami kesulitan antara memberitakan kebenaran dengan menghadapi ancaman militer. Gereja begitu kesulitan untuk melakukan peran kenabian dan hanya bisa melakukannya melalui khotbah- khotbah di minibar. Kecaman-kecaman terhadap kebijakan militer dan pembangunan cenderung dilakukan secara tertutup, melalui komunikasi antar pribadi ataupun melalul khotbah-khotbah. Pada pertengahan tahun 1995, gereja melakukan suatu gebrakan berani dengan tampilnya Uskup Munninghoff, OFM melaporkan terjadinya pelangaran HAM berkaitan dengan protes masyarakat Amung-me atas kehadiran dan perilaku menejemen Pl Freeport. Laporan yang menyentakkan dunia internasional itu, makin memberanikan pimpinanpimpinan gereja untuk meningkatkan peran dalam melaporkan berbagai bentuk ketidakadilan. Baik menyangkut kasus Mapnduma, Bela, Jila dan Alama (1998) maupun kasus-kasus lain yang berlangsung berikutnya. Baik kasus Biak Berdarah (1998), kasus Sorong, Merauke, Timika, Nabire dan sebagainya. Baik oleh Gereja Katholik, GKI di Irian Jaya, maupun GKII. 4.2. Peran Gereja Pada Awal Era Reformasi 4.2.1. Gereja Berperan Melalui FORERI Era Reformasi membuka ruang politik di Indonesia, juga di Papua, kian lebar. Masyarakat menggunakan kesempatan untuk menyatakan aspirasi politik Papua Merdeka sambil menolak tegas opsi otonomi. Dalam ruang politik demikian sebagai institusi gereja secara aktif turut berperan mengungkapkan kebenaran tentang hak-hak orang Papua secara damai. Inisiatif untuk mendirikan lembaga FORERI merupakan keputusan strategis untuk menyalurkan aspirasi merdeka masyarakat tanah Papua secara damai. FORERI kemudian menjadi mediator aspirasi politik yang sengan sukses menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah untuk mengungkangkapkan aspirasi politik masyarakat. Baik melalui mediasi bagi terlaksananya Dialog dengan Presiden Habibie (Februar 1999), berlangsungnya upacara pengibaran bendera Bintang Kejora secara damai di Port Numbay (Desember 1999), Musyawarah Besar Papua (Febrauri 2000) maupun Kongres Nasional Papua II (Juni 2000). 4.2.2. Gereja Berperan Melalui Keterlibatan Pimpinan Umat Beberapa pimpinan umat, baik Pastor, Pendeta dari GKI Irja maupun Pendeta GKII di Irja4) melibatkan diri bersama umat dalam aktivitas bernuansa politik. Memang aktivitas demikian kemudian menimbulkan dilema berdasarkan anggapan umum bahwa gereja sebaiknya tidak berpoIitik. Namun demikian, peran ini dijalani terutama untuk menunjukkan bahwa keadilan dan kebenaran sedang mengalami ujian dalam kasus Papua. Terdapat berbagai bentuk pelanggaran HAM sebagaimana sudah disebutkan di atas yang melatarbelakangi terjadinya protes dan penyampaian aspiras politik merdeka. Lebih dari itu, peran gembala terhadap umat menjadi penting untuk menjaga agar perjuangan politik di Papua bisa berjalan dalam damai tanpa pertumpahan darah. Dalam pandangan kami, sepanjang keterlibatan gembala umat bukanlah untuk pamrih politik tertentu, apalagi untuk mencari jabatan politik, melainkan semata untuk menegakkan kebenaran serta mengarahkan perjuangan politik di Papua Barat dalam bingkai keadilan, kebenaran dan perdamaian maka peran kenabian gereja dimungkinkan bahkan dibutuhkan. Firman Allah berkuasa atas segala aspek kehidupan manusia, juga dalam aspek politik. 4.2.3. Peran Gereja Melalui Surat Penggembalaan dan Rekomendasi Gereja juga dalam berbagai momen politik memberikan kontribus melalui siaran pers sebagai siaran pastoral. Terutama menjelang kegiatan kegiatan-kegiatan politik yang melibatkan massa dalam jumlah besar gereja menyerukan agar segala aktivitas politik dilakukan secara damai. Surat Pastoral dalam bentuk siaran pers cukup efektif untuk mengajak umat berdialog dalam damai untuk mengungkapkan kebenaran. Namun pada saat yang bersamaan, gereja juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberi perhatian khusus bagi aspirasi umat tanpa menggunakan kekerasan. Beberapa rekomendasi yang dikeluarkan gereja di Papua memiliki subsatansi yang sama seperti yang disampaikan kepada Presiden Abdurrahman dalam kunjungannya ke Papua Barat pada tanggal 31 Desember 1999. Pada ketika tu, pimpinan gereja-gereja yaitu Uskup Jayapura Dr. Leo Laba Ladjar, Ketua Sinode GKI di lrja Pdt. Herman Saud, MTh., Ketua GKII Wilayah Irja Pdt. John M. Gobay, STh, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Baptis Sofyan Yoman, STh., BSc., Ketua Sinode Gereja Bethel Penthakosta Demianus Karubaba, STh., Ketua Sinode GIDI di Irian Jaya Pdt. Mestian Towolon, STh. Menyampaikan kepada Presiden dalam dialog pada jamuan malam tertutup suatu rekomendasi yang berisi sebagai berikut: a. Meminta jaminan keamanan dari pemerintah, sipil maupun militer, terutama agar tidak mengeksploitasi aspirasi politik di Papua menjadi konflik horisontal sebagaimana yang terjadi di Maluku. b. Meminta agar pemerintah mengakui eksistensi aspirasi Papua Merdeka secara demokratis. Misalnya dengan memungkinkan pendirian satu partai politik yang dapat secara sehat dan damai memperjuangkan aspirasi Papua Merdeka. c. Mendesak pemerintah dan umat agar meneruskan dialog berkelanjutan dan semua tingkatan dalam penangangan masalah Papua Barat. d. Mendesak pemerintah agar mengakui kesalahan di masa lalu serta meminta maaf, baik secara verbal di muka umum, maupun dengan mengajukan ke muka pengadilan semua pelaku kejahatan kemausiaan di Papua serta merehabilitasi nama para korban serta diuberikan ganti rugi. e. Pemerintah sebaiknya mengoreksi kebijakan pembangunan di Papua yang bertumpu pada strategy pertumbuhan serta digantikan dengan strategy pembangunan yang menghormati HAM, lingkungan hidup, serta mengakui hak-hak masyarakatseperti hak atas tanah, hutan, laut serta menjaga kelestarian budaya. 4.3. Tantangan Bagi Gereja Dalam dinamika situasi sosial politik dan peran gereja sepert digambarkan di atas, terjadi beda pendapat yang memungkinkan terjadinya konflik dalam tubuh gereja. a. Gereja sering diibaratkan seperti berada antara moncong bedil dan ujung panah5). Jika gereja terlampau memihak aspirasi Papua Merdeka maka gereja akan menghadapi kekuasaan pemerintah yang diibaratkan sebagai moncong bedil Namun jika gereja memihak pemerintah maka selain menghadapi ancaman fisik dan masyarakat Papua yang diibaratkan sebagai ujung panah, tetapi juga rakyat akan mencari jawaban teologis atas permasalahannya dalam agama-agama suku. Seperti yang terjadi di Biak maupun Sorong dalam bentuk upaya menghidupkan kembali KORERI. b. Gereja memiliki umat yang sangat beragam dari segi etnik dan aspirasi politik. Aspirasi politik umat terentang antara pro otonomi (umumnya di kalangan umat Kristen dari luar Papua), kelompok bingung (baik karena trauma terhadap stigma OPM maupun karena dalam keadaan bingung tidak memahami apa itu merdeka atau otonomi) serta kelompok yang secara tegas menghendaki Papua Merdeka lepas dari Indonesia. Seringkali sikap keberpihakan gembala umat menimbulkan pertanyaan- pertanyaan dan diskusi serlus tentang posisi politik gereja. c. Terdapat persoalan dan konflik dalam dir Gembala Umat, khususnya yang berasal dari Papua dan terlibat dalam kehidupan umat, untuk membebaskan diti dari perasaan sebagai korban. Secara ideal, seorang gembala seharusnya menyampaikan visi gereja dalam menghadirkan Kerajaan Allah di Bumi (adil, benar dan damai). Namun sebagai korban, ada gembala yang entah saudara, suami, istri, anak atau keluarganya pernah menjadi korban kekejaman militer. Dalam situasi demikian peran seorang gembala bagi umat sering kali sulit untuk dibebaskan dari luapan kerinduan seorang korban kekejaman militer Indonesia yang sedang merindukan kemerdekaan dalam makna bebas dari Indonesia. Terjadi konflik peran. Maka, tepatlah kesimpulan yang dibuat oleh para pendeta GKI di Irian Jaya ketika mereka berupaya mencari jawaban atas konflik dalam tubuh gereja sebagai akibat perbedaan persepsi politik. Dalam konven pendeta yang berlangsung antara tanggal 11 -29 Mei 2000 di Jayapura, Biak dan Sorong para pendeta mencoba memberikan rumusan visi bagi GKI Irja menghadapi situasi politik dengan rumusan demikian : ,,rakyatlah yang berkedaulatan rnenentukan nasib sendiri entah rnemilih merdeka atau otonomi; gereja akan tetap mewartakan Firman Allah dan melayani umat entah dalam merdeka atau otonomi6). V. REKOMENDASI : Catatan untuk Sebuah Diskusi Bila seminar ini hendak merumuskan dukungan konkrit untuk melawan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang mendorong lahirnya perjuangan politik di Papua Barat, maka kami merekomendasikan beberapa catatan berikut untuk didiskusikan: Pertama, semua pihak sebaiknya mendorong pemerintah Indonesia untuk tetap membuka peluang bagi kelanjutan dialog mengenai masalah Papua