TANTANGAN
POSTMODERNISME
 
oleh: Ev. Stefanus Kristianto, M.Div.
 
 
Nats: 2
Timotius 4:1-5
 
 
Secara
sederhana, bisa dikatakan bahwa posmodernisme merupakan sebuah reaksi
kekecewaan terhadap modernisme. Modernisme sendiri merupakan sebuah zaman yang
meyakini adanya kebenaran yang obyektif yang ahistorical universal, maksudnya
kebenaran yang sungguh-sungguh benar bagi siapa pun, kapanpun dan dimanapun.
Kebenaran yang demikian ini bisa dikenal melalui akal dan ilmu pengetahuan.
Namun, Posmodernisme menolak klaim modernisme tentang kebenaran tersebut .
Mereka meyakini tidak ada orang yang bisa mengetahui kebenaran secara objektf.
Semua kebenaran bersifat relatif karena tiap manusia memproyeksikan kebenaran
sesuai dengan sudut pandang subyektif mereka: Sesuatu menjadi benar karena kita
menganggapnya benar. Dengan demikian tidak akan ada kebenaran yang ahistorical 
universal sebab sebuah
kebenaran hanya berlaku lokal bagi kelompok atau kalangan tertentu yang
menganggapnya benar. Tolok ukurnya bukan lagi akal dan ilmu pengetahuan tetapi
kebergunaan dan kebahagiaan (pragmatisme).
 
Kita
memang belum sepenuhnya hidup dalam zaman Postmodernisme, sebab bayang-bayang
Pra-Modern dan Modernisme masih kuat. Akan tetapi, geliat posmodernisme sudah
terasa di sekeliling kita bahkan di dalam Kekristenan. Wujud utamanya ialah
relativisme kebenaran Injil: Injil hanya benar bagi orang tertentu atau pada
zaman tertentu. Selain itu, gereja dibuat tidak lagi berorientasi pada
kebenaran tapi pada kebutuhan dan kesenangan jemaat. Ini semua menunjukkan
meski kita masih hidup dalam tensi zaman yang berbeda tetapi dampak
posmodernisme sudah banyak kita rasakan dalam Kekristenan.
 
Apa
yang diakibatkan oleh Posmodernisme ini nampaknya telah diantisipasi oleh rasul
Paulus. Dalam nas yang kita baca tadi, Paulus mengatakan bahwa memang akan tiba
saatnya dimana orang tidak lagi mencintai ajaran yang sehat. Mereka memalingkan
telinganya dari kebenaran dan membukanya untuk dongeng dari guru-guru palsu.
Yang menjadi tolok ukurnya bukan kebenaran tetapi kepuasan mereka (ay. 3c)
Keadaan ini mirip dengan apa yang diakibatkan Post-modern hari ini dimana orang
tidak lagi menyukai kebenaran melainkan sibuk mencari kepuasan. Di dalam
keadaan seperti ini, nasihat Paulus kepada Timotius amat penting untuk kita
pikirkan hari ini. 
1.               Ada
Kebenaran Objektif Di Dalam Injil
Ayat
4 jelas meninunjukkan bahwa Paulus meyakini adanya kebenaran yang objektif. Ini
didukung oleh dua hal. Pertama, kata “kebenaran” dalam Perjanjian Baru selalu
berarti kebenaran yang sesuai dengan kenyataan bukan sesuatu yang subyektif.
Kedua, Paulus menasihatkan supaya Timotius menegur dan menyatakan apa yang
salah. Kita tidak bisa menyatakan apa yang salah bila tidak tahu yang benar.
Namun, penting diingat bahwa kebenaran itu tidak berasal dari diri kita sendiri
tetapi ada di luar manusia, yakni dari ajaran yang sehat tadi (ay. 3). Jadi,
Paulus meyakini ada standar kebenaran yang obyektif, tetapi bukan berasal dari
akal ataupun diri kita tetapi dari Allah melalui wahyu-Nya.
 
2.               Kita
Berkewajiban Memberitakan Kebenaran Itu
Setelah
kita tahu bahwa kita memiliki kebenaran Allah itu, maka tugas kita ialah
memberitakannya. Ini diulangi Paulus dua kali (ay. 2, 5) menunjukkan bahwa ia
tidak ingin kita hanya berdiam diri dengan kebenaran kita. Paulus tahu bahwa 
hanya
melalui Injil orang bisa diselamatkan (Rm. 1:16-17) Itu sebabnya ia tidak malu
terhadap Injil, bahkan karena itu tiap orang harus mendengar Injil. Spiritnya
bukan untuk mengkristenkan orang atau menambah jumah pengikut tetapi karena
hanya melalui Injillah mereka bisa diselamatkan.
 
3.       Kita Tidak Boleh Mengompromikan Kebenaran
Itu
Paulus
mengajak Timotius dan kita untuk memberitakan firman bukan hanya pada waktu
baik supaya tidak terjadi perpecahan, tetapi baik atau tidak baik waktunya.
Bahkan ia menasihatkan untuk menyatakan apa yang salah, bukan membiarkannya
sebagai bagian dari keunikan manusia. Tuhan memang memberikan beberapa hal yang
relatif dan kompromistis dalam hidup manusia, tetapi tidak soal kebenaran.
Kalau melihat orang yang tidak memahami kebenaran maka menjadi tugas kita
menyatakan kebenaran pada mereka, bukan mendiamkan kesalahan mereka. Karena
kita juga melihat dengan jelas, kita juga tidak perlu mengompromikan kebenaran
kita dengan hal-hal lain sebab hal itu justru akan mendistorsi kebenaran.
 
Di
dalam zaman yang semakin meninggalkan kebenaran ini, tugas kita pertama-tama
ialah memperlengkapi diri dengan kebenaran. Tidak berkompromi dengan apa pun
demi kebenaran itu. Orientasi kita ialah pada kebenaran Allah bukan kepuasan
diri kita. Setelah itu, menjadi tugas kita untuk memberitakan kebenaran Allah
pada sekeliling kita. Bukan dengan paksaan, bukan dengan semangat menaklukkan,
tapi dengan kasih dan kesabaran. Memang mungkin tidak mudah, tapi percayalah
Tuhan akan menolong kita memberitakan kebenaran yang kekal dan tidak berubah
itu. Amin.  
  
 
 
Sumber:
Ringkasan
Khotbah Kebaktiandi Gereja Kristus Tuhan (GKT) Hosana, Surabaya hari Minggu, 24 
Juni 2012
http://www.gkthosana.org/index.php/80-ringkasan-khotbah/190-tantangan-post-modernisme
 
 
 
Profil
Ev. Stefanus Kristianto:
Ev. Stefanus Kristianto, S.Th.,
M.Div.adalah hamba Tuhan yang melayani di GKT Hosana, Jln.
Galuhan, Surabaya sekaligus dosen paruh waktu di Sekolah Tinggi Theologi
Aletheia. Beliau menyelesaikan studi Sarjana
Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS) dan Master of 
Divinity (M.Div.) di Sekolah
Tinggi Theologi Aletheia (dahulu bernama: Institut Theologi Aletheia—ITA),
Lawang. Pada tanggal 31 Oktober 2011, menikah dengan Gloria Kristianto.
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke