biografi GAJAH MADA

Sebagai protagonis, ketokohan Gajah Mada menimbulkan banyak spekulasi
dan pembahasan, sementara catatan mengenai dirinya sangat minim sekali.
Kalaupun ada, perlu pembahasan yang sangat serius dan mendalam.

Dari semua catatan, disamping petulisan (batu/lempengan), yang sejauh
ini masih dapat dipercaya dan mendekati sejarah sebenarnya adalah
Nagarakretagama.

Nagarakretagama dikarang oleh mPu Prapanca, seorang dharmadhyaksa
kasaugatan yang hidup sezaman dengan Gajah Mada, sehingga melihat dan
merasakan secara langsung seluruh kinerja Majapahit (dan Gajah Mada)
dari tahun 1293-1365 saat naskah Nagarakretagama selesai ditulis.

Namun bagaimanapun, beberapa karya sastra telah memberikan banyak
sumbangan yang sangat berharga bagi sejarah Majapahit untuk dijadikan
referensi bagi penelaahan dan bahan diskusi sejarah Majapahit yang besar
di bawah kepemimpinan Gajah Mada.

Paling tidak, ada beberapa karya sastra maupun batu/lempengan bertulis
yang sedikit banyak dapat memberi petunjuk tentang Gajah Mada, antara
lain:

a.  NAGARAKRETAGAMA,

sastra kakawin karya pujangga besar Rakawi (mPu) Prapanca yang juga
bernama Nadendra, seorang Dharmadhyaksa ring Kasaugatan (Budha),
menggubah sampai dengan tahun 1365.

Ditemukan pertama kali di Puri Cakranegara, Lombok, dengan teks dalam
huruf Bali. Pada bulan Juli 1978 mulai ditemukan naskah Nagarakretagama
di beberapa tempat di Bali: di Amlapura (Karang Asem), di Geria Pidada
di Klungkung dan dua naskah lagi di Geria Carik Sideman.

Yang di Amlapura, milik seorang guru, pada halaman pertama tertulis
wawacan Jawa, artinya isi naskah itu bertalian dengan sejarah Jawa
(Majapahit).

Pertama kali diterbitkan dalam huruf Bali, kemudian diterjemahkan oleh
H. Kern dengan beberapa keterangan dari N.J. Krom. Pigeaud menerbitkan
Nagarakretagama dengan judul: Java in the Fourteenth Century yang
terdiri dari lima jilid. Slamet Mulyana juga menerbitkan Nagarakretagama
ini.

Dari 98 pupuh dan 384 pada, Gajah Mada hanya disebut dalam sepuluh pada,
antara lain :

'Sebelah timur laut adalah tempat tinggal sang Gajah Mada, Patih dari
Majapahit yang utama, seorang menteri yang perwira, bijaksana dalam
kepemimpinan serta jujur dan berbakti pada raja, fasih dan tajam
bicaranya, hormat, tenang, teguh pendirian, gesit dan tidak ragu-ragu
dalam tindakan, pengawas tertinggi istana raja dan mengamankan kejayaan
raja sebagai penguasa dunia.' (Nagarakretagama 12.4 :10).

'Ada sebuah pemukiman tempat seorang pemeluk agama Budha, yaitu
Madakaripura, terpuji keindahannya, pemukiman anugerah raja kepada patih
Gajah Mada, tempat peristirahatannya sangat teratur dan dihias, ingin
meninjau, (mereka) pergi ke sana melewati Trasungai, mandi di Capahan
dan mengadakan pemujaan.' (Nagarakretagama 19.2:17)

'Dalam tahun saka, api panah matahari (1253) musuh musnah, Sadeng dan
Keta diserang oleh pasukan sendiri, pada waktu itu, perlindungan dunia
diserahkan pada sang menteri yang bernama Mada yang sangat arif.'
(Nagarakretagama 49.3:36)

'Pada pagi hari tersebutlah sang Raja keluar menerima para keluarga dan
menteri sudah berkumpul, para pangeran dan lain-lain serta para patih
duduk teratur di bangsal. Di sana patih yang perwira Gajah Mada
menghadap, tunduk dan berkata dengan hormat, bahwa ada penghormatan
pelepasan raja, semua supaya jangan mengabaikan.' (Nagarakretagama
63.1:48)

'Di sana hadir sang Raja, semua menghadap menghormat selalu, ikut serta
terutama menteri patih Gajah Mada, semua dengan keluarga menghadap,
serta para kepala daerah dari wilayah  pinggiran serta raja dari daerah
lain, sesudahnya semua berbakti dan menghormat duduk sesuai jabatan dan
tata cara.' (Nagarakretagama 65.2:49)

'Sang Mahapatih Gajah Mada pada hari itu menghadap dan menghaturkan
sesaji, para wanita yang menanggung duka berdekatan, jelita di bayangan
pohon nagasari dan rajasa yang berbelit, para menteri dan pangeran yang
bertanggungjawab pada daerah ikut serta, juga para warga desa ikut
menghaturkan sesaji, bermacam bentuk tempat makanan mereka, ada yang
berbentuk kapal, gunung, rumah, ikan, tak putus-putusnya.'
(Nagarakretagama 66.2:51)

'Ketika raja pulang dari Simping, segera datang di istana, prihatin
kerena sakitnya menteri adimantra Gajah Mada, ia telah berusaha untuk
meluaskan pulau Jawa pada  waktu lampau, yaitu dengan Bali, Sadeng,
bukti keberhasilannya memusnahkan musuh.' (Nagarakretagama 70.3: 54)

'Tiga, angin dan matahari tahun saka (1253) ia memangku tanggungjawab
kesejahteraan dunia, ia wafat pada tahun saka rasa badan matahari
(1286), raja sedih dan berduka, hanya karena keagungan citanya, ia tidak
memegang teguh cinta keduniawian, ingat akan hakekat makhluk, kebaikan
saja yang setiap hari difikirkan. Adapun pada pertemuan itu, raja dengan
ayahanda berkumpul, beserta ibu serta dua suadara raja tercinta ikut,
mereka berkumpul/bermusyawarah tentang dia, yang tahu segala kebajikan
dan dosa, abdi raja, untuk mengganti sang patih, diperbincangkan (namun)
tak ada berkenan di hati, menjadikan kesedihan yang menusuk. Raja
mengambil kebijakan dari sang Patih yang tak dapat diganti, karena tak
ada yang dapat mengganti, apabila ada kesulitan, urusan negara
(sementara) didiamkan, sebaiknya dipilih oleh raja menurut pandangan
beliau dari para pangeran yang bijak, yang dapat dipercaya kata-katanya
dan tahu apabila yang lain tak setuju, tanpa salah.' (Nagarakretagama
17.1,2,3 55)

b. PARARATON,

karya sastra prosa Jawa Tengahan yang belum  diketahui dengan tepat,
siapa pengarang dan kapan dikarangnya. J.L.A. Brandes menerbitkan
Pararaton ini dengan keterangan dari N.J. Krom.

Pararaton memberikan tempat cukup banyak untuk menguraikan jasa-jasa
Gajah Mada, antara lain:

'Gajah Mada yang menjadi kepala pasukan penjaga istana, pada waktu
sedang giliran jaga, itu sebabnya mengiringi raja. Lama mereka ada di
Badander. Seorang Pangalasan mohon diri pulang, tetapi tidak diizinkan
oleh Gajah Mada, karena abdi yang mengiringi raja hanya sedikit, namun
bersikeras untuk pulang. Ia ditusuk (dibunuh oleh Gajah Mada, alasannya 
mungkin ia menyebarluaskan bahwa raja ada di rumah sesepuh Badander  dan
mungkin Kuti mengetahuinya).

Selang sepekan kemudian, Gajah Mada pergi ke Majapahit. Setiba di
Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh pejabat-pejabat tinggi negara,
dimana raja berada, ia memberi tahu bahwa sudah dibunuh oleh pengikut
Kuti. Semua yang diberitahu menangis. Berkatalah Gajah Mada,
"Diamlah, kalian tidak ingin mengabdi Kuti." Menjawablah yang
diberi tahu, "Apa yang anda ucapkan itu, kan bukan junjungan
kami."

Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja ada di Badander. Kemudian
Gajah Mada bersepakat dengan menteri untuk membunuh Kuti; Kuti dibunuh
dan mati.

Setelah raja kembali, Gajah Mada tidak lagi menjabat kepala pasukan
penjaga istana, dua bulan kemudian ia menikmati istirahat, (jabatan)
dialihkan, ia menjadi patih di Kahuripan; ia menjadi patih selama dua
tahun. Sang Arya Tilam, patih di Daha, meninggal, Gajah Mada
menggantikannya, dijadikan patih di Daha, mengikuti Mahapatih sang Arya
Tadah, yang mendukung Gajah Mada supaya dapat menjadi patih di Daha.'
(Pararaton 26)

'Istri Tanca mendesas-desuskan bahwa ia dicemari raja. Tanca ditantang
oleh Gajah Mada. Kebetulan raja Jayanagara menderita bengkak dan tidak
bisa pecah.

Tanca disuruh mengiris (membedah), dan masuk ke peraduan. Ditusuk
sekali-dua kali tidak mempan, raja dimohon melepaskan kesaktiannya
(aji-ajinya). Raja melepaskannya di sampingnya, (Bisul/kebengkakan)
diiris/dibedah oleh Tanca dan mempan, sekaligus ditusuk oleh Tanca,
wafatlah raja di peraduan. Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah
Tanca.' (Pararaton 27)

'Kemudian ada peristiwa Sadeng. Tadah, sang Mahapatih sakit dan sering
tidak dapat menghadap, tetapi memaksakan diri untuk menghadap, mohon ke
Duli Sang Ratu untuk membebaskannya dari jabatan Mahapatih, tidak
disetujui oleh Bhre Kahuripan, sang Arya Tadah pulang, memanggil Gajah
Mada, berbincang-bincang di ruang tengah. Gajah Mada diangkat menjadi
Patih di Majapahit, Mahapatih, "saya akan membantu dalam
kesulitanmu." Jawab Gajah Mada, "ananda segan apabila menjadi
patih sekarang. Apabila sudah dari Sadeng, mau menjadi patih, apabila
dapat dimaafkan bila tak berhasil, ananda sanggup." "Hai anakku,
segala kesukaranmu akan kudampingi, segala kesulitanmu."

Maka besarlah hati Gajah Mada mendengar kesanggupan sang Arya
Tadah……Datang dari Sadeng, ………Gajah Mada menjadi pemimpin
umum, …….Gajah Mada, Mahapatih, tidak mau menikmati istirahat,
Gajah Mada, "apabila Nusantara sudah tunduk, saya akan menikmati
(hasilnya dengan) beristirahat, …….' (Pararaton 28)

', ……..Maka Gajah Mada menikmati hasilnya. Sebelas tahun ia menjadi
Mahapatih……Sang Patih Gajah Mada meninggal, ……Tiga tahun tidak
ada yang menggantinya menjadi patih.' (Pararaton 29)

c. PRASASTI BLITAR,

bertarikh 1330/1331 antara lain mencatat Gajah Mada menjabat patih di
Daha.

d. LEMPENGAN TEMBAGA BATUR,

tanpa tarikh, menyebut Gajah Mada sebagai patih di Janggala-Kediri,
sebagai berikut:

(Rakryan Mapatih) Janggala-Kediri: mPu Mada

Rakryan Demung                       : mPu Kapat

Rakryan Kanuruhan                    : mPu Pakis

Rakryan Tumenggung                 : mPu Nala

Rakryan Rangga                        : tidak disebut

e. PRASASTI BENDASARI,

tanpa tarikh, menyebut, sebagai berikut:

Rake Mapatih          : mPu Mada

Rakryan Demung      : mPu Gasti

Rakryan Kanuruhan   : mPu Turut

Rakryan Tumenggung: mPu Nala

Rakryan Rangga       : mPu Lurukan

Prasasti ini juga menerangkan tentang keputusan pengadilan perdata
tentang sengketa antara Panji Sarana dan Panji Anawung Harsa.

Dimenangkan oleh Panji Sarana, yang biasa disebut jaya song atau jaya
patra. Dalam hal ini Gajah Mada bertindak selaku patih amangkubumi yang
bertanggungjawab atas pemerintahan di seluruh negara.

f. PRASASTI PRAPANCASARAPURA,

dikeluarkan oleh Sri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani setelah tahun
1334, menyebutkan Gajah Mada sebagai patih di Majapahit, yaitu:

Rake Mapatih ring Majapahit: mPu Gajah Mada

Rake Demung                   : mPu Alus

Rake Kanuruhan                : mPu Bajil

Rake Rangga                    : mPu Ba……(tidak terbaca)

Rake Tumenggung             : mPu Lembu Nala

g. PRASASTI SINGASARI,

dikeluarkan oleh Sri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani atas
persetujuan Dewan Sapta Prabhu bertarikh 27 April 1351,  yaitu:

'Pada tahun saka 1214 bulan Jyestha, pada waktu itu mangkatnya Paduka
Bhatara yang dimuliakan di Siwabhudha. Bahagia! Pada tahun saka 1273
bulan Waisaka……….Pada waktu itu Sang Mahamantrimukhya Rakryan
Mapatih mPu Mada, beliau ibarat pengemban perintah Bhatara Sapta Prabhu
(saksat pranalakta rasika de sapta prabhu), yang dikepalai oleh Sri
Tribhuanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, cucu wanita Bhatara
yang mengambil nama abhiseka Sri Kertanegara Jnyaneswarabajra; perintah
itu juga diterima pada waktu yang sama oleh Rakryan Mapatih Jirnodhara,
untuk membangun Caitya untuk mahabrahmana dalam Kasaiwan dan Kasaugatan
yang gugur bersama Paduka Bhatara (Sri Kertanegara) dan untuk
Mahawreddhamantri yang juga gugur pada kaki Sri Bhatara (Kertanegara).
Maksud pembangunan caitya oleh Rakryan Mapatih ialah agar para
sanak-kadang para pahlawan yang setia kepada Sri Kertanegara, dapat
memberikan baktinya. Itulah maksud karya Rakryan Mapatih seluruh Pulau
Jawa!'

h. PRASASTI WALANDIT,

tanpa tarikh, dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara Hayam Wuruk,
menceritakan tentang sengketa tanah antara orang-orang di tanah candi
Walandit dan para pembesar desa Himad.

Dikatakan bahwa keputusan pengadilan itu dikeluarkan oleh Sang Pamegat
di Tirwan atas persetujuan Patih Gajah Mada.

i. KIDUNG SUNDA,

karya sastra puisi berbentuk kidung, termasuk golongan sastra Jawa
Tengahan juga tidak diketahui kapan digubah dan siapa penggubahnya. Berg
telah menerbitkan dan menerjemahkannya. Teeuw juga telah menerjemahkan 
beberapa dari Kidung Sunda ini.

Kidung Sunda yang terdiri dari 3 pupuh dan 449 pada  ini menceritakan
serta melukiskan perjalanan keluarga raja Sunda ke Majapahit untuk
merayakan perkawinan putri raja Sunda dengan raja Hayam Wuruk dari
Majapahit.

Selain itu menggambarkan pertempuran dan kekalahan orang-orang Sunda di
Bubat, karena selisih faham tentang hubungan kenegaraan Sunda dan
Majapahit sebagai akibat kebijakan Mahapatih Gajah Mada.

j. CARITRA RAJA BANJAR DAN RAJA KOTA WARINGIN,

juga sering disingkat dengan Hikayat Banjar, yang mengisahkan tradisi
sejarah mengenai sejarah Malayu yang ada di Kalimantan Tenggara sampai
tahun 1860. Juga tidak diketahui kapan dikarang dan siapa pengarangnya.

k. HIKAYAT HANG TUAH,

karya sastra yang diperkirakan dikarang pada abad ke 17 sesudah tahun
1614, tapi sebelum tahun 1726, belum diketahui siapa pengarangnya,
digarap sebagai disertasi oleh Sulatin Sutrisno.

l. BABAD PUNGAKAN TIMBUL,

karya sastra prosa Jawa Tengahan dari Bali. Tidak diketahui siapa
pengarangnya dan kapan dikarang.

Naskah ini menyebut Gajah Mada dalam hubungannya dengan raja Bali yang
bernama Bedhamuka.

m. BABAD TRIWANGSA,

karya sastra prosa Jawa Tengahan dari Bali. Tidak diketahui siapa
pengarangnya dan kapan dikarang. Menyebut Gajah Mada dalam hubungannya
dengan Hyang Kapakisan.

n. PRASASTI GAJAH MADA,

juga disebut PRASASTI ARIA BEBED, berupa lempengan tembaga terdapat di
halaman candi Aria Bebed di Desa Bubunan, Kecamatan Sririt, Kabupaten
Buleleng, Singaraja. Ditulis dalam bulan Jyestha tahun saka 1881 (=
Mei-Juni 1959).

Prasasti ini memuat cerita tentang Gajah Mada yang diutus oleh Ratu
Tribhuana dari Majapahit. Di Bali Gajah Mada kawin dengan putri pendeta
Ki Dukuh Kedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini. Ketika istrinya
mengandung, ia kembali ke Majapahit. Setelah anak Gajah Mada itu menjadi
dewasa, ia mencari ayahnya, Hasti Mada, ke Majapahit. Sesuai pesan
ayahnya, anak itu mengenakan kain gringsing ringgit.

Sesampainya di Majapahit, anak itu duduk di atas batu di depan rumah
Gajah Mada. Karena disoraki oleh orang-orang Majapahit, anak itu
menangis. Patih Gajah Mada keluar menemui anak itu dan menanyakan siapa
dan darimana asalnya.

Anak itu berkata jujur berasal dari Bali, ibunya bernama Ni Luh Ayu
Sekarini dan bermaksud mencari ayahnya Gajah Mada. Mendengar itu Gajah
Mada terharu dan mengakui anak itu sebagai puteranya.

Anak itu kemudian dibawa ke dalam rumah dipertemukan dengan istrinya Ken
Bebed. Setelah dijelaskan, Ken Bebed yang belum mendapatkan anak itu
sangat terharu. Anak itu akhirnya tinggal di Majapahit. Ken Bebed sangat
menyayangi anak itu layaknya anak sendiri. Anak itu kemudian diberi nama
Aria Bebed. Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Aria Bebed
kembali ke Bali dan beranak-pinak di pulau itu.

o. NAWANATYA, KAPRAJNYANIRA KRYAN APATIH GAJAH MADA,

karya sastra prosa Jawa kuna, terdiri dari 4 halaman, tulisan tangan
dengan huruf latin, dari Perpustakaan Naskah Universitas Leiden, Codex
3907 (2). Berisi ajaran dan tata cara untuk anggota atau pegawai
kerajaan.

p. GAJAH MADA (Wetboek),

karya sastra prosa Jawa baru. Tidak diketahui siapa pengarang dan kapan
dikarangnya. Tulisan tangan dengan huruf Jawa di atas kertas sebanyak
105 halaman dan dijilid menjadi buku, menjadi Koleksi Naskah Museum
Nasional, Jakarta nomor BR. 403.

Naskah ini berisi wejangan Begawan Sukerti kepada cucunya, Gajah Mada.
Ayah Gajah Mada yang bernama Menak Madang adalah putra tunggal Begawan
Sukerti.

q. BABAD GAJAH MADA,

transkripsi naskah lontar di Perpustakaan Lontar Universitas Udayana,
Bali; oleh Ketut Ginarsa, pegawai Lembaga Bahasa di Singaraja.

(Partini Sajono Pradotokusumo, dalam menelaah hubungan antar teks di
Kakawin Gajah Mada mengambil beberapa teks Babad Gajah Mada sebagai
salah satu hipogram Kakawin Gajah Mada: Transliterasi dengan huruf latin
sebanyak 17 halaman, 32 pasal, dari prosa, bahasa Jawa Kuna/Tengahan,
huruf Bali, 32 lempir, Kropak 7 no. 158, Lembaga Pelontar Fakultas
Sastra, Universitas Udayana, Denpasar, Bali)

Menyatakan bahwa Gajah Mada adalah putra Hyang Brahma yang berhasil
memperkosa Patni Nari Ratih, istri pendeta mPu Sura Dharma Yogi.

r. KAKAWIN GAJAH MADA,

karya sastra puisi, memakai bahasa Jawa Kuna, karya besar penyair Ida
Cokorda Ngurah, seorang bangsawan Bali yang bertempat tinggal di Puri
Saren Kauh (Puri sebelah barat) Ubud. Dia seorang bangsawan kaya dari
kasta ksatria dan seorang prajnyan  atau wikan (ahli sastra, terutama
sastra Kawi). Dia juga seorang ngraweg (serba bisa), yaitu ahli
mengarang, memahat, membuat patung, mengukir dan seorang arsitek
tradisionil. Dia meninggal pada tahun 1976.

Kakawin Gajah Mada mulai ditulis pada tahun 1952 dan selesai pada
tanggal 10 Nopember 1958. Dalam menulis, Ida Cokorda Ngurah dibantu oleh
sekretarisnya yang bernama Ida Bagus Nyoman Kamenuh, seorang pemangku,
yaitu orang yang memimpin upacara agama dan yang berhubungan dengan
keagamaan, seperti menyucikan keris dan juga memeriksa penyalinan
rontal.

Mungkin masih sangat banyak tulisan tentang Gajah Mada yang ditulis oleh
para pujangga dan penyair, namun karena ditulis berabad kemudian setelah
kematiannya sangat sulit ternilai sebagai karya sejarah yang akurat.

Tulisan-tulisan itu sering bercampur dengan legenda, dongeng yang
mengisahkan kebesaran Gajah Mada secara berlebihan, sehingga semakin tak
mencerminkan hakikat kebenaran perjalanan sejarah Gajah Mada itu
sendiri.

Nagarakretagama mungkin satu-satunya karya agung yang punya nilai
sejarah tinggi karena tulisannya sangat tepat dengan penemuan
situs-situs, piagam, prasasti dan temuan arkeologi yang terus digali
atau ditemukan secara tak sengaja sejak zaman pemerintahan kolonial.

Salam Nusantara..!
Renny Masmada
www.rennymasmada.com <../../../../../message/www.rennymasmada.com>
http://rennymasmada.wordpress.com <http://rennymasmada.wordpress.com/>


Kirim email ke