chandra,
posisi mu sekarang dimana?

bobby

--- Pada Sel, 17/2/09, Chandra liembonx <liembonx_1...@yahoo.co.id> menulis:
Daripada: Chandra liembonx <liembonx_1...@yahoo.co.id>
Subjek: Bls: [KBMSB] Mereka Pun Ikut Menangis
Kepada: KBMSB@yahoogroups.com
Tarikh: Selasa, 17 Februari, 2009, 5:18 PM











    
            Mantab kali cerita refleksi ini bang...


Chandra Juniando Limbong

http://chandra- limbong.blogspot .com
http://portal- gengsi.blogspot. com


--- Pada Sel, 17/2/09, BOBBY FORMULA <bobby.formula@ yahoo.com. my> menulis:
Dari: BOBBY FORMULA <bobby.formula@ yahoo.com. my>
Topik: [KBMSB] Mereka Pun Ikut Menangis
Kepada:
 kb...@yahoogroups. com
Cc: ia_smandu_ps@ yahoogroups. com
Tanggal: Selasa, 17 Februari, 2009, 3:50 PM








    
            Sinar lembayung memendar di ufuk barat memeluk
desa Motung yang terletak di dataran tinggi Toba. Warnanya kuning
kemerah-merahan sehingga penduduk setempat menyebutnya sibalik
hunik(1). Bersamaan dengan redupnya lembayung, Bonar, pemuda desa yang
bekerja di Jakarta baru saja menginjakkan kaki di desa Motung tanah
tumpah darahnya. Tentu saja kedua orang tua dan adik-adiknya menyambut
baik kehadiran Bonar yang sudah lebih dari tiga tahun tidak pulang.

Namun
suasana kali ini sangat jauh berbeda. Bonar biasanya membawa buah
tangan seperti dodol garut kesukaan ibunya dan kue bolu kesenangan
adiknya. Tapi malam itu Bonar pulang hampa tangan. Bonar kebanyakan
diam dan hanya menjawab pertanyaan apa adanya sehingga mereka tidak
berani bertanya lebih jauh. Usai makan malam Bonar segera meninggalkan
ibu bapak dan adik-adiknya menuju kamar. Mereka sekeluarga saling
pandang seolah-olah ingin tahu kenapa Bonar berubah sikap 180 derajat?

Tak
lama kemudian lamat-lamat terdengar suara isak tangis dari kamar Bonar.
Ibu bapaknya saling berpandangan melihat kelakuan Bonar yang aneh.
Mendengar suara tangis itu naluri seorang ibu tergerak untuk mengetahui
kejadian yang menimpa anaknya. Dengan langkah gontai ibu Bonar menuju
kamar dan terkejut menyaksikan Bonar sedang menangis tersedu-sedu.

”Amang”
(2) Bonar, kenapa kau menangis, sakit ya? Apa yang kau rasakan?” sapa
ibunya sambil mengelus-elus kepala Bonar. Mulutnya terkatup tak kuasa
menjawab. 

Amani(3) Bonar yang sedari tadi menunggu jawaban
dari istrinya yang tak kunjung keluar dari kamar mulai gelisah lalu
bangkit menemui Bonar.

”Bonar, ada masalah apa dengan kau dan
kenapa menangis terus? Ayo jawab!” kata bapaknya mulai berang melihat
kelakuan Bonar. Karena tidak ada jawaban bapaknya mulai marah. Begitu
pertanyaan kedua diajukan dan tidak memperoleh jawaban, tangan kanan
bapak mendarat di pipi kiri Bonar. Ibu Bonar segera memeluk melindungi
anaknya dari pukulan berikutnya. Amani Bonar memang keras mendidik
anak. Hal itu dipengaruhi oleh kehidupannya sebagai petani miskin yang
harus kerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya
sekolah. Bahkan sejak SD Bonar sebagai anak sulung sudah mendapat
tambahan pekerjaan. Sebelum matahari terbit manakala teman sebayanya
masih tidur pulas Bonar sudah bangun dan disuruh menggiring kerbau ke
sawah. Setelah itu baru berangkat sekolah. Bonar selalu menurut. 

Berbeda
dengan malam itu. Walaupun sudah mendapat tamparan yang meninggalkan
bekas di pipinya, tangisnya tiada henti dan tetap tidak mau menjawab.

”Ayo
tolong percikkan air dengan bulung rata(4) ke mukanya, siapa tau ada
setan yang merasuk ke tubuhnya”, kata namboru-nya( 5). Beberapa kali air
dipercikkan seraya memohon agar setan yang mengganggu enyah dari
pikiran Bonar. Sayang percikan air itu ternyata tidak membuahkan hasil.

Melihat
keadaan itu salah seorang tetua kampung mengusulkan supaya diadakan doa
khusus kepada para nenek moyang dengan menabuh gendang dan memanggil
datu(6) yang dapat menghentikan tangisnya. Gendang pun ditabuh dan datu
mulai menari dan membacakan mantera seraya memohon ke arwah nenek
moyang agar tangis Bonar dihentikan.

Sementara itu Amani Bonar
mulai naik darah. Setelah berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan
tangisnya tetap tidak berhasil maka ia berdiri sambil menghardik, ”Hai
Bonar, percuma kau kusekolahkan ke Jawa kalau pulang membawa malu.
Seorang laki-laki menangis berjam-jam seperti ini adalah orang gila.
Buat apa kau sekolah tinggi kalau pulang membawa aib?” Para tetangga
berusaha menahan emosi Amani Bonar yang sudah siap menendang kepala
Bonar.

Kemarahan Amani Bonar dapat diterima karena Bonar adalah
anak yang dibanggakan. Bonar adalah pemuda desa yang berhasil meraih
gelar sarjana pertanian di salah satu perguruan tinggi terkemuka di
pulau Jawa. Prestasi Bonar di sekolah memang cukup bagus sehingga masuk
ke universitas melalui jalur PMDK. Amani Bonar berharap kalau sudah
lulus dapat menjadi pegawai negeri dengan harapan kelak hidupnya
menjadi lebih baik dan punya masa depan. Tidak seperti dirinya yang
bergelimang lumpur setiap hari. Begitu lulus dan mendapat predikat Cum
Laude Bonar mendapat tawaran bekerja di perkebunan milik pemerintah.
Tentu saja orang tua Bonar bersuka-ria. Jerih payahnya terbayar saat
Bonar mengabarkan dirinya diterima jadi pegawai negeri.

Kendati
sudah tujuh tahun Bonar bekerja, tapi belum kelihatan ada perubahan
yang mencolok dari kehidupannya. Tidak seperti anak tetangga desanya
yang baru 3 tahun bekerja sudah bisa pulang sudah mengendarai mobil
kijang. Ransel gendong tetap melekat di punggungnya tatkala pergi dan
pulang kampung. Tapi Bonar tetap menikmati keadaannya. Tidak terusik
dengan gelombang konsumerisme yang melanda generasi muda negeri ini.

Gertakan
bapaknya yang demikian keras semakin menyesakkan dada Bonar. Sungguh
berat rasanya mengungkapkan secara langsung kepada orang tuanya yang
sudah bersusah payah menyekolahkannya hingga sarjana. Hatinya tidak
tega melihat perjuangan kedua orang tuanya harus makan ubi untuk
mengirit biaya agar Bonar bisa kuliah.

Menjelang subuh, ayam
berkokok bersahut-sahutan. Seorang ibu menyeruak di antara penduduk
desa yang memenuhi halaman rumah Bonar. Dengan tergesa-gesa ia memasuki
rumah Bonar dan menanyakan kejadian apa yang menimpa Bonar. Setelah
mendengar penjelasan singkat, ibu tersebut mendekati Bonar sambil
berbisik.
”Bonar, hasian(7) naburju(8), aku ibu gurumu dulu waktu
SD. Coba lihat wajahku ”, katanya memberi keyakinan. ”Aku ibu guru
Silaban, ingat kan? Wah, kau dulu anak cerdas, pintar dan berani. Waktu
aku mengajarkan pepatah ketika pelajaran bahasa Indonesia ’berani
karena benar takut karena salah’ kau bertanya tentang makna pepatah itu
dan kau puas mendapat penjelasan”, lanjutnya merayu seraya menghapus
air mata yang mengalir di pipi Bonar. Semua yang hadir menyaksikan
adegan itu tampak terkesima. Hening. Di luar terdengar desir angin
semilir meniup pohon-pohon bambu yang bergesekan dan cicit burung yang
akan keluar dari sarangnya di sela kokok ayam.

”Bonar, sayang,
sejak kecil kau kukenal sebagai pribadi yang tangguh. Berjalan kaki ke
sekolah di kota kecamatan walau berjarak 7 km, kau tidak pernah
mengeluh. 

Apalagi menangis. Kau dan teman-temanmu selalu
bergembira sambil bernyanyi di tengah jalan menghilangkan penat. Masih
ingat kau lagunya: ’Sorak Sorak Bergembira. Bonar, hasian, ceritalah
sama aku, ibu guru, seperti dulu kau pernah curhat ketika ingin sekolah
ke pulau Jawa, tapi bapakmu tidak setuju dengan alasan biaya. Akhirnya
ibu guru meyakinkan bapakmu walau terpaksa menjual kerbau kesayanganmu
untuk biaya sekolah. Kau sedih waktu bapakmu menggiring kerbau Silepe
Tanduk(9) ke pasar Tigaraja. Ayo sayang, mungkin ibu guru bisa bantu”,
sembari memeluk Bonar.

Mendengar bujukan itu isak tangis Bonar
mulai mereda dan matanya yang tadinya hampa tampak bersinar. Melihat
perubahan itu, lalu sang ibu guru mengajak Bonar ke suatu ruangan yang
kosong dan membujuk Bonar agar mau bercerita. Kedua orang tua Bonar dan
penduduk yang menyaksikan adegan itu tertegun atas keberhasilan mantan
ibu guru yang dapat menghentikan isak tangis Bonar.

”Aku tak mau mengecewakan orang tua. Tolong bantu aku ibu guru”, pintanya 
memohon dengan hormat, lalu Bonar bercerita :

”Begitu
lulus dari perguruan tinggi aku diterima menjadi pegawai perkebunan dan
ditempatkan di bagian administrasi. Setelah itu dipindahkan ke bagian
penelitian dan akhirnya aku ditugaskan sebagai pengawas lapangan.

Sekali
waktu aku memeriksa pupuk jenis NPK yang akan disebar di perkebunan
kelapa sawit. Aku terkejut karena sepertinya ada yang aneh. Lalu aku
berdiskusi dengan para buruh penyebar pupuk. Karena curiga atas mutu
pupuk tersebut, maka diam-diam aku membawa ke laboratorium dan
memeriksanya. Terus terang aku kaget karena ternyata pupuk itu palsu.

Hasil
investigasi itu segera aku laporkan ke atasan. Namun ditanggapi dingin.
Jelang beberapa hari aku dipanggil oleh atasanku dan mengatakan agar
tidak memperpanjang persoalan itu sambil menyerahkan sebuah amplop
berisi segepok uang ratusan ribu rupiah. Dengan santun aku menolak
ajakan kerja sama itu dan mengatakan akan mengusut tuntas perbuatan itu
karena akan merugikan perusahaan. Mendengar tantangan itu, atasanku
malah balik menghardik bahwa dia tidak takut. ’Silakan! Jangan membuat
ulah di kantor ini karena pengadaan pupuk melalui proses pemeriksaan
yang ketat,’ katanya sambil menggebrak meja. Hatiku geram melihat
sikapnya yang angkuh dan membayangkan betapa hancurnya perusahaan kalau
kejadian itu dibiarkan.

