ORANG FARISI "Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." (Markus 7:7-8)
Mengapa Yesus mengkritik orang Farisi dan Ahli Taurat begitu keras? Kelihatannya karena orang Farisi sangat berpegang pada tradisi nenek-moyang dan adat-istiadat manusia, namun mereka, menurut Tuhan Yesus, mengabaikan Perintah Allah yang sebenarnya. Kelompok ini memang terkenal banyak membuat aturan agama yang sering tidak sejalan dengan firman Tuhan sendiri. Siapakah sebenarnya orang Farisi itu? Farisi dari asal katanya berarti 'yang diasingkan,' pengertian ini bisa kita lihat dari sikap mereka yang eksklusif yang menganggap diri sebagai kelompok elit dan membuat aturan agama sendiri diluar firman Tuhan. Asal muasal orang Farisi berakar pada masa Ezra ketika pembaharuan yang dilakukan oleh Ezra dilanjutkan oleh mereka yang ingin mempelajari teks dan ajaran Kitab Suci secara mendalam, para Imam dan Ahli Taurat dalam Perjanjian Baru adalah keturunan orang-orang ini. Pada abad II SM istilah Farisi pertama kali digunakan bagi para imam pada awal pemerintahan Hasmonian (ca.160-140 SM). Kalangan Farisi kemudian pecah menjadi dua, sebagian kecilnya bersifat informal dan hidup mengasingkan diri dari umum sambil menantikan akhir zaman, sedangkan sebagian besarnya terjun ke ranah politik dan berusaha menguasai agama negara. Farisi Sebagai Kekuatan Agama & Politik Pengaruh orang Farisi mulai terlihat pada masa raja John Hyrcanus (134-104 SM) dimana mereka memperoleh dukungan rakyat (lihat Josephus, Antiquities, xiii.10.5-7), namun ketika raja berseberangan dengan Farisi karena raja ingin menggabungkan peran imam besar dalam kekuasaan raja, ini ditolak oleh orang Farisi sehingga John Hyrcanus berpaling kepada orang Saduki. Pertentangan dengan penerus John Hyrcanus, raja Alexander Janneus (103-76 SM), membesar bahkan orang Farisi mencari dukungan kepada raja Dimetreus III dari wangsa Seleukia, tapi mereka kalah dan 800 pemimpin Farisi di salibkan (Jos, Ant. xiii. 14.2), namun sebelum meninggal Alexander menyuruh isterinya Salome Alexandra yang menggantikannya (76-67 SM) agar berdamai dengan orang Farisi dan memberi peran politik kepada mereka (Jos, Ant. 13:399-404), mereka sejak itu menguasai Sanhedrin (mahkamah agama Yahudi), kondisi dominasi ini terlihat juga pada masa Perjanjian Baru dimana suara orang Farisi sangat dominan. Pertentangan dengan orang Saduki memuncak ketika Salome meninggal dunia, Saduki memilih Aristobulus II sedangkan Farisi memilih John Hyrcanus II. Ketika Roma menguasai Yudea (63 M) John Hyrcanus dipilih sebagai Imam Besar. Sekalipun pihaknya yang menang, orang Farisi menderita dibawah raja-raja kemudian yaitu Antipater dan Herodes, dan mereka sadar bahwa tujuan spiritual tidaklah bisa dicapai dengan cara politik perlawanan maka mereka kemudian berkiblat ke Roma, bahkan ketika terjadi pemberontakan terhadap Roma (66-70 M) mereka menentangnya. Kemudian Vespasius mendukung Yokhanan ben Zakkai, pemimpin Farisi, dan diizinkan mendirikan sekolah rabi di Jamnia. Kemudian orang-orang Saduki dan Zelot menghilang dan sejak kekalahan Bar Kokba (135 M) orang Farisi juga menghilang pengaruhnya sebagai kekuatan politik, tapi Farisi tidak hilang sama sekali melainkan melebur ke dalam Yudaisme sehingga sejak tahun 200 M ajaran Yudaisme identik dengan Farisi. Ajaran Orang Farisi Orang Farisi beranggapan bahwa pembuangan orang Yahudi ke Babel disebabkan orang Yahudi melanggar hukum Torat, sebab seharusnya torat menjadi dasar perorangan maupun negara, tapi mereka mengabaikannya. Bagi orang Farisi Torat bukan sekedar hukum tapi merupakan instruksi hidup yang harus dipatuhi oleh orang Yahudi dan berlaku untuk semua lapangan hidup. Bagi mereka, tugas para ahli kitab adalah memberi petunjuk hidup bagi semua orang Yahudi dan sifatnya mengikat. Tugas awal para ahli kitab menurut orang Farisi adalah menentukan isi dari hukum tertulis Torat dan menyebutnya sebagai terdiri dari 613 hukum, yaitu terbagi dalam 248 hukum positip dan 365 hukum negatip, dan mereka juga merasa bertanggung jawab membuat rambu-rambu agar tidak ada yang melanggar, seperti contoh 39 larangan ketat tentang hari Sabat, kesucian, perpuluhan, makanan halal-haram dll., ini disebut sebagai 'hukum lisan' yang dianggap sama sahihnya dengan hukum tertulis Torat. Mereka beranggapan bahwa penafsiran mereka diturunkan dan berasal dari 'tua-tua Israel' (Mrk.7:3), karenanya mereka merasa berhak menduduki kursi Musa (Mat.23:2; Yoh.9:28). Sifat yang diajarkan oleh orang Farisi yang kaku itu menyebabkan mereka sangat gigih menentang Tuhan Yesus selama Tuhan Yesus bekerja di bumi (Mat.15). Orang Farisi percaya akan kekekalan roh dan kebangkitan dan dalam hal ini mereka berseberangan dengan orang Saduki (band. Mat.22:23; Kis.23:8). Orang Farisi sering dikaitkan dengan para ahli torat/kitab (Mat.15:1; Mrk.7:1,5; Luk.15:2). Kesimpulan Dari kenyataan sejarah orang Farisi selama sekitar 4 abad lebih lamanya itu (abad II SM s/d II M) kita dapat melihat bahwa orang Farisi ingin mengembalikan agama kembali kepada Torat Musa, dalam hal ini motivasi mereka kelihatannya baik, namun selanjutnya berdasarkan klaim mereka bahwa mereka memegang otoritas Musa, orang Farisi merasa mereka berhak menafsirkan Torat sebagai hukum tertulis (written law) menurut kacamata mereka bahkan menulis hukum lisan (oral law) yang harus diikuti oleh umat Yahudi sebagai tradisi turun temurun yang kalau dilanggar akan menjadikan seseorang jatuh dalam dosa, disini kita melihat adanya pergeseran dari hukum Taurat kepada adat-istiadat manusia. Jadi, firman tertulis dalam Torat Yahudi (Tanakh) dianggap mereka sebagai tidak cukup melainkan seseorang harus menyembah Tuhan dengan peraturan-peraturan lisan yang digariskan dan dibuat oleh mereka. Dari latar belakang inilah kita mengerti mengapa Tuhan Yesus bertentangan dengan mereka, karena misi Tuhan Yesus bertujuan membebaskan umat dari adat-istiadat agama Yahudi buatan manusia dan mengembalikannya kepada hukum Allah yang sebenarnya. Inilah maksud Yesus ketika Ia mengatakan bahwa: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya." (Matius 5:17). Jadi sikap Farisi adalah sikap sektarian yang menambah-nambahi hukum Allah sebenarnya dengan tafsiran dan keinginan tradisi manusiawi yang menyenangkan hati mereka padahal belum tentu sejalan dan sesuai dengan kehendak Allah. Salam kasih dari YABINA ministry (www.yabina.org)