Movie Review :

END OF THE SPEAR



Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, (Matius 28:19)





Ada film yang DVD nya baru dirilis di tahun 2006 ini, judulnya "END OF THE SPEAR", sebuah kisah nyata, dan sebuah film tentang misi Kekristenan yang paling cantik yang pernah dibuat, jarang sekali ada film tentang misi Amanat Agung, apalagi yang dikemas secara professional dan serius sebagaimana film sekuler dan/ atau film-film kolosal dengan latar belakang sejarah misalnya, Kingdom of Heaven, Passion of the Christ, Conquest of Paradise, dll. Gambar dan musiknya sangat cantik, menikmati sinematografinya seolah-olah kita sedang menonton documentary dari The National Geography, sangat indah!.

Film yang disutradarai oleh John Hanon dan Score dari Ronald Owen ini menceritakan tentang kehidupan beberapa misionaris yang sungguh mencintai Tuhan melebihi hidup. Tahun 1950-an Seorang lelaki muda yang bersemangat, Nate Saint membawa istri, anak-anak, dan adik perempuannya Rachel pindah dari kehidupan nyaman menuju ke Shell Mera, Ecuador, dengan satu tujuan "mengabarkan kabar baik tentang Yesus" kepada orang-orang yang sama sekali belum mengenal Injil. Disitu Pelayanan Nate Saint dibantu oleh beberapa rekan dalam misi ini. Awal pelayanan mereka adalah menjangkau suku yang bernama "Quechua". Namun Nate tidak puas sampai di lingkup suku ini saja, ia bertekat menjangkau pula suku lain yang lebih terbelakang.

Nate mempunyai seorang anak lelaki yang kira-kira masih berumur 7tahun kala itu, ia bernama Steve Saint. Steve kecil suka sekali membuat pekerjaan tangan, ia bersama ayahnya membuat replika pesawat yang dikendarai Nate dari kayu. Pada film ini Steve Saint sendiri yang menjadi stunt terbang dengan pesawat Cessna 172 untuk peran ayahnya, Nate. Dari kisah yang ditulis Steve Saint "Beyond the Gates" inilah film "End of the Spear" ini dibuat.

Di hutan Amazon, di Ecuador terdapat suku primitive yang bernama "WAODANI". Waodani dalam bahasa Quechua artinya adalah "savage" (biadab/ kejam). Suku Waodani dikenal sangat ganas, bukan saja mereka suka membunuh orang lain, tetapi antar sesama suku mereka sendiri juga sangat sering sekali terjadi perang antar kelompok, saling bunuh-membunuh, unsur saling balas-dendam sulit dipisahkan dari masing-masing kelompok di suku Waodani. Dalam film ini kehidupan suku Waodani digambarkan dengan cermat dan masuk budaya dan kebiasaannya, mulai mereka makan, tidur, berperang, menangkap ikan, memburu, menaklukkan jaguar, anaconda, dll. Kita benar-benar dibawa masuk untuk mengerti kehidupan mereka yang primitive.

Hal tersebut tidak membuat Nate Saint dkk, menyerah, ia dengan sabar menyusuri hutan itu dengan pesawat terbang kecil, untuk mencari letak dimana kira-kira suku Waodani tinggal. Dari sekian lama pencarian itu akhirnya pada January 1956, ia menemukan lokasi tinggal dari 'suku Waodani', dengan suka-cita ia menceritakan kepada rekannya bahwa ia akan masuk untuk melakukan misi kepada suku ini. Keganasan suku Waodani tidak membuat Nate dan rekan-rekannya takut, mereka mengatakan keganasan mereka adalah 'penjara' yang dibuatnya sendiri, kita harus datang untuk menembus pintu-pintu penjara itu, dan membebaskan orang-orang yang didalamnya.

Sebelum masuk dan berencana mendarat di daerah Waodani, Nate dan seorang rekannya Jim, melakukan 'contact' dengan mengirimkan beberapa souvenir yang diturunkan dengan tali dari pesawat kepada suku Waodani, rupanya komunikasi dengan 'souvenir' ini mendapat tanggapan, salah seorang kepala dari suku Waodani yang bernama Mincayani, memberikan balasan, ia memberikan souvernir 'seekor burung nuri' dimasukkan kedalam keranjang yang diturunkan dari pesawat Nate. Tak lama itu pula, Nate menemukan 'lapangan' di sisi sungai ditengah-tengah hutan itu, yang kira-kira bisa dijadikan run-way pesawat. Dengan isyarat ini Nate membulatkan tekat bersama rekan-rekannya berencana mendarat di perkampungan Waodani dengan pesawat kecil jenis Cessna itu.

Kepergian Nate menuju ke lokasi tinggal dari suku Waodani membuat Steve kecil sangat kawatir, ia bertanya kepada ayahnya apa yang akan kau perbuat jika Waodani hendak membunuhmu? Apakau kamu akan menembak mereka? Nate, ayahnya menjawab pertanyaan anaknya dengan sangat mengharukan sekali "Son, we can't shoot the Waodani, they're not ready for Heaven, but we are!". Segera Steve kecil memahami maksud ayahnya, bahwa kemungkinan ia tidak bertemu ayahnya lagi.

Nate, bersama ke-4 rekan lainnya benar-benar mendarat di perkampungan suku Waodani di tengah-tengah hutan untuk melakukan 'contact' langsung dengan suku tertinggal ini. Betapa sukacitanya ke-5 misionaris ini diterima dengan baik oleh suku Waodani, tapi sayang, kejadian ini tidak berlangsung lama, karena kemudian terjadi 'misunderstanding' akibat hasutan dari salah seorang suku Waodani yang mengatakan bahwa 'para bule' ini sebenarnya datang untuk membunuh orang-orang Waodani. Memang sulit untuk dipahami maksud kedatangan 5 misionaris ini oleh masyarakat tertinggal ini, Waodani tidak bisa membedakan, yang mana misionaris yang punya misi damai, dan yang mana pula para pemburu bersenjata. Bagi Waodani, orang-orang pendatang itu sama-sama bule, dimata mereka semuanya sama. Dimasa lalu, hal yang sama juga pernah terjadi di negeri kita bukan?, disatu sisi, ada bule penjajah, di sisi lain ada bule misionaris.

Hasutan dari salah seorang Waodani, berakibat fatal, dan menyulut kemarahan Mincayani, ia dengan segera bersama-sama kelompoknya membunuhi ke-5 misionaris yang tidak mengerti mengapa mereka tiba-tiba diserang secara brutal. Nate, pada detik akhir kematiannya sempat mengucapkan kalimat dalam bahasa Waodani : "I'm your sincere friend", mendengar ucapan ini Mincayani menjadi gundah, bagaimana bisa seorang yang sudah ia tusuk dengan tombak, yang semestinya marah padanya, justru mengatakan kalimat seperti itu diakhir ajalnya?. Namun kegundahan ini ia simpan sendiri. Ia kemudian menemukan foto keluarga Nate dan foto Steve kecil, dan beberapa souvenir lain diantaranya 'replika pesawat itu yang terbuat dari kayu' dan ia menyimpannya.

Setelah sekian hari tidak ada 'contact' maka datanglah regu pencari, dan ternyata benar mereka menemukan bangkai pesawat yang sudah tercabik-cabik akibat dirusak oleh Waodani, danÂ…. tentu jasad ke-5 misionaris itu. Ditemukan pula dokumentasi, foto-foto dan film yang dibuat oleh para martir itu. Kabar kematian ini jelas membuat shock dan kesedihan yang mendalam dari keluarga dan rekan-rekan. Kedua orang janda para martir itu dan anak-anaknya tentu saja sedih. Tetapi para janda misionaris dan Rachel, adik Nate, itu justru bertekat menjadi penerus jalan misi yang sudah dibuka oleh ke 5 martir itu.

Dengan dibantu oleh perempuan muda asal suku Waodani yang bernama Dayumae, yang sejak kecil tinggal bersama misionaris, Dua orang Janda dan Rachel, bersama anak-anak mereka yang masih kecil-kecil termasuk Steve, masuk ke hutan ke tempat suku Waodani tinggal. Keadaan mereka yang bergender 'perempuan' dan beberapa anak kecil, lebih dianggap 'aman' dan akhirnya diterima oleh kalangan suku Waodani. Meski demikian untuk masuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat Waodani, bukanlah hal yang mudah, ada banyak syak wasangka/ prejudice dari suku Waodani. Namun ada seorang yang bisa melihat dan memahami kerelaan para perempuan ini, seorang Waodani yang bernama Kimo, ia membantu perempuan-perempuan itu, bahkan membuatkan sebuah gubuk bagi mereka. Dengan hati berani, rela dan kasih, para perempuan itu tinggal bersama diantara para pembunuh suami mereka, demi Injil.

Namun, Mincayani tetap mengeraskan hatinya, ia tetap menjaga jarak terhadap para misionaris itu, karena perasaan 'guilty' dan lain-lain yang berkecamuk di benaknya. Awal pertemuannya dengan Steve kecil, Mincayani sangat tersentak, mungkin ia teringat dengan foto steve yang tertempel di pesawat Nate. Menurut tradisi Waodani, anak lelaki dari seorang yang terbunuh, akan membalas kematian ayahnya. Mincayani semakin menjauhi Steve, atas kepercayaan itu, di lain pihak ia juga tidak mempunyai hati untuk membunuh anak itu sebagai tindakan menjaga diri kalau-kalau anak ini menjadi besar akan membalas dendam.