Tiga hari kemudian aku dipanggil oleh
pemeriksa dari bagian pengawasan di kantor pusat dengan tuduhan membuat
laporan palsu atas kejadian penemuan pupuk palsu. Setelah diperiksa
berkali-kali akhirnya aku dinyatakan bersalah dan diberi dua pilihan,
pertama dilaporkan ke kepolisian karena membuat laporan palsu atau
membuat pernyataan mengundurkan diri dari perusahaan. Aku mencoba
membela diri dan menyerahkan hasil pemeriksaan laboratorium. Tapi tidak
digubris. Aku dianggap sumber bencana, padahal aku ingin hasil
perkebunan meningkat dengan menggunakan pupuk yang asli. Ketika aku
meminta dukungan dari para buruh penyebar pupuk, mereka tidak sudi
memberi kesaksian, takut dipecat. Aku dituduh ’si pembuat onar’ dan
yang paling menyakitkan dicap membuat sensasi untuk mencari jabatan.
Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya aku mengambil keputusan keluar
dari perusahaan”, tutur Bonar sambil memeluk mantan gurunya.

Sang
mantan ibu guru tertegun mendengar penuturan Bonar yang lugu dan lugas.
Darahnya mendidih sambil berteriak, ”Tidak nak, kau tidak salah. Aku
kagum. Kau berhasil keluar dari lingkungan setan korupsi yang merasuk
bangsa dan negara kita. Aku terharu karena anak didikku berani
mengatakan kebenaran walaupun harus menanggung risiko. Biar aku yang
menjelaskan kepada orang tuamu dan seluruh penduduk desa. Hapuslah air
matamu, nak!” kata mantan ibu guru.

Matahari menyembul dari ufuk
timur tatkala mantan ibu guru Bonar tampil di depan seluruh penduduk
desa. Bagai orator yang tampil di pilkada dengan lantang, ibu guru itu
menyuarakan isi hati Bonar dan memberi pendapat bahwa Bonar berjalan
dalam jalur yang benar. Persoalannya, Bonar takut dipersalahkan dan
mengecewakan orang tuanya hingga ditumpahkan melalui air mata. Ia
memohon dengan hormat, ”Bonar jangan dimarahi.”

Mendengar
penjelasan tersebut, Amani Bonar bangkit berdiri dan memeluk anaknya
sambil berkata, ”Bonar, aku mengerti kenapa kaumenangis tak
henti-henti. Bagus nak, sebuah tindakan yang mulia. Bapak tidak kecewa.
Bapak gembira kau lepas dari lilitan jaringan korupsi sebagaimana
sering di tayangkan TV. Menjijikkan. Aku menyambut kedatanganmu kembali
ke desa kita. Mari kita bangun desa ini. Terapkan ilmu pengetahuan yang
kau peroleh dari perguruan tinggi. Bangunlah desa ini agar terhindar
dari peta kemiskinan.

Penduduk desa yang sejak semalam bergadang
bersorak-sorai dan berteriak gembira. ”Hidup Bonar...! Hidup Ibu
Guru...!” Tetua di desa itu pun menyambut baik sikap Bonar dan meminta
para penabuh gendang menyanyikan sebuah lagu magis yang sudah jarang
diperdengarkan, gondang malim(10) Irama itu biasanya ditabuh untuk
mengusir roh jahat. Serentak penduduk desa menari mengikuti suara
gendang ditimpali suara serunai yang melengking. Bonar terharu sambil
berpelukan dengan kedua orang tua dan mantan ibu gurunya. Tak terasa
air mata meleleh ke pipinya dan mereka pun ikut menangis. ***

Batam, Juni 2008

Kosakata
1. Sibalik Hunik: Sinar matahari terbenam
2. Amang: Panggilan sayang kepada anak
3. Amani: Bapak
4. Bulung rata: Daun beringin dan rantingya
5. Namboru: Bibi
6. Datu: Dukun
7. Hasian: Sayang
8. Naburju: Yang baik
9. Silepe Tanduk: Panggilan kepada kerbau yang tanduknya melingkar ke bawah
10. Gondang Malim: Irama magis yang dapat memanggil arwah nenek moyang untuk 
mengusir roh.

Sumber: Sinar Harapan

Karya Godman Ambarita

                                
                                
                                  

        Dapatkan nama E-mel keutamaan anda!  

Kini anda boleh @ymail.com dan @rocketmail. com.
 

      


         
        
        

        Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!
 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      Dapatkan nama E-mel keutamaan anda! 
Kini anda boleh @ymail.com dan @rocketmail.com. 
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/my/

Kirim email ke