GOVERNMENTALITY Michel Foucault (1978) - terjemahan bebas
Sepanjang Abad Pertengahan dan era klasik, kita menemukan sekumpulan risalah yang menyajikan 'saran untuk raja' (advice to the prince), terkait sikap yang selayaknya dilakukan, pengembangan pengaruh, pengamanan pendapatan dan penghormatan, kecintaan pada Tuhan dan kepatuhan, dan lain-lain. Fakta yang lebih jelas adalah dari pertengahan abad ke-16 sampai akhir abad ke-18, perkembangan catatan tertulis dari perjanjian politik tidak lagi berbentuk 'saran untuk raja', dan juga bukan perjanjian berdasarkan ilmu politik, tetapi lebih tersaji sebagai pekerjaan 'seni pemerintahan' (the art of government). Pemerintah sebagai suatu masalah umum mulai mengemuka pada abad ke-16, ditunjukkan melalui diskusi tentang berbagai persoalan. Satu contoh persoalan adalah proses ritual perorangan dalam kebangkitan kembali era Stoic pada abad ke-16. Termasuk juga persoalan tentang semangat dan jiwa pemerintahan berdasarkan doktrin Katolik dan Protestan. Termasuk pembinaan terhadap anak-anak menyangkut ilmu pendidikan yang mulai terbangun selama kurun abad ke-16. Persoalan lain adalah bagaimana suatu pemerintahan dikendalikan oleh raja. Bagaimana pengaturannya, bagaimana bila raja sendiri diatur, bagaimana mengatur orang lain, bagaimana masyarakat dapat menerima bila diatur, bagaimana menentukan pemerintah (governor) yang baik seluruh masalah ini merupakan karakteristik persoalan yang ditunjukkan pada abad ke-16. Untuk menempatkan pemerintahan ini secara skematik, terdapat persimpangan 2 proses: 1) mempersoalkan struktur feodalisme yang mengarah pada pemantapan teritorial yang luas, secara administratif maupun kolonialisasi; dan 2) dengan adanya reformasi dan kontra-reformasi, membangkitkan issue tentang bagaimana pengaturan secara spiritual dilangsungkan di bumi dalam mencapai keselamatan yang kekal. Kedua gerakan ini menempatkan sentralisasi pada satu tangan dan penyebaran keagamaan pada tangan yang lain. Hal ini sebagai persimpangan dua kecenderungan yang menempatkan masalah pada intensitas tentang bagaimana hal itu diatur, bagaimana diatur secara tegas, oleh siapa, dengan tujuan apa, dengan metode apa, dan seterusnya. Hal ini merupakan masalah pemerintahan secara umum. Dari begitu banyaknya literatur yang diciptakan hingga akhir abad ke-18, Foucault ingin menggarisbawahi beberapa persoalan yang penting untuk ditandai karena kaitannya dengan pendefinisian pemerintahan suatu negara, sesuatu yang sekarang disebut 'bentuk politik dari pemerintahan'. Cara sederhana melakukannya adalah membandingkan seluruh literatur melalui 'text tunggal' yang tidak berubah, dan menghubungkannya dengan literatur tentang pemerintahan karya Machiavelli: "The Prince". Hal menarik ditemui dalam menjejak hubungan text ini baik secara menyetujui, mengkritisi, maupun menolaknya. Kita ingat bila "The Prince" tidak dibuat sebagai 'dogma', tapi jelasnya dihargai sebagai karya kontemporer hingga awal abad ke-19. The Prince muncul kembali pada awal abad ke-19 khususnya di Jerman, dipelajari oleh Rehberg, Leo, Ranke, dan Kellerman, juga di Italia. Karya ini menjadi rujukan penting, seperti pada era Napoleon, juga mempengaruhi revolusi di Amerika Serikat. Terutama tentang bagaimana dan dalam kondisi apa seorang penguasa yang berdaulat pada suatu negara memelihara kekuasaannya; juga dalam konteks apa kekuasaan itu dapat dibangkitkan. Diteruskan melalui pandangan Clausewitz yang mempengaruhi Kongres Wina 1815, tentang hubungan antara politik dan strategi, masalah hubungan kekuatan dan perhitungan berbagai relasi sebagai prinsip kesepahaman dan rasionalisasi dalam hubungan internasional, serta hubungannya dengan masalah teritorial Italia dan Jerman; menunjukkan pengaruh Machiavelli sebagai salah seorang yang mencoba merumuskan berbagai kondisi yang berada dalam kesatuan teritorial Italia. Hal ini terkait dengan pembangkitan kembali konsep Machiavelli selama kurun abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-19. Beberapa