From: Andre Wahjudibroto [wahjudibr...@yahoo.com] 

Cintailah orang tua kita

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang 
bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga 
ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang 
daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon
apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi 
bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi 
pohon apel.

Wajahnya tampak sedih.

“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi.” jawab anak lelaki 
itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh 
mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk 
membeli mainan kegemaranmu.”

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di 
pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak 
pernah datang lagi.

Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya 
datang.

“Ayo bermain-main denganku lagi.” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat 
tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan 
rantingku untuk membangun rumahmu.” kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan 
pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak 
lelaki itu tak pernah kembali lagi.

Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat 
bersuka cita menyambutnya.

“Ayo bermain-main lagi denganku.” kata pohon apel..
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu.
“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan
berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan 
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan 
bersenang-senanglah .”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang 
diidamkannya. ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon 
apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

“Maaf anakku,” kata pohon apel itu.
“Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa.. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu.” Jawab 
anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat.” Kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu.” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.

Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini.” Kata pohon 
apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang.” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah 
sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik 
untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan 
akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat 
gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika 
kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apapun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa 
yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada 
pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan. Dan, yang terpenting: 
cintailah orang tua kita.

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; danberterima 
kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

Have a nice day & God bless U
==============================================
From: OSHhamm

Renungan untuk MERTUA dan MENANTU

Suatu hari, seorang nyonya menceritakan rahasia keharmonisan keluarganya.
Saat belum menikah, terus terang saya tidak bisa memasak, karena di rumah kami 
semuanya ditangani oleh pembantu.
Tetapi ketika menikah, mau tidak mau saya juga harus belajar memasak. Awalnya 
sungguh sulit sekali.
Suatu ketika saya menanak nasi terlalu keras, bahkan sampai gosong bagian 
bawahnya. Ketika makan malam, saya sungguh takut kalau diomelin mertua. Tapi 
tahukah apa yg dikatakan mertua saya?
"Wah,... Zhong. Kamu sungguh beruntung. Istri kamu sungguh tahu selera makan 
kamu. Nasi hari ini sungguh cocok dgn kuah sayur panas mengepul ini. Ayo makan 
lebih banyak lagi."
Saya hanya bisa ter-sipu sipu saat itu. Saya kemudian kalau memasak nasi 
jadinya lebih hati². Takaran air benar² diperhatikan. Tapi suatu ketika malah 
saya kebanyakan menaruh airnya. Akibatnya nasinya macam bubur kental saja.
Tapi saat makan mertua saya malah berkata penuh kasih:  "Pa.. Coba lihat. 
Menantu kita sungguh mengerti. Tahu gigi kamu sudah gak begitu kuat, hari ini 
khusus memasakkan nasi lembut tambah sambal enak. Makan yg banyak ya?"
Saat dalam keadaan santai, saya mengutarakan pada ibu mertua betapa malunya 
saya. Beliau hanya tersenyum & berujar: "Kamu sedang belajar menjadi menantu 
yang baik. Keluarga kami sungguh beruntung dgn adanya kamu yg membantu 
mengurusi anak & keluarga. Bagaimana mungkin saya bisa marah? Mama tahu kamu 
sudah berusaha yang terbaik. Mama bisa mengerti. Karena mama juga seorang 
menantu. Mama adalah menantunya nenek. Jadi mama sungguh paham bagaimana 
perasaan seorang menantu."

Hari itu saya sungguh terharu & saya memutuskan untuk menunjukkan diri saya 
sebagai menantu terbaik.

Hanya mertua yang arif & menantu bijaksanalah yang akan mendatangkan sukacita & 
tawa-ria dalam keluarga. 

Kirim email ke