Barat. Terutama agar pemerintah tidak menciptakan konflik horisontal (antara masayarakat dengan masyarakat) atau konflik vertikal (antara masyarakat dengan pemerintah khusunya militer) baik secara langsung melalui kekerasan militer maupu dengan mengembangkan kekuatan- kekuatan baru seperti milisi Merah Putih di Fakfak. Kedua, semua pihak sebaiknya mendorong terjadinya rekonstruksi sejarah untuk melihat secara jernih akar permasalahan di Papua Barat secara benar, adil dan damai. Sebuah upaya untuk membuktikan tuduhan rakyat Papua bahwa telah terjadi pengkhianatan Indonesia dan dunia internasional terhadap hak menentukan nasib sendir bangsa Papua pada saat PEPERA 1969, segala akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan DOM serta kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu pada strategy pertumbuhan serta krisis identitas yang dialami orang Papua serta berbagai bentuk proses genoside harus bisa diungkap secara objektif. Perlu dibentuk Komis Independen Pencari Fakta, sebaiknya di bawah pemantauan dunia internasional untuk menjamin kejujuran, dalam mengungkapkan tiga persoalan utama di Papua Barat. Ketiga, atas dasar rekonstruksi sejarah itu maka diperlukan dukungan selanjutnya dari semua pihak untuk melakukan proses menciptakan rasa adil bagi masyarakat Papua. Proses menciptakan rasa adil ini hanya dapat dilakukan jika terjadi proses hukum yang adil terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua serta ada rehabilitasi nama baik para korban serta ganti rugi yang layak bagi korban. Proses memberi rasa adil bagi rakyat diharapkan akan memberi kemungkinan bagi rakyat Papua untuk membebaskan diri dari perasaan benci, amarah dan dendam sebagai pra syarat untuk membangun masa depan yang lebih baik. Keempat, baru sesudah membebaskan rakyat dari ingatan penderitaan yang dialami itu maka rakyat dapat diajak untuk mendiskusikan secara rasional kemungkinankemungkinan rencana yang perlu dilakukan demi masa depan yang labih baik. Suatu skenario building masa depan papua bisa dibuat. Dalam langkah demikian kita memenuhi pesan Kristus ketika berkata ,,Marilah kepada-Ku,hai kamu yang berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu." Dan sesudah Yesus mengangkat beban dan memberikan kelegaan, barulah Yesus bersabda : Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri: Tanpa memberikan kelegaan bagi orang Papua dari ingatan penderitaan akibat kejahatan kemanusiaan di Papua, baik secara individu dan kolektif, maka sangat sulit mengharapkan kasih benar-benar menjadi nyata dalam perdamaian di Papua. Pastor Paroki Santa Maria - Biak, Papua Barat, Indonesia. TeIp./Fax (0981) 21 .029. Seiengkapnya tentang bagian ini dapat dibaca dalam Seri Memoria Passionis No. 6: ASPIRASI MERDEKA MASYARAKAT TANAH RAPUA DAN PERJUANGAN DEMOKASI BANGSA INDONESlA AWAL TAHUN 2000 : SUATU PETA SOSI0 POLITIK, Sekretariat Keadilan dan Perdamalan Keuskupan Jayapura, Mei 2000 Version, disampaikan dalam rangka Konven dan Pelatihan Conflict Resolution, GKI Jayapura, Mei 2000 Selengkapnya tentang aspek ini dapat dibaca dalam Laporan Lembaga Study dan Hak Asasi Manusia (ELSHAM) berjudul: PUSARA TANPA NAMA, NAMA TANPA PUSARA, Laporan Pelanggaran HAM di Biak Juli 1998. Beberapa nama pendeta dapat disebutkan di sini sepert Pdt. Herman Awom, STh (Wakil Ketua Badan Pengurus Am Sinode GKI di Irja) maupun Pdt. Dr. Benny Giay (Kepala Litbang GKII di Irian Jaya) terlibat langsung dalam kegiatan Presidium Dewan Papua sebagai Mediator, juga peran saya (Nato Gobay) sebagai peserta Dialog Nasional dengan Presiden Habibie maupun sebagal anggota Panel Presidium Papua. Seperti diungkapkan oleh Pdt. Drs. Max Demetouw, Ketua Sinode GPI, kepada Tim Ahil Menteri Negara Urusan HAM di Jayapura awal ]uni 2000. Menggalang Keaadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Melalui Panyadaran dan Kebersamaan Pelayanan Gereja dalam Menegakkan HakAzasiManusia : PENDAMPINGAN GKI DI IRIAN JAYA, Peran Advokasi, Transformasi dan Rekonsiliasi, Laporan Hasil Pelatihan Resolusi Konflik dan Konvent Pendeta GKI di Irian Jaya, 11 - 29 Mei 2000 di Jayapura, Biak dan Sorong ko responden yosep gobai -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM - Daftar : [EMAIL PROTECTED] Keluar : [EMAIL PROTECTED] Posting: jesus-net@yahoogroups.com Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/