peneliti yang melanjutkan pemikiran Machiavelli ini adalah Naude dan Machon, Ambrozio Politi, de La Perriere, Th. Elyott, dan P. Paruta. Segenap perdebatan ini seharusnya tidak dipandang melulu dalam bentuk istilah yang terkait dengan text Machiavelli, yang dapat saja menjadi aspek-aspek yang tidak diterima. Hal ini hendaknya dapat disebut secara khusus sebagai `seni pemerintahan' (an art of government). Beberapa penulis menolak gagasan tentang seni pemerintahan berpusat pada negara dan alasan bagi suatu negara, yang menjadi stigma dengan sebutan Machiavellianisme; penulis yang lain menolak Machiavelli dengan menyebut seni pemerintahan berada antara rasionalitas dan legitimasi, dan karya The Prince hanya merupakan perkiraan atau karikatur yang tidak sempurna. Penulis lain dalam upaya untuk membuktikan legitimasi sebagian seni pemerintahan menggunakan rujukan Machiavelli, seperti misalnya membandingkan dengan ketentuan dalam Bible. Seluruh penulis membagi perhatian bersama dengan memberi jarak pada konsepsi yang ada tentang seni pemerintahan, memotong akar keagamaan, memberi perhatian khusus pada raja dan rasionalitasnya, serta menyampingkan berbagai debat tentang akurasi interpretasi Machiavelli. Masalah mendasar adalah pada bagaimana mengartikulasikan rasionalitas yang terkandung dalam seni pemerintahan. Seni pemerintahan selanjutnya didefinisikan dalam suatu persoalan yang berbeda dengan kapasitas sang raja, yang dalam beberapa hal mereka temukan dalam penjelasan Machiavelli; sehingga terdapat sebagian penulis yang mengkritisi seni pemerintahan sebagai bentuk baru dari Machiavellianisme. Politik dari The Prince, khayalan maupun tidak, tempat dimana setiap orang menentukan jarak sesamanya, dikarakterisasi dalam satu prinsip: bagi Machiavelli, raja berdiri dalam suatu relasi antara diri sendiri dan eksternal, dan secara lebih jauh adalah dengan kerajaannya. Raja memperoleh kerajaannya melalui pewarisan atau penaklukan, namun sebenarnya dia bukan bagian dari itu, dia menjangkau hal yang lebih eksternal dari itu. Hubungan yang mengikat raja dan kerajaan dapat ditegakkan melalui kekerasan, pewarisan keluarga, dan perjanjian dengan kerajaan lain; dan hal-hal terkait ini tidak memiliki dasar, esensi, maupun hubungan alami dan hukum antara raja dan kerajaannya. Sebagai akibatnya walaupun hubungan itu bersifat eksternal, dapat pecah dan secara menerus dalam cobaan, baik oleh kerajaan lain yang ingin menaklukkannya, juga dari dalam yang tidak menerima aturannya. Akhirnya sistem ini mengarah pada satu kesimpulan, sebagai suatu bentuk perintah: bahwa tujuan dari kekuasaan adalah untuk mengumpulkan kekuatan, memperkuat dan melindungi kerajaan. Dalam pengertian lanjut, kerajaan sebenarnya bukan dimaksudkan untuk memperluas keinginan raja dan teritorial, namun lebih pada hubungan raja dengan apa yang telah dimilikinya, melalui teritorial yang diwarisinya atau diperolehnya, dan melalui kepentingan-kepentingannya. Kondisi yang rentan ini merupakan lingkup dari seni pemerintahan, sebagai maksud dari perhatian Machiavelli. Dengan demikian terdapat dua hal yang dianalisis oleh Machiavelli: 1) mengenali bahaya-bahaya dari mana datangnya, apa bentuknya, dan seberapa keras kekuatannya, serta 2) membangun seni relasi kekuatan yang akan meyakinkan raja untuk melindungi kerajaannya, yang menghubungkannya dengan teritorial dan kepentingannya. Secara skematik dapat dikatakan The Prince secara mendasar menjelaskan tentang kemampuan raja untuk menjaga kerajaannya. Hal ini secara kecakapan berargumentasi oleh anti-Machiavellian berkeinginan untuk menggantinya dengan sesuatu yang lain dan baru, disebut dengan 'seni pemerintahan'. Memiliki kemampuan untuk menjaga satu kerajaan adalah tidak sama dengan memaksakan konsep seni pemerintahan. Sehingga kemampuan apa yang disyaratkan? Untuk mendapatkan gambaran tentang hal ini, terdapat satu tulisan dari literatur anti-Machiavellian, "Miroir Politique", oleh Guillaume de La Perriere. -- bersambung --