THE PAIN OF MAN, THE PAIN OF
GOD AND CHRISTIAN MISSION
 
oleh:Pdt. Hendra G. Mulia, M.Th.
 
 
Nats: Yohanes 11:35
 
 
Pendahuluan 
Gambaran
metafisika daripada Allah bagi kita adalah Allah yang dingin. Karena kita
mempunyai pemikiran bahwa kalau Allah adalah Allah yang maha kuasa, Allah yang 
cukup pada diri-Nya, yang tidak bergantung pada
apa pun dari luar diri-Nya maka secara logis kita akan melihat bahwa Allah itu
tidak mungkin boleh bergantung kepada sesuatu yang berada di luar. Misalkan
kalau kita melihat suatu peristiwa yang menyedihkan sehingga kita menangis.
Mestinya kalau Allah adalah Allah yang cukup pada diri-Nya, yang tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang ada di luar dari diri-Nya maka Allah tidak
menangis. Karena kalau Dia masih menangis untuk hal-hal yang terjadi di luar
diri-Nya artinya hal-hal yang ada di luar mempengaruhi diri-Nya dan kalau hal
itu dapat mempengaruhi diri-Nya maka Dia tidak bisa berdiri pada diri-Nya
sendiri. Dengan konsep metafisis seperti ini maka kita bayangkan Allah itu
tidak boleh memiliki emosi, Allah itu tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal yang
ada di sekitar-Nya. Dia tidak akan menangis, Dia tidak akan tertawa, Dia tidak
akan tersenyum. Jika kita menggunakan pemikiran metafisik seperti demikian maka
kita melihat Allah kita adalah Allah yang sangat dingin dan sangat tidak
berpribadi. 
                
 
Isi
Kalau
kita melihat gambaran yang diberikan oleh Alkitab maka melampaui logika kita.
Ternyata Allah kita yang cukup pada diri-Nya sendiri adalah Allah yang bisa
dipengaruhi. Gambaran yang diberikan Alkitab kepada kita adalah ketika Tuhan
Yesus datang pada saat Lazarus sudah mati, Maria dan Martha menangis maka di
situlah kita melihat Tuhan Yesus pun menangis. Bukan saja dalam bagian kisah
ini tetapi juga ketika kita menyambut Jumat Agung maka kita lihat sejak Tuhan
Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama-sama dengan murid-Nya sampai Dia
ditangkap, disiksa, hingga naik ke atas kayu salib, seluruh peristiwa itu yang
biasa kita sebut the passion of Christ diliputi dengan penderitaan dari 
Kristus. Dalam theologi tentu kita berpikir
bahwa apakah Allah itu menderita? Kalau Allah bisa menderita, maka
jangan-jangan ketika kita pulang ke sorga kita pun masih dalam keadaan
menderita. Ini menjadi suatu pergumulan theologis. Tetapi ini merupakan 
pergumulan
modern yang selalu meletakkan Allah di dalam logika kita, padahal Allah tidak
mungkin diletakkan di dalam logika. Sehingga yang terpenting bagi kita adalah
melihat apa yang Tuhan beritahukan kepada kita. Kita tidak akan bisa mengerti
bagaimana Allah yang Mahakuasa, Allah yang cukup pada diri-Nya sendiri tetapi
bisa menderita. Bagaimana  bisa terjadi
seperti demikian? Semua hal itu dikarenakan kita memaksakan, meletakkan Allah
ke bawah pemikiran logika kita sehingga akhirnya kita keluar daripada apa yang
Tuhan sendiri berikan gambaran-Nya. 
 
Kalau
kita melihat lagi gambaran dari kisah Lazarus maka gambaran itu menunjukkan
gambaran yang jelas. Pada waktu Tuhan melihat Lazarus yang telah mati dan Dia
melihat orang-orang disekelilingnya mengasihi Lazarus maka menangislah Dia.
Mengapa Tuhan Yesus menangis? Apakah Dia menangis karena Dia juga mengasihi
Lazarus yang bersama Martha dan Maria yang juga menangis karena kematian
Lazarus? Tentu tidak, karena begitu dikabarkan oleh Martha dan Maria tentang
sakit keras Lazarus dan mereka meminta Tuhan Yesus untuk segera datang
menyembuhkan Lazarus. Tetapi Tuhan Yesus sengaja memperlambat dan tidak
langsung pergi ke Betania, sehingga ketika Tuhan Yesus sampai maka Lazarus
sudah mati. Martha dan Maria pada waktu itu berpikir bahwa Tuhan Yesus dapat
menyembuhkan penyakit, tetapi mereka belum mendengar bahwa Tuhan Yesus mampu
untuk menghidupkan orang mati. Tuhan Yesus bukan menangis karena Lazarus,
karena Dia tahu bahwa Dia akan membangkitkannya. Tetapi Tuhan Yesus menangis
karena kematian yang membawa kesengsaraan pada kehidupan manusia. Kematian
adalah sebuah peristiwa yang mencengkram kehidupan semua umat manusia dan
kematian itu menjadi sesuatu yang menyeramkan, yang mengerikan. Kierkegard
mengatakan keseluruhan hidup manusia adalah suatu kehidupan di dalam kekuatiran
akan kematian. Untuk itulah Tuhan Yesus menangis. Demi cinta kasih-Nya kepada
manusia, pada waktu Ia melihat manusia begitu menderita maka Tuhan dengan
kasih-Nya, Dia bersedia mati untuk manusia. Itulah kasih Tuhan, Dia rela
melewati penderitaan yang begitu berat karena Dia mengasihi kita. Dia ingin
menyelamatkan kita.                   
 
Berbicara
mengenai the pain of God maka kata ‘pain’bukan semata-mata menggambarkan 
penderitaan secara fisik yang dialami oleh
Tuhan Yesus, tetapi juga menggambarkan penderitaan Tuhan Yesus di atas kayu
salib yang paling utama, yaitu pada waktu Dia menjerit: “Eli, Eli, lama
sabakhtani?”. Pada saat itu Allah Bapa pun memalingkan muka-Nya karena Allah
Bapa tidak bisa melihat dosa yang sedang ditanggung oleh Tuhan Yesus. Dosa dari
seluruh umat manusia sehingga Allah Bapa terpaksa memalingkan muka-Nya dari
Anak-Nya yang terkasih. 
 
Kalau
kita melihat lagi Yohanes 11:35 maka kita melihat ternyata Tuhan yang menderita
ini adalah Tuhan yang begitu mengasihi kita dan karena Dia begitu mengasihi
kita maka Dia ikut menderita sehingga Dia menangis. Dia menangis karena Dia
mempunyai solidaritas terhadap kehidupan kita. Pada waktu kita mengalami
penderitaan maka di situ Tuhan Yesus menangis. Seperti seorang ibu ketika
melihat anaknya sakit maka penderitaan dari anak tersebut adalah penderitaan
baginya, karena ibu merasakan betapa menderitanya anak itu dan ikut solidaritas
sehingga sakitnya anak adalah sakitnya ibu karena ibu mengasihi anaknya.
Demikian juga dengan Tuhan, pada waktu Dia melihat penderitaan daripada kita
yang begitu dikasihi-Nya maka Tuhan Yesus menangis. Di sinilah kita melihat
bahwa Tuhan Yesus bukanlah Tuhan yang tidak peduli  tetapi Tuhan kita adalah 
Tuhan yang peduli
bahkan mengidentifikasi diri-Nya dengan penderitaan manusia. 
 
Oleh
karena itu dalam Matius 25 digambarkan bahwa pada waktu kita memberi makan
orang yang lapar maka sebenarnya kita memberi Tuhan makan. Artinya ada
identifikasi, ada solidaritas antara penderitaan manusia dengan Tuhan dan
penderitaan manusia juga menjadi penderitaan Tuhan. Pada waktu kita memberi
makan orang yang lapar maka kita mengangkat penderitaan sesama kita manusia dan
Tuhan tetap melihat bahwa kita juga melakukan untuk Dia. Berdasarkan Matius 25
ini maka kita dapat melihat adanya identifikasi antara Kristus dengan orang
yang dikasih-Nya sehingga dapat dikatakan the
pain of man is the pain of God. Penderitaan dari manusia pun menjadi
penderitaan Allah karena saat manusia menderita, Allah yang begitu mengasihi
manusia juga merasakan penderitaan kita dan Dia merasakan identifikasi dari apa
yang kita rasakan. Dia mengerti segala penderitaan yang kita alami. Maka dapat
dikatakan the pain of man is also the
pain of God. Kesakitan kita, penderitaan kita juga adalah penderitaan
Tuhan. 
 
Bagaimana
dengan misi Kristen? Christion Mission melihat the pain of man as the pain of
God. Mari kita belajar melihat dimulai dari misi Kristen untuk melihat
penderitaan daripada manusia sebagai penderitaan Allah. Kita melihat orang-orang
yang belum dijamah dengan Injil. Mereka masih dicengkram oleh kematian, masih
dicengkram oleh dosa dan kegelapan. Sebagai the
pain of God di mana Tuhan sampai rela mati untuk menolong mereka. Kita bisa
identifikasi dengan the pain of God melalui
kasih Allah yang berbahaya sampai Dia rela mati dan memberikan diri-Nya untuk
menolong manusia. Inilah the real
Christian mission, yang adalah keluar daripada hati Allah yang begitu
mengasihi manusia dan Dia melihat penderitaan manusia serta dengan kasih-Nya
Dia memberikan diri-Nya untuk bisa menolong manusia. Misi Kristen dilandasi
oleh penglihatan akan the pain of man dan the pain of man kita lihat sebagai 
the pain of God. 
 
 
Penutup
Misi
Kristen dimulai pada saat kita melihat penderitaan manusia. Penderitaan manusia
adalah penderitaan Tuhan dan penderitaan Tuhan adalah identik dengan kita yang
harus menjalankan misi kita. Mari setiap kita menjalankan misi kita, belajar
peka untuk melihat the pain of man is the pain of
God. Pada
waktu kita melihat itu, kita akan kerjakan misi Kristen dari hati yang
mengasihi Tuhan dan hati yang mengasihi sesama. 
         
          
 
Ringkasan
khotbah ini tidak melalui proses editing oleh pengkhotbah
 
       
 
Sumber:
Ringkasan khotbah
Pdt. Hendra G. Mulia di Gereja Kristus Yesus (GKY) Green Ville, Jakarta tanggal
28 April 2013
http://www.gkyjgv.org/ringkasan.php?kode=1619
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke