GAJAH MADA

Gajah Mada, pahlawan pemersatu Nusantara, hidup pada zaman keemasan
Majapahit di abad ke-14, tercatat pada prasasti dan naskah-naskah sastra
para pujangga besar bangsa ini.

Sumpah Amukti Palapa yang sangat sakral, yang diucapkannya di paseban
agung Majapahit pada tahun 1334 telah merubah sejarah bangsa besar ini
menjadi bangsa yang mempunyai kekayaan budaya, peradaban dan semangat
kesatuan yang sangat inheren.

Sejalan dengan filosofi dasar konsepsi persatuan bangsa, BhinnekaTunggal
Ika tan hana dharma mangrwa, yang termaktub dalam kitab Sutasoma karya
Rakawi Tantular, Gajah Mada terbukti mampu mempersatukan perbedaan dalam
bentuk apapun di seluruh persada Nusantara yang sangat heterogen ini.

Semangat Bhayangkara yang melekat dalam dirinya telah membentuk Gajah
Mada menjadi seorang tokoh sejarah yang tak lekang dimakan waktu.

Dalam abad ke empat belas, Majapahit  merupakan kekuasaan besar di Asia
Tenggara menggantikan kedudukan Mataram dan Sriwijaya. Dua negara yang
berbeda cirinya. Yang pertama sebagai negara pertanian, sedang yang
kedua negara maritim. Kedua ciri itu dimiliki olehMajapahit.

Pada abad itu, timbulnya Majapahit di geopolitik Asia Tenggara yang
sanggup mempersatukan seluruh perairan Nusantara Raya merupakan
peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi.

Majapahit menjadi kekuatan besar di  Asia Tenggara yang ditakuti dan
disegani negara-negara tetangganya di daratan Asia.

Kekuasaan Majapahit yang sangat luas saat itu terbagi dalam beberapa
wilayah kekuasaan. Di Jawa ada sebelas Negara bawahan masing-masing
diperintah oleh Raja/Ratu/Prabhu, dan lima propinsi yang disebut
Amancanagaramasing-masing diperintah oleh Juru Pengalasan atau Adipati.

Kesebelas Negara bawahan di  tanah Jawa itu adalah: 1. Daha; 2. Wengker;
3. Matahun; 4. Lasem; 5. Pajang; 6.Paguhan; 7. Kahuripan; 8. Singasari;
9. Mataram; 10. Wirabhumi; 11. Pawanuhan. Semua pemegang kuasa di Negara
bawahan adalah keluarga Raja Majapahit sesuai dengan Nagarakretagama
pupuh VI/4 dan XII/6.

Kelima propinsi yang disebut Amancanagara disebut menurut mata angin
yaitu utara, timur, selatan, barat dan pusat/tengah, masing-masing
diperintah oleh seorang Mantri Amancanagara atau Juru Pengalasanatau
Adipati yang bergelar Rakryan, seperti juga tertulis pada
piagamBendasari.

Pola pemerintahan seluruh Negara bawahan dan Amancanagara mengikuti pola
pemerintahan pusat. Raja, Juru Pengalasan atau Adipati adalah pembesar
yang memegang kuasa dan tanggungjawab Negara, namun pemerintahannya
diserahkan kepada Patih.

Dalam Nagarakretagama pupuh X, para pembesar Negara dan para patih
Negara bawahan atau Amancanagara apabila datang ke Majapahit,
mengunjungi Kepatihan Amangkubumi untuk urusan pemerintahan. Apa yang
dilaksanakan di pusat, dilaksanakan di daerah.

Dari patih perintah diteruskan ke Wadana, semacam pembesar distrik
kemudian turun ke Akuwu sampai ke Buyut, kepala desa sebagai pimpinan
wilayah paling rendah dalam struktur organisasi ketatanegaraan
Majapahit.

Yang menarik, sebagai pusat pemerintahan, Majapahit menerapkan konsep
otonomi yang sangat luas kepada semua Negara bawahan di sebrang lautan.
Para Raja, Juru Pengalasan atau Adipati berdaulat penuh di negaranya
masing-masing. Majapahit dalam hal ini tidak ikut campur dengan urusan
daerah.

Kewajiban utama daerah bawahan adalah menyerahkan upeti tahunan dan
menghadap Raja Majapahit pada waktu-waktu tertentu sebagai bukti
kesetiaan pada Majapahit. Mengikuti rapat besar pada waktu-waktu
tertentu.

Sedikitnya ada enam macam rapat yang pernah dilakukan. Antara lain: 1.
Rapat Perayaan Palguna, 2. Sidang Tentara, 3. Rapat Perayaan Bubat, 4.
Rapat Perayaan Caitra, 5. Rapat Paseban dan 6. RapatNusantara.

Dalam Nagarakretagama pupuh XVI/5 ditegaskan bahwa Majapahit melindungi
seluruh Negara bawahan dan Amancanagara dengan memelihara Angkatan Laut
(Jaladi Bala) yang sangat besar dan tangguh pada abad itu dan sangat
ditakuti oleh Negara tetangga di Asia Tenggara.

Bahkan Cina sebagai Negara adikuasa  di selatan Asia saat itu sangat
menaruh perhatian terhadap pertumbuhan kekuasaan Majapahit yang begitu
pesat. Sehingga pada tahun 1416 melakukan show of force dengan
mengirimkan 22 jung besarnya yang mengangkut tidak kurang dari dua puluh
tujuh ribu prajurit Cina ke Majapahit di  bawah pimpinan Laksamana Cheng
Ho..

Begitu luasnya wilayah kekuasaan Majapahit mengisyaratkan betapa
kompleksnya persoalan yang setiap saat muncul di seluruh wilayah yang
lebih luas lagi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.

Sebagai perbandingan, luas geografis Indonesia saat ini yang membentang
mulai dari 95˚ sampai dengan 141˚ BT dan di antara 60˚ LU
dan 110˚ LS meliputi 7,9 juta km² wilayah perairan laut termasuk
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dikelilingi 81.000 km panjang pantai
terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada, dengan memiliki 17.508
pulau terbanyak nomor satu di dunia.

Terbukti, Majapahit yang lebih luas lagi dari Indonesia saat ini mampu
bertahan sebagai Negara besar, agung, ditakuti dan disegani selama
seratus tujuh puluh tahun.

Kestabilan keamanan dan politiksecara implisit mangandung muatan
pemikiran yang mengacu pada pengakuan atas berhasilnya konsepsi Keamanan
dan Pertahanan baik di dalam maupun luar negeri yang diterapkan oleh
Majapahit (baca: Gajah Mada, sebagai konseptor hampir seluruh kebijakan
di segala sektor) secara utuh dan terorganisir.

Konsep strategis sistem dan struktur organisasi keamanan dan pertahanan
Majapahit terbukti mampu membawa Negara Agung ini menjadi Negara aman
dan berdaulat yang memberikan peluang begitu luas terhadap pertumbuhan
di segala sektor: ekonomi, politik, sosial, budaya dan keagamaan.

Memberikan garis struktur dan komando yang jelas terhadap
job-description antara Angkatan Darat (Samatya Bala), Badan Intelijen
(Sandi Bala), Angkatan Laut (Jaladi Bala) dan Bhayangkara (sebagai
kesatuan bersenjata pengawal raja dan kerabatnya) pada saat itu ternyata
telah membuktikan adanya regulasi yang sangat brilian, intelektual dan
responsif terhadap perkembangan kemajuan peradaban yang sustainable dan
futuristik.

Sebagai contoh, dengan ditetapkannya Selat Malaka sebagai Bandar
Internasional saat itu sebagai pintu gerbang transaksi perdagangan
antara masyarakat Nusantara Raya dengan masyarakat luar seperti Cina,
India, Timur Tengah, Campa, Kamboja dan lainnya.

Perairan Selat Malaka, yang begitu ramai dikunjungi para pedagang ke
dalam dan ke luar perairan Nusantara Raya terbukti sangat aman dijaga
oleh Jaladi Bala yang sangat ditakuti saat itu karena memiliki armada
dan prajurit yang sangat tangguh di lautan.

Juga Samatya Bala sebagai kekuatan militer di daratan yang memiliki
puluhan ribu prajurit tangguh dalam mengatur strategi tempur di daratan,
dan Bhayangkara yang berfungsi sebagai Angkatan `Bersenjata'
yang memiliki garis tugas dan tanggungjawab sebagai pengawal masyarakat
sipil di seluruh pelosok Nusantara.

Bersama-sama seluruh komponen Angkatan Bersenjata baik di darat dan
lautan, para Dharmadhyaksa dan Upapati, Bhayangkara tegar berdiri dan
berwibawa sebagai kekuatan yang selalu dekat di istana maupun di seluruh
jiwa masyarakat luas, di seluruh wilayah perairan Nusantara Raya.

Di bawah Mapanji Gula-Kelapa (baca: merah-putih), Gajah Mada dengan
tegas menetapkan ideologi bangsa yang sangat sakral dan mempunyai muatan
falsafah yang sangat luar biasa dan terus up-to-date sampai hari ini,
yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Berdasarkan letak geografis, sejarah nenek-moyang bangsa Nusantara,
ideologi dan falsafah Negara sebagai holy-spirit bagi setiap jiwa anak
bangsa, Gajah Mada dengan tegas menetapkan konsep Negara Maritim yang
sangat implementatif terhadap perkembangan bangsa besar ini.

Konsepsi Negara Maritim, sebagai warisan nenek-moyang terbukti mampu
membawa bangsa ini selama seratus tujuh puluh tahun hidup tentram,
damai, gemah ripah loh jinawi. Dan berwibawa di mata mancanegara.

Namun, keruntuhan Majapahit akibat perebutan kekuasaan antar kerabat
yang sangat klise telah merubah konsepsi dasar falsafah bangsa besar ini
menjadi bangsa yang tak lagi mampu menguasai perairan yang sangat luas
sebagai kekayaan geografis yang dianugerahkan AllahSWT kepada bangsa ini
sejak 5.000 tahun sebelum Masehi, ketika migrasi besar-besaran terjadi
di perairan Nusantara ini.

Demak, sebagai "penerus" Majapahit tak mampu mempertahankan
konsepsi Negara Maritim sebagai warisan yang sangat mahal yang pernah
dimiliki bangsa besar ini.

Setelah Selat Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511, secara tidak
langsung bangsa besar yang pernah mengalami kewibawaan dan kemakmuran
ini mulai terkubur dan hilang di percaturan politik benua ini.

Berturut-turut, bandar-bandar internasional yang pernah dimiliki
Majapahit pada masa kejayaannya mulai berada di bawah kekuasaan bangsa
barat.

VOC (1602-1798) dengan signifikan menguasai perairan Nusantara Raya ini.
Apalagi setelah terjadi perjanjian Giyanti tahun 1755 antara pihak
Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta yang isinya antara lain:
diktum bahwa kedua raja keturunan Mataram itu, yang sudah dikendalikan
oleh otoritas Belanda, menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi dan
rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda.

Sejak itu, nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia
bergeser, yang semula bercirikan budaya maritim menjadi budaya
terestrial. (DjokoPramono, Budaya Bahari, 2004).

Nusantara Raya mati suri selama lebih dari tiga setengah abad.

Kini, ketika kesadaran intelektual yang terinspirasi dari perjalanan
panjang sejarah bangsa ini muncul akibat luka sangat dalam oleh pisau
tajam penjajahan, dalam bentuk apapun, membangkitkan semangat untuk
merebut kembali hak kita atas tanah air warisan nenek-moyang yang pernah
membuat bangsa ini berwibawa di mata dunia.

Itu hanya dapat terwujud apabila kita kembali menyadari pentingnya
falsafah persatuan dan kesatuan menjadi ideologi dasar Negara ini yang
tertulis di Kitab Sutasoma karya pujangga besar RakawiTantular, yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Ideologi ini yang mengilhami GajahMada menetapkan konsepsi Negara
Maritim yang secara politis terbukti sangat ampuh menjadi infrastruktur
Negara Majapahit, Nusantara Raya, menjadi Negara maju di Asia Tenggara,
lebih dari enam ratus tahun lalu.



Salam Nusantara..!

Renny Masmada

Kirim email ke