Setiap
orang Kristen pasti beribadah di gereja setiap hari Minggu. Pertanyaan
selanjutnya, apa itu gereja? Bagaimana ciri gereja yang disebut gereja yang
hidup?
 
Temukan jawabannya dalam:
Buku
THE LIVING CHURCH:
Menanggapi Pesan Kitab Suci yang Bersifat Tetap dalam Budaya
yang Berubah
 
oleh:Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, C.B.E.
 
Penerbit: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010 (cetakan ke-3)
 
Penerjemah: Satriyo Widiatmoko
 
 
 
Di
dalam buku ini, Rev. Dr. John Stott mengajar kita tentang ciri-ciri gereja yang
hidup yang berdasarkan Alkitab. Hal ini dimulai dari visi Allah untuk
gereja-Nya yang diambil dari ciri-ciri gereja mula-mula di Kisah Para Rasul
2:42-47, yaitu: gereja yang belajar, mengasihi, beribadah, dan mengabarkan
Injil. Kemudian, Dr. Stott menjelaskan 7 poin utama yang seharusnya dimiliki
oleh gereja yang hidup, yaitu: memuliakan Allah yang Kudus melalui ibadah (yang
bersifat: Alkitabiah, jemaat—bersama-sama, spiritual, dan moral), misi melalui
pemberitaan Injil maupun aksi sosial, pelayanan yang dikhususkan pastoral,
persekutuan yang menjadi: warisan kita bersama, pelayanan kita bersama, dan
tanggung jawab kita bersama, berkhotbah yang dicirikan 5 paradoks yang seimbang
(yaitu: Alkitabiah sekaligus kontemporer, otoritatif sekaligus tentatif,
profetis sekaligus pastoral, karunia sekaligus dipelajari, dan pemikiran
sekaligus kegairahan), persembahan yang didasarkan pada 10 prinsip yang diambil
dari 2 Korintus 8 dan 9, di antaranya didasarkan pada Allah Trinitas (ungkapan
rahmat Allah, karunia Roh Kudus, dan diilhami oleh salib Kristus), dan terakhir
dampak (pentingnya gereja menjadi garam dan terang bagi dunia sekitarnya,
perlunya “senjata” untuk perubahan tersebut, dan pentingnya mempertahankan
kekhasan Kristen dalam menjalankan perubahan yaitu Kristus memanggil kita pada:
kebenaran yang lebih besar, kasih yang lebih luas, dan ambisi yang lebih
mulia). Buku ini ditutup dengan kesimpulan kerinduan Dr. Stott mencari figur
Timotius di abad ini yang muda, pemalu, dan rentan yang diajar Paulus dengan 3
seruan di 1 Timotius 6:11-12, yaitu: seruan etis (menjauhi kejahatan), seruan
doktriner (berjuang demi kebenaran), dan seruan eksperiensial (membangun relasi
pribadi dengan Allah). Pada bagian apendiks, Dr. Stott menyampaikan tiga bab,
yaitu: alasan beliau menjadi anggota Church of England, impian beliau tentang
gereja yang hidup, dan refleksi beliau di usia yang ke-80 tahun (27 April 2001).
Biarlah buku ini dapat mencerahkan hati dan pikiran kita tentang pentingnya
gereja yang hidup yang bersumber pada Alkitab, beribadah, memberitakan Injil,
dan menjadi garam dan terang bagi dunia sekitar demi hormat dan kemuliaan nama
Allah Trinitas yang Kudus.
 
 
 
Endorsement:
“Inilah penyegar yang memberi
hidup bagi gereja masa kini. Sejak awal sampai akhir – termasuk catatan-catatan
akhirnya yang mengesankan – John Stott menyajikan emas pada setiap halamannya.
Buku ini patut dibaca dan didiskusikan – bahkan dikhotbahkan kembali – oleh
para pendeta dan pekerja Kristen, baik yang ditahbiskan atau tidak, di setiap
tingkat dan di setiap denominasi gereja. Buku ini harus menjadi bacaan wajib,
tidak hanya di sekolah theologi atau seminari Alkitab seluruh dunia, tetapi
juga – karena cara penyampaiannya yang sederhana – harus menjadi bacaan di
setiap rumah tangga dan persekutuan di mana umat Tuhan dapat ditemukan.”
Richard Bewes
Mantan Rektor All Souls Church, Langham Palace
 
“Satu buku lagi dari John Stott
yang dapat dianggap sebagai telaah baku untuk topik yang dibahasnya. Kelebihan
dari buku-buku Stott adalah tidak hanya menyajikan pengajaran Alkitabiah
mengenai suatu topik secara komprehensif, tetapi juga mempertimbangkan situasi
nyata dewasa ini. Seperti biasa, buku Stott adalah bacaan yang penuh inspirasi
dan menyegarkan.
Dewasa ini, ada banyak
kebingungan di antara orang Kristen tentang bagaimana seharusnya mereka
“bertindak sebagai gereja” dalam masyarakat postmodern ini. Saat bergumul
dengan hal ini, kita selalu harus berangkat dari dasar-dasar Alkitabiah
kehidupan gereja dan kemudian menerapkannya pada suatu kebudayaan. Buku ini
menyajikan aspek-aspek pokok yang seharusnya tampak dalam gereja di setiap
masa, dan menyajikannya sedemikian rupa sehingga mudah diterapkan dalam
kebudayaan kita dewasa ini.”
Ajith Fernando,
Th.M., D.D. (HC)
Direktur Nasional Youth for Christ, Sri Lanka, dosen di Colombo Theological 
Seminary dan Lanka Bible
College, visiting lecturer di Tyndale
Seminary (Canada) dan Trinity Evangelical Divinity School (US), dan wakil ketua
dari South Asia Graduate School of
Theology; alumni Asbury
Theological Seminary dan Fuller Seminary.
 
“Inilah Stott yang klasik, dengan
kualitasnya yang khas: telaah Alkitabiah yang setia dan tekun; kejernihan bak
kristal; penerapan masa kini yang menantang dengan banyak pukulan;
kebijaksanaan yang luar biasa – termasuk memelihara keseimbangan Alkitab tanpa
harus menghindari ketajamannya.”
Vaughan Roberts
Rektor St. Ebbe’s Church, Oxford
 
 
 
Profil
Rev. DR. JOHN R. W. STOTT:
(alm.) Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott, CBEadalah seorang pemimpin Kristen 
dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang
tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau
terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari the Lausanne Covenant 
pada tahun 1974. Beliau lahir di
London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern 
languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau
lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologi. Di
universitas, beliau aktif di the Cambridge inter-collegiate Christian
Union (CICCU).
Setelah
ini, beliau berpindah ke Ridley Hall Theological College (juga the University 
of Cambridge) sehingga beliau
dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu
pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website: 
www.allsouls.org)
kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris 
Elizabeth II (1959-1991)
dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan
menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika,
Inggris dan Kanada. Salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada 
tahun 1983.
 
"Kerendahan hati yang rohani merupakan suatu kesadaran yang dimiliki seorang 
Kristen tentang betapa miskin dan menjijikkannya dirinya, yang memimpinnya 
untuk merendahkan dirinya dan meninggikan Allah semata."
(Rev. Jonathan Edwards, A.M., Pengalaman Rohani Sejati, hlm. 100)

Kirim email ke