Para misionaris perempuan itu dengan segera melakukan pelayanan kesehatan, dan pemberian pendidikan sederhana kepada suku Waodani. Tak ada dendam, karena para perempuan yang cinta Tuhan itu telah memahami dan sadar betul, bahwa nyawa menjadi taruhan demi kelebaran Kerajaan Allah. Keberadaan kelompok misionaris perempuan itu, dirasakan manfaatnya oleh suku Waodani, terutama saat terjadi wabah 'pneumonia'. Mereka dengan tak kenal lelah melayani orang-orang yang sakit, mendatangkan obat-obatan, memberikan pengobatan dan merawat. Begitulah seterusnya. Pelayanan misi tidak selalu harus diawali dengan rentetan ayat-ayat Alkitab dan khotbah-khotbah yang diucapkan, namun atas perbuatan kasih yang tampak dan terasa itulah, suku Waodani dapat melihat Tuhan yang sunguh-sungguh ada dalam kehidupan para saksi-saksi Kristus itu. Dan suatu hasil besar dituai, bahwa pelayanan kasih, dan teladan kasih yang ditampakkan menularkan benih-benih kasih diantara Waodani, dan kasih itu telah mengakhiri cycle balas-dendam antar kelompok didalam suku Waodani, yang saling bunuh-membunuh di sepanjang sejarah Waodani.

Tiba saatnya bagi Steve untuk kembali ke Amerika, untuk melanjutkan study-nya sesekali ia mengunjungi Rachel di Ecuador di hutan tempat suku Waodani tinggal. Setelah dewasa dan menikah, tahun 1994 ia kembali lagi ke Ecuador, menguburkan jasad Rachel, bibinya, yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Waodani yang sekarang lebih maju dan berpendidikan. Rachel mewasiatkan agar Steve meneruskan pelayanannya di antara suku Waodani, namun Steve yang dewasa, yang sudah tidak terbiasa dengan kehidupan 'dalam keterbelakangan' agaknya ragu menerima tugas itu. Lalu, Kimo, dan Mincayani yang sudah menjadi 'anak Tuhan' memberikan dia dorongan untuk menerima wasiat Rachel. Di saat itu pula, untuk pertama kalinya Mincayani memberikan pengakuan bahwa dialah yang membunuh ayahnya, Nate. Ia juga masih menyimpan foto dan souvenir pesawat dari kayu buatan Nate dan Steve kecil dahulu. Mincayani menunjukkannya kepada Steve dengan menangis menyesali perbuatannya dulu. Dan ternyata, kasih telah menutup segalanya, tak ada lagi marah, dendam-pun sirna. Steve memandang karya Allah dalam kehidupan Mincayani, dalam penyesalannya akan kejahatannya masa lalu, telah membawa manusia jahat ini menjadi orang yang paling setia kepada Tuhan. Ia bukan hanya menjadi kepala suku Waodani, ia juga menjadi saudara, bapak, dan kakek yang penuh kasih bagi masyarakat Waodani.

Ketika kasih itu berbicara, ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Selanjutnya, di tahun 1995 Steve menjalani kehidupan bersama dengan pembunuh ayahnya itu, mereka ada bersama-sama dalam satu pelayanan, hingga kini mereka terus melakukan kesaksian dengan perbuatan kasih kepada orang-orang, masyarakat suku pedalaman Waodani dan sekitarnya.

Hampir tak ada atribut/ simbol-simbol Kekristenan di film ini, tidak ada tanda salib, gedung gereja ataupun penunjukkan Alkitab dan pengucapkan ayat-ayat Alkitab. Namun dari tema KASIH dalam film ini telah memberikan pengajaran tanpa kesan menggurui. Kasih yang jelas tampak terwujud membuat kita mengerti, bahwa itulah Kekristenan yang sebenarnya.


Haleluyah!



Blessings in Christ.
Bagus Pramono
August 28, 2006.
 
 
 
__._,_.___

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: jesus-net@yahoogroups.com

If you have any comment or suggestion about this mailing list,
to : [EMAIL PROTECTED]

Bagi Saudara yang berdomisili di Amerika, saudara dapat bergabung
dengan mailing list Keluarga Kristen USA (KK-USA) dengan mengirimkan
email kosong ke [EMAIL PROTECTED] dan ikuti instruksi
yang ada.
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-





SPONSORED LINKS
Arizona regional mls Regional truck driving jobs Anda networks


YAHOO! GROUPS LINKS




__,_._,___

Kirim email ke