KEHIDUPAN DI TENGAH BUDAYA KEKERASAN oleh:Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa Nats:Matius 5: 9, 38-42 Dalam pengertian yang paling sederhana, kekerasan adalah perbuatan-perbuatan atau perkataan-perkataan yang dimaksudkan untuk menyerang dan melukai orang. Secara umum kekerasan dapat dibagi ke dalam tiga jenis: [1] kekerasan langsung, [2] kekerasan kultural, dan [3] kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang langsung dialami oleh seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan seorang pelaku atau lebih kepadanya. Bentuknya bisa berupa makian, pukulan, perkosaan, penyerangan, penggusuran dan lain-lain. Kekerasan kultural adalah kekerasan yang timbul karena budaya yang dianut masyarakat mengizinkan terjadinya kekerasan dan membenarkan orang yang melakukannya. Bentuknya adalah suatu keyakinan, pandangan, kepercayaan tertentu, dan lain-lain. Contohnya adalah penindasan atas kaum perempuan, yang dimungkinkan dan didukung oleh budaya patriarkhi. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang terjadi ketika ruang hidup dipenuhi oleh hukum, peraturan dan kebijakan yang menindas, mengeksploitasi dan mendiskriminasi. Sikap apakah yang harus diambil oleh orang Kristen? Pertama-tama orang Kristen tidak boleh lari dari masalah ini atau mendukung, baik langsung maupun tidak langsung, berlangsungnya kekerasan. Seperti Tuhan Yesus, sikap yang harus diambil adalah menolak kekerasan, berjuang untuk menghentikannya dan berkarya untuk menghapuskannya. Bagaimana caranya? Yang pertama tentu saja tidak memakai kekerasan dan cara-cara kekerasan. Perintah Yesus kepada Petrus untuk menyarungkan pedang (Yoh. 18:11) adalah pernyataan tegas bahwa kekerasan bukan alat perjuangan hidup Kristen. Yang kedua menghentikan kekerasan dapat dilakukan bila orang Kristen mengkonfrontasi, melawan dan menaklukkan kekerasan dengan mempergunakan logika hukum yang berbeda dari logika kekerasan, yaitu logika hukum cinta kasih (Mat. 5:38-42). Logika hukum kekerasan berkata bahwa setiap perbuatan kekerasan harus dilawan dan ditundukkan oleh kekerasan yang lebih besar. Namun logika hukum cinta kasih mengatakan bahwa setiap perbuatan kekerasan harus dilawan dengan kasih yang lebih besar. Dengan cara ini kita menunjukkan kepada kekerasan dan pelakunya bahwa kekerasan tidak berarti apa-apa pada kita. Tunduknya kita bukan karena paksaan kekerasan tetapi karena dorongan cinta, yang membuat kita mampu melakukan sesuatu melampaui ekspektasi dan kepuasan mereka. Yang ketiga menghapuskan kekerasan dapat dilakukan bila orang Kristen berkarya mencabut akar-akar kekerasan yang tertanam di dalam kebudayaan masyarakat. Menjadi pembawa damai (Mat. 5:9) yang dimaksud Yesus bukan sekedar mendamaikan orang yang bertengkar namun lebih dalam dari itu adalah berkarya menyingkapkan keyakinan, pikiran, pandangan, adat dan tradisi yang menyebabkan terjadinya kebencian dan serangan pada orang lain. Setelah disingkapkan maka ia harus dikoreksi dengan yang benar. Dan yang benar ini harus diajarkan dan ditularkan supaya kekerasan yang pernah terjadi tidak akan terjadi lagi.
Amin. Sumber: Ringkasan Khotbah KebaktianUmum Idi Gereja Kristus Tuhan (GKT) Hosana, Surabaya hari Minggu, 26 Agustus 2012 http://www.gkthosana.org/index.php/80-ringkasan-khotbah/227-kehidupan-di-tengah-budaya-kekerasan Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa lahir dan dibesarkan di Sumbawa Besar, NTB. Sejak kecil sudah suka membaca--membaca apa saja. Keterlibatan aktif di gereja dimulai sewaktu duduk di Seksi Rohani GMIT Baithani, Sumbawa Besar. Keterpanggilan melayani Tuhan secara penuh waktu dirasakan sewaktu duduk di kelas tiga bangku SMU. Dan pada tahun 1992 menyerahkan diri secara penuh untuk dengan masuk ke Sekolah Tinggi Theologi Aletheia, yang dimiliki oleh Sinode Gereja Kristus Tuhan, di Lawang, Malang. Setamat dari sekolah theologi, kemudian bergabung dengan Sinode Gereja Kristus Tuhan dan diteguhkan sebagai pendeta Sinode GKT pada 2002. Saat ini sedang belajar di Program Pasca Sarjana Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga. "Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata." (